18 Desember, 2008

Distribusi Elpiji yang Tepat Sasaran

Seputar Indonesia, 17 Desember 2008

Akhir-akhir ini, kembali kita dipertontonkan fenomena kelangkaan elpiji di tanah air. Memang kelangkaan ini bukanlah fenomena baru, hanya saja menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kelangkaan elpiji tak kunjung selesai?. Tapi satu hal yang pasti, golongan rakyat kurang mampu lah yang menjadi korban atas kelangkaan elpiji bersubsidi ini.

Di sejumlah daerah di pulau Jawa, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur kita temui fenomena antrean panjang untuk membeli elpiji 3 kg. Bahkan, pilihan menginap di tempat pembelian kerap kali harus dilakoni demi mendapatkan elpiji bersubsidi tersebut. Boleh dibilang, elpiji merupakan barang yang cukup penting bagi kelangsungan hidup masyarakat, bukan hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tapi juga keperluan operasional usaha. Kelangkaan elpiji akan mempersulit aktivitas produksi, sehingga dampak negatifnya makin meluas pada kondisi ekonomi. Sebab, bila produksi kurang lancar, maka pendapatan pengusaha yang bergantung pada elpiji dipastikan berkurang sehingga nantinya mempengaruhi pula kesejahteraan masyarakat luas.

Namun pemerintah berdalih, kelangkaan elpiji disebabkan oleh hal teknis dan faktor permintaan yang meningkat di bulan Desember ini. Kelangkaan elpiji terjadi karena beberapa kilang sedang bermasalah. Kilang di Balongan sedang mengalami perbaikan, sementara kilang di Cilacap mengalami gangguan. Oleh karenanya, distribusi elpiji ke masyarakat kurang optimal. Alasan lainnya, permintaan elpiji meningkat karena di bulan ini, terdapat beberapa peringatan dan perayaan, seperti hari raya Idul Kurban, Natal, dan Tahun Baru. Dalam keadaan demikian, permintaan masyarakat terhadap elpiji bersubsidi meningkat, sementara pasokannya sedikit bermasalah. Akibatnya, terjadi kelangkaan elpiji yang membuat masyarakat, khususnya golongan kurang mampu yang menjadi sasaran elpiji bersubsidi harus bersusah payah untuk memperoleh barang tersebut.

Ironisnya, pemerintah telah mencanangkan konversi minyak tanah ke gas dengan harapan masyarakat beralih dari penggunaan minyak tanah ke gas elpiji. Kelangkaan minyak tanah yang kerap terjadi, serta energi minyak yang memang makin berkurang, mendorong pemerintah mencanangkan kebijakan konversi ke gas ini. Namun kelangkaan gas elpiji menimbulkan pertanyaan, seriuskah pemerintah menjalankan program konversi ini?
Seyogianya, pemerintah tidak boleh lengah dalam memasok elpiji agar masyarakat makin mantap beralih dari minyak tanah ke elpiji. Sebab, bagaimana pun, tampaknya elpiji sudah diterima masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah. Hanya saja, pemerintah harus memperbaiki mekanisme distribusi elpiji, tidak sekedar memasok sebanyak-banyaknya. Distribusi ini harus mengarah pada kelompok masyarakat yang membutuhkan. Bila tidak, maka anggaran untuk menyubsidi elpiji dipastikan membengkak. Pun, tampaknya masyarakat golongan menengah ke atas cenderung beralih dari elpiji 12 kg ke 3 kg, mengingat hitungan harganya lebih murah. Oleh karenanya, distribusi elpiji harus tepat sasaran ke kelompok yang benar-benar kurang mampu. Sebaiknya diadakan mekanisme khusus, misal untuk pembelian elpiji bersubsidi, pembeli harus menunjukkan kupon yang menunjukkan bahwa dia kurang mampu dan pantas memperoleh elpiji bersubsidi atau elpiji 3 kg.

25 November, 2008

Selamatkan Sektor Rill

Seputar Indonesia, 25 November 2008

Krisis finansial di AS yang berubah wajah menjadi krisis finansial global, tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan usai. Malah, dampak krisis finansial tersebut akhirnya merembet pula pada sektor riil, bukan hanya di negara asal krisis, tapi juga menjalar di sejumlah negara termasuk di Indonesia. Perembetan krisis finansial ke sektor riil terlihat dengan makin banyaknya perusahaan yang mengurangi skala produksi. Akibatnya, salah satu pihak yang terkena dampak adalah tenaga kerja.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi terjadinya penambahan pengangguran baru sejumlah 20 juta orang akibat dari krisis finansial global. Prediksi ini memang ada benarnya, karena bila melihat di negara maju, gelombang PHK besar-besaran sudah terjadi pada perusahaan-perusahaan yang sangat erat dengan krisis keuangan, seperti industri otomotif, telekomunikasi, dan lembaga keuangan.

Menjalarnya krisis finansial global ke sektor riil, terutama di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS menyebabkan harga barang-barang, khususnya bahan baku industri relatif lebih mahal. Akibatnya, kenaikan harga input mempengaruhi struktur biaya perusahaan, di mana biaya bahan baku lebih tinggi dari sebelumnya.

Kedua, lesunya perekonomian domestik dan internasional, terutama mengakibatkan turunnya permintaan produk dari industri domestik. Adapun sektor usaha domestik yang terkena dampak krisis global adalah industri tekstil, produk sepatu, makanan dan minuman olahan serta produk perkebunan seperti kelapa sawit dan coklat. Dengan demikian, turunnya permintaan mendorong perusahaan mengurangi jumlah produksi, sehingga tenaga kerjanya pun akan dikurangi. Untuk mengantisipasi kerugian, langkah yang kerap dilakukan perusahaan adalah merumahkan sebagian karyawannya. Data menunjukkan, secara nasional setidaknya terdapat 13.000 tenaga kerja yang segera dirumahkan.

Untuk mengantisipasi dampak krisis, perusahaan dan pemerintah perlu melakukan langkah-langkah tertentu. Bagi perusahaan, PHK karyawan seyogianya dijadikan pilihan terakhir. Pasalnya, dampak sosial bagi masyarakat tentu sangat besar bila tiba-tiba banyak orang tidak berpenghasilan. Perusahaan perlu melakukan efisiensi dalam proses produksi, mengurangi biaya-biaya di luar biaya produksi, dan mengurangi kerja lembur.

Sementara bagi pemerintah, untuk menyelamatkan sektor riil, perlu menstimulus perekonomian dengan melakukan kebijakan fiskal ekspansif. Artinya, pemerintah meningkatkan pengeluaran yang sifatnya produktif dan mengurangi pajak di sektor usaha yang terkena dampak krisis. Pemerintah perlu menimbang pula penurunan harga BBM, terutama harga bensin dan solar karena harga minyak dunia saat ini sudah berkisar USD 50 per barel. Penurunan harga BBM ini akan sangat membantu dunia usaha karena total harga bahan baku produksi kemungkinan besar tidak berubah, sebab kenaikan harga bahan baku yang lain dapat ditutupi oleh penurunan harga bahan baku ini (BBM).

Dalam jangka panjang, pemerintah juga perlu membantu sektor usaha yang berorientasi ekspor dengan membuka pasar baru. Diversifikasi negara tujuan ekspor, khususnya ke negara-negara yang tidak mendapat imbas krisis global adalah pekerjaan yang wajib dilakukan. Pemerintah juga perlu cekatan karena tentu akan mendapat saingan dari pemerintah negara lain seperti China, India, dan lain-lain.

04 November, 2008

Pentingnya Pemimpin Alternatif

Seputar Indonesia, 5 November 2008

Berkali-kali sudah rakyat Indonesia memilih pemimpinnya dalam pemilihan umum (pemilu). Dalam pemilu, rakyat menentukan pemimpinnya yang duduk di kursi parlemen secara langsung, serta memilih presiden dan wakil presiden secara langsung pula yang dimulai pada 2004 lalu. Namun, pemilu ini ternyata tidak banyak membawa perubahan pada rakyat Indonesia.

Perubahan paling mendasar memang harusnya menyangkut kesejahteraan rakyat. Diakui, masalah ekonomi merupakan masalah utama bangsa ini. Bila rakyat belum tercukupi kebutuhan ekonominya, maka sangat sulit untuk hidup berdemokrasi. Oleh karenanya, rakyat butuh dilayani dan dibangkitkan potensi yang dimilikinya agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Di sinilah peran penting seorang pemimpin yang menjalankan tugasnya sebagai pelayan rakyat.

Namun bila melihat konstelasi politik saat ini, tampaknya tokoh yang akan bersaing meraih kursi presiden bukanlah orang-orang baru. Orang-orang yang masih banyak terkait dengan masa lalu Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Megawati, Gus Dur, Amien Rais, Prabowo, Jusuf Kala, Sultan HB X, Wiranto, dan Susilo Bambang Yudhoyono bukanlah orang baru. Mereka ini sudah memimpin bangsa ini dan dapat dinilai hasil kepemimpinan mereka dari berbagai bidang yang pernah mereka geluti.

Banyak kalangan cenderung pesimis akan kemampuan mereka menyelesaikan masalah yang berkembang saat ini, sebab mereka sudah menjadi bagian dari masalah tersebut. Megawati misalnya, tokoh PDIP yang kuat diunggulkan menjadi calon presiden, merupakan mantan presiden RI yang bisa dinilai kinerjanya dalam memimpin bangsa ini. Aset-aset bangsa Indonesia, terutama Indosat dijual ke Singapura dengan harga yang sangat murah. Ini artinya, bila rakyat memilih tokoh demikian, maka bersiaplah kembali ke masa lalu.

Diungkapkan Fadjroel Rahman dalam seminar yang diadakan BPPM Equilibrium UGM pada 1 November 2008, bahwa generasi yang disebutkan di atas sebagian besar menjadi bagian dari masalah. Bahkan disebutkan bahwa sebagian generasi tersebut adalah generasi neo orde baru. Bila kita berharap perubahan dari pemimpin yang demikian, maka tampaknya harapan tersebut sangat sulit didapatkan.

Lantas, bagaimana solusinya? Memang perlu dimunculkan orang-orang baru dalam bursa kepemimpinan nasional, khususnya calon presiden dan wakil presiden. Calon pemimpin inilah yang disebut pemimpin alternatif yang akan bersaing dengan tokoh-tokoh yang sudah lama bergelut dalam sejarah kepemimpinan negeri ini. Tokoh-tokoh demikian diyakini mampu menyelesaikan masalah karena mereka tidak terlibat dalam masalah tersebut. Di sisi lain, rakyat atau pemilih akan mempunyai banyak pilihan. Rakyat akan memilih pemimpin yang menurutnya bisa menyelesaikan masalah negeri ini dan tidak memilih pemimpin yang malah menjadi bagian dari masalah di negeri ini.

28 Oktober, 2008

Kontribusi untuk Kemajuan Bangsa

Seputar Indonesia, 29 Oktober 2008

Tidak bisa dimungkiri, pemuda memiliki peran penting dalam pembangunan suatu bangsa, tak terkecuali di Indonesia. Pemuda Indonesia merupakan generasi penerus yang nantinya akan melanjutkan usaha generasi sebelumnya untuk mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.

Dalam sejarah perjalanan bangsa, salah satu keterlibatan pemuda yang sangat kental adalah upaya untuk meraih cita-cita kemerdekaan. Sejarah telah menunjukkan, sosok Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan pejuang-pejuang muda lain berhasil merebut kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah. Mereka menjalani itu semua dengan pengorbanan yang tiada taranya demi bangsa dan negara. Lantas modal apa yang mereka miliki? Menurut YB. Mangunwijaya, mereka memiliki beberapa karakter. Pertama, hati yang mampu mendengar dan ikut merasakan penderitaan rakyat dan secara pribadi tak gentar menderita pula. Kedua, mereka berintelegensi tinggi, mampu menyerap segala yang baik dan bijak dari budaya Asia, Eropa, Amerika, dan benua-benua lain. Ketiga, mereka selalu mencari jalan damai, jalan tanpa kekerasan, serta tanpa mengabaikan hal membela diri bila kekerasan dipakai lawan.

Ini artinya, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia boleh dibilang dipelopori pemuda. Sumpah Pemuda pada 1928, tentunya diinisiasi oleh para pemuda dari hampir seluruh penjuru nusantara untuk mengikrarkan persatuan dan kesatuan. Pada saat itu, sentimen ke-daerahan tentu masih sangat kental sehingga muncul tantangan yang sangat berat untuk menyatukannya. Namun berkat usaha pemuda, maka persatuan dan kesatuan akhirnya bisa dicapai. Hal inilah yang ikut menentukan pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia pada 1945.

Kini, telah cukup lama bangsa Indonesia menikmati udara kemerdekaan. Lalu, tugas kita setelah merdeka apa? Jawabnya adalah mengisi kemerdekaan. Tugas kita sekarang adalah memelihara dan melanjutkan semangat dan tradisi perjuangan, serta memperkuat dan memperkayanya dengan makna dan nilai-nilai baru sesuai dengan tantangan zaman. Tentunya, pemuda perlu meningkatkan semangat kebangsaan atau cinta tanah air, agar dapat berkontribusi pada lingkungan sekitarnya.

Kita dapat belajar dari Sejarah. Saat studi di Belanda, Bung Hatta dan kawan-kawan sangat memegang teguh kecintaan pada tanah air. Pendidikan barat (Eropa) yang dimilikinya tak lantas membuatnya lupa dengan bangsanya. Sebaliknya, pengetahuan dan ilmu yang dikuasainya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa. Karena semangat kebangsaan yang dimiliki, mereka rela berjuang dan berkorban karena menginginkan bangsanya terlepas dari penjajahan. Sekiranya, semangat ini harus tetap ada meski kita sudah menghirup udara kemerdekaan. Sekali lagi, tantangan pemuda saat ini adalah mengisi kemerdekaan yang telah diwariskan oleh pejuang. Nasib bangsa ini, khususnya di masa mendatang, terletak di tangan pemuda Indonesia. []

21 Oktober, 2008

Menuju Kemerdekaan Finansial

Seputar Indonesia, 21 Oktober 2008

Muhammad Hatta pernah berkata “hanya suatu bangsa yang bisa menyingkirkan rasa tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang paham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang benderang”.

Ibaratnya manusia, di satu sisi merupakan makhluk pribadi tapi di sisi lain sebagai makhluk sosial. Dianggap sebagai makhluk sosial karena kita membutuhkan manusia lain dalam kelangsungan kehidupan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, ketergantungan ini bisa dilihat pada proses produksi dan konsumsi barang. Seseorang mengkonsumsi barang yang diproduksi orang lain. Karena kebutuhan manusia makin berkembang maka ketergantungan antar manusia satu dengan yang lain pun makin berkembang. Nah, dalam konteks negara, ketergantungan tercermin pada kebutuhan suatu negara yang hanya bisa dipenuhi dengan memperoleh bantuan negara lain. Kebutuhan ini dapat berupa kecukupan barang dan jasa, kecukupan finansial, dan lain-lain.

Selama orde baru, kebutuhan finansial untuk pembangunan diperoleh dengan “mengemis” dari pihak asing. Akibatnya, utang layaknya menjadi penopang perekonomian saat itu. Tapi, terjadinya krisis 1997, ternyata salah satunya karena utang pemerintah dan swasta yang jatuh tempo saat itu. Akibatnya, permintaan dolar AS meningkat, sehingga melemahkan nilai tukar rupiah. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis moneter di sektor finansial, termasuk perbankan.

Terkait kecukupan finansial dalam menggerakkan pembangunan, memang secara teoritis suatu negara akan berutang ke pihak lain bila mana dirasa kemampuan finansialnya belum cukup. Namun kita harus kritis bila pemerintah berutang, apalagi bila utang tersebut diperoleh dengan mengemis ke negara lain atau lembaga finansial internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Sebab, sudah menjadi pengetahuan umum, Utang Luar Negeri (ULN) memiliki dimensi yang lebih luas ketimbang sekedar masalah ekonomi. Dimensi sosial dan politik yang terkandung dalam ULN juga sangat besar sehingga dikhawatirkan akan muncul risiko bila terjadi dinamika pada bidang sosial dan politik.

Bahaya lain utang adalah menjadikan pemerintah “manja” dan lemah upayanya untuk meningkatkan pendapatan domestik. Hal ini terjadi pada masa Orde Baru, yang didukung pula usaha keras kreditor untuk menawarkan pinjaman. Ini salah satu strategi negara atau lembaga kreditor untuk memasukkan negara peminjam dalam pusaran kekuasaannya. Si pengutang tentu tunduk pada pemberi utang, karena pengutang merasa segan menolak keinginan pemberi utang. Padahal, relasi penerima dengan pemberi pinjaman seperti inilah yang mengantarkan pada kehancuran si penerima pinjaman.

Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang, baik luar negeri maupun domestik. Upaya pemerintah mengelola sumber daya alam secara optimal agar pendapatan naik merupakan salah satu faktor tercapainya kemerdekaan finansial. Pemerintah harus menyadari, berutang itu ibaratnya menggali lubang untuk kuburan sendiri. Sehingga sangat rawan terjadi, suatu negara akan bangkrut dan benar-benar masuk ke lubang tersebut. Oleh karenanya, kita harus menyingkirkan ketergantungan tersebut, agar generasi sekarang dan selanjutnya tidak akan takut terhadap masa depannya.[]

18 Oktober, 2008

Saatnya Mengubah Pola Pikir

Suara Merdeka, 18 Oktober 2008

Setiap tahun, ribuan sarjana diwisuda baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Namun, meningkatnya jumlah sarjana dari tahun ke tahun membuat pasar tenaga kerja di sektor formal, kewalahan dalam menampung semua sarjana tersebut. Akibatnya, sejumlah alumni universitas tersebut harus memperoleh predikat “sarjana pengangguran”.

Salah satu pekerjaan di sektor formal yang diincar para sarjana adalah Pengawai Negeri Sipil (PNS). Setiap tahun, ribuan lulusan universitas mendaftar, bila lowongan penerimaan PNS dibuka. Para pendaftar ini memiliki beragam motivasi menjadi PNS. Salah satu yang utama adalah pertimbangan bahwa menjadi PNS akan lebih aman secara finansial. Selama periode waktu tertentu, misal sebulan, sudah dipastikan akan memperoleh gaji untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi bila sudah pensiun, mantan PNS tetap memperoleh penghasilan yang disebut gaji pensiun.

Oleh karenanya, tampaknya masih sangat sulit menyilaukan mata mahasiswa untuk berpaling dari PNS. Pola pikir mahasiswa masih lebih banyak memilih bidang pekerjaan yang bergerak di sektor pemerintahan karena menganggap bekerja di sektor tersebut akan menjadikan keadaan finansial pribadi atau keluarga mereka lebih terjamin.

Padahal, bekerja di luar pemerintahan bukanlah kiamat. Justru, seiring dengan perkembangan zaman, kantong-kantong duit biasanya lebih banyak di sektor swasta. Oleh karenanya, banyak pula yang tertarik masuk di perusahaan swasta dengan iming-iming mendapat gaji tinggi. Namun, jumlah penerimaan pengawai di sektor tersebut relatif sangat kecil, sehingga persaingan yang ketat membuat banyak pendaftar terlempar. Nah, orang-orang yang terlempar dan orang-orang yang merasa tidak bisa bersaing ini, ikut daftar di pengawai pemerintahan karena menganggap tingkat persaingannya relatif lebih rendah.

Namun, yang hilang adalah semangat para sarjana untuk menjadi wirausaha. Pola pikir mereka selalu berputar pada bagaimana mendapat pekerjaan yang nyaman, gaji terjamin, dan segala fasilitas yang sudah disediakan dari pemberi kerja. Sangat jarang yang ingin menjadi wirausaha, yakni dengan membuka pekerjaan di mana dapat membuka pula kesempatan kerja untuk orang lain.

Padahal, secara nasional, kewirausahaan dapat menjadi pendorong kemajuan ekonomi suatu bangsa. Mengutip pendapat Prof Didik J. Rachbini, masalah kewirausahaan merupakan persoalan paling penting di dalam perekonomian suatu bangsa yang sedang membangun. Jika suatu bangsa tidak memiliki modal manusia ini, maka jangan berharap ada kemajuan yang berarti pada bangsa tersebut. Begitu pentingnya kewirausahaan, sehingga dianggap sebagai tonggak maju suatu bangsa. Nah, tunggu apa lagi wahai para sarjana, lekaslah berwirausaha agar bisa meningkatkan kemajuan finansialmu serta mendorong kemajuan bangsamu.

17 Oktober, 2008

Menghindari Jurang Krisis

Kompas Yogyakarta, 17 Oktober 2008

Dengan karakteristik small open economy, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh percaturan ekonomi global. Kasus Subprime Mortgage yang mengantarkan ekonomi AS ke jurang resesi, juga ikut menggoyang stabilitas ekonomi nasional khususnya di sektor keuangan. Lantas, bagaimana agar Indonesia tidak ikut terperosok ke jurang tersebut?

Krisis 1997 memberi banyak pelajaran pada bangsa ini mengenai cara menghadapi gejolak ekonomi. Krisis ini bukan muncul di Indonesia, tapi di Thailand. Rembetan dari Thailand menuju ke sejumlah negara Asia lainnya, termasuk Indonesia telah memberikan efek yang berbeda di masing-masing negara. Boleh dibilang, perekonomian Indonesia mendapat efek negatif paling besar di antara negara-negara lainnya. Sebab, jantung ekonomi nasional yakni perbankan mengalami kebangkrutan, sehingga berimbas pula pada sektor riil. Akibatnya, negara-negara lain sudah pulih dari krisis, Indonesia masih terkapar dan tertatih-tatih menuju kebangkitan ekonomi.

Model yang sama ditemui saat ini. Krisis lembaga finansial ini terjadi di Amerika Serikat ditandai dengan bangkrutnya sejumlah bank investasi. Masalahnya, krisis finansial di AS akan berimbas pula pada sektor finansial di Indonesia, terutama pasar saham dan valuta asing. Hal ini tidak dapat dimungkiri karena integrasi pasar keuangan dunia disertai dengan liberalisasi pasar finansial memuluskan hal tersebut terjadi. Pun, karena orang asing merupakan penguasa modal dominan di bursa saham. Mereka sangat sensitif dengan gejolak ekonomi di AS sehingga terdorong melakukan aksi jual. Adapun pelarian kapital ke luar akan meningkatkan permintaan dolar terhadap rupiah, sehingga rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS.

Nah, agar bangsa ini tidak ikut terperosok ke jurang krisis, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan sektor finansial kita. Agar krisis 1997 tidak terulang kembali, pemerintah harus menjaga sistem perbankan agar tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kepercayaan nasabah harus dijaga, salah satunya dengan memberikan jaminan simpanan yang lebih tinggi. Langkah ini sudah dilakukan pemerintah, yakni menaikkan level simpanan yang dijamin sampai Rp 2 miliar dari sebelumnya hanya Rp 100 juta. Dengan jaminan ini, nasabah akan tetap percaya pada bank, sebagai tempat mereka menitipkan uang.

Hanya saja, ironis bila pemerintah menaikkan suku bunga BI yang hingga kini mencapai level 9,5 persen. Alasan pemerintah, dalam hal ini BI, adalah untuk menekan inflasi 2009 agar sesuai targetnya. Namun, sektor riil lah yang menjadi korban terhadap naiknya suku bunga acuan tersebut. Selain itu, gejolak ekonomi global juga berimbas pada ekspor dan impor yang bisa menurunkan pertumbuhan.

Di sisi ekspor, semestinya terjadi kenaikan pendapatan karena harga produk domestik relatif lebih rendah di luar negeri. Akan tetapi, di masa krisis, permintaan luar negeri terhadap produk domestik pun ikut berkurang, sehingga volume ekspor turun. Langkah yang harus dilakukan adalah melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor. Selama ini, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan sejumlah negara Eropa Barat menjadi tujuan ekspor utama. Ke depan, pemerintah perlu memperluas diversifikasi tujuan ekspor terutama ke negara-negara Timur Tengah, yang saat ini kelebihan likuiditas.

Dampak lebih parah lagi dilihat di sisi impor, sebab harga yang dibayarkan terhadap produk impor relatif lebih tinggi dibanding sebelumnya. Akibatnya, produk impor khususnya yang digunakan untuk bahan baku industri menjadi lebih mahal, sehingga harga-harga barang ikut naik. Sehingga, ketergantungan pada produk impor juga harus dikurangi sedikit demi karena hal tersebut akan mengurangi cadangan devisa nasional.

Oleh karenanya, langkah antisipasi di sektor finansial terutama perbankan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Sedangkan di sektor riil, pemerintah perlu menjaga surplus neraca perdagangan, dengan meningkatkan volume ekspor dan mengurangi ketergantungan pada produk impor. Sejumlah strategi inilah yang bisa menghindarkan Indonesia dari jurang krisis.

15 Oktober, 2008

Intervensi Pemerintah di Masa Krisis

Seputar Indonesia, 13 Oktober 2008

Dalam ilmu ekonomi, mekanisme pasar merupakan suatu cara dalam menyelesaikan masalah ekonomi. Pada masa krisis misalnya, pilihannya ada dua, apakah membiarkan mekanisme pasar bekerja sendiri atau pemerintah mengintervensi pasar untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Membiarkan masalah ekonomi diselesaikan melalui mekanisme pasar saja bukanlah pilihan tepat. Terbukti, depresi besar yang pernah terjadi pada kurun waktu 1929-1933, tidak mampu diselesaikan melalui mekanisme pasar. Sehingga saat itu, timbul suatu pemikiran baru dalam ilmu ekonomi, yakni perlu intervensi pemerintah untuk mengembalikan peran mekanisme pasar. Dengan adanya intervensi, depresi besar pada tahun 1930-an tersebut bisa diatasi. Dunia pun selamat dari kehancuran.

Saat ini, fenomena yang sama kembali berulang. Ekonomi global sedang dilanda krisis. Berbagai pendapat mengemuka, setelah melihat indikator yang ada, bahwa fenomena ekonomi ini merupakan yang terparah setelah depresi besar 1930. Kejatuhan pasar finansial AS, yang disebabkan oleh dampak krisis perumahan (subprime mortgage), telah berujung pada dampak krisis ekonomi yang parah. Sejumlah lembaga keuangan, terutama bank investasi seperti Lehman Brothers sudah dinyatakan bangkrut. Pemerintah AS pun bereaksi dengan menyuntikkan dana sejumlah USD 700 miliar. Ini merupakan suatu cara pemerintah mengintervensi perekonomian yang sedang dilanda krisis.

Di Indonesia, fenomena yang berbeda kita temui. Memang Indonesia tidak mendapat pengaruh langsung dari krisis keuangan AS, tapi secara tak langsung dampak negatif itu kita peroleh. Dalam masa krisis ini, para investor yang notabene dominan pihak asing, bereaksi dengan melakukan aksi jual saham. Kekhawatiran mereka beralasan, sebab kondisi ekonomi Indonesia berpotensi buruk karena pengaruh krisis finansial AS. Oleh karenanya, menarik aset di pasar modal jauh lebih aman bagi investor asing. Namun hal ini tidak hanya berdampak negatif di pasar modal berupa penurunan IHSG, tapi juga di pasar valuta asing di mana permintaan dolar AS meningkat. Fenomena ini membuat rupiah melemah. Terbukti, nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat mencapai Rp. 10.000, meski tetap turun saat penutupan.

Menghadapi kondisi ini, tentu pemerintah tidak semestinya berdiam diri. Terlalu mahal harganya bila menunggu mekanisme pasar menyelesaikan segalanya. Hanya saja, memang tidak bisa dimungkiri kalau intervensi kadang kala makin memperkeruh suasana. Tapi, sekali lagi, lebih besar risikonya bila kita tidak melakukan apa-apa. Paling tidak, kita bisa belajar dari krisis 1930-an, di mana intervensi pemerintah dengan jalan stimulus mampu menggairahkan kembali perekonomian. Cara yang berbeda untuk menyelesaikan masalah yang berbeda pula.

Saya pikir, kuncinya terletak pada cara pemerintah mengintervensi pasar. Bukankah intervensi pasar harus dilakukan bila mekanisme pasar tidak bekerja secara normal? Sedangkan, terjadinya krisis karena pasar tidak bekerja secara normal. Nah, bila menggunakan logika ini, maka intervensi dibutuhkan dalam masa krisis. Masalah yang sesungguhnya adalah bagaimana cara mengintervensi. Sedangkan cara mengintervensi sangat tergantung pada kemampuan pemerintah mengidentifikasi permasalahan. Bila identifikasinya keliru, maka jangan harap keberhasilan dari kebijakan intervensi tersebut. []

23 Juli, 2008

Krisis Listrik dan Investasi

Seputar Indonesia, 18 Juli 2008

Kemampuan suatu perekonomian untuk menarik investasi baik asing maupun domestik sangat tergantung pada kapasitas input yang dimilikinya. Di dalam disiplin ilmu ekonomi, dikenal istilah faktor produksi, yaitu segala jenis input yang digunakan dalam proses produksi. Salah satu input strategis yang dibutuhkan untuk berproduksi adalah energi listrik.

Dalam proses produksi, listrik dibutuhkan sebagai sumber energi, dalam hal ini untuk mengoperasikan mesin-mesin, sumber penerangan, dan lain-lain. Tanpa listrik, proses produksi tidak akan berjalan. Bahkan, pasokan listrik yang tidak optimal tentunya akan ikut mengganggu pula proses produksi. Terganggunya proses produksi secara langsung akan mengurangi jumlah output yang dihasilkan.

Dalam skala makro, output tersebut juga merupakan pendapatan nasional setelah dinilai dengan uang. Artinya, bila terjadi krisis listrik, maka output nasional juga akan menurun. Penurunan output tentunya akan menurunkan pendapatan nasional, dan pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks lebih luas, dampak penurunan pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh pada jumlah pengangguran dan kemiskinan. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang menandakan kenaikan output karena proses berproduksi berjalan lancar, tidak terjadi. Ketidaklancaran proses produksi akan mengurangi keuntungan bagi perusahaan, sehingga dampaknya beralih pada tenaga kerja. Perusahaan akan bertindak rasional berupa pengurangan biaya agar keuntungan tetap maksimum dengan mengurangi tenaga kerja. Kesejahteraan masyarakat pun akan berkurang karena makin banyak orang menganggur, ditambah beban ekonomi yang makin sulit.

Perlambatan investasi baru tentunya juga menjadi dampak krisis listrik. Investasi merupakan peningkatan modal, dalam arti lebih konkret adalah perluasan skala produksi ataupun penambahan produksi baru. Bila salah satu input produksi strategis (listrik) tidak tersedia, secara langsung akan mengurangi keinginan investasi. Bahkan, sejumlah investor yang berusaha di Indonesia, berulang kali mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah listrik yang sudah berlarut-larut. Tentunya, bagi calon investor, krisis listrik merupakan disinsentif yang sangat merugikan. Padahal, bila investasi tidak meningkat, berarti tidak ada sumbangan investasi pada pertumbuhan ekonomi.

Dengan segala dampak negatif tersebut, pemerintah perlu serius atau tidak bermain-main dalam mengatasi krisis listrik. Membangun infrastruktur kelistrikan merupakan proyek jangka panjang yang harus dipercepat. Selain itu, penghematan listrik dengan berbagai mekanisme yang paling kecil kerugiannya perlu diterapkan secara konsisten. Pemerintah perlu mengajak sektor swasta lebih banyak lagi agar dapat berkontribusi pada pembangunan infrastruktur listrik. Di sisi lain, alokasi anggaran yang besar pada pembangunan infrastruktur listrik tentunya bukan masalah selama pelaksanaan proyek tersebut dilakukan dengan baik.

11 Juni, 2008

Perang Melawan Inflasi

Seputar Indonesia, 11 Juni 2008
Salah satu masalah ekonomi yang sangat berbahaya bagi kesejahteraan masyarakat adalah inflasi. Sebab, inflasi yang dianggap sebagai kecenderungan naiknya harga barang-barang secara umum, berdampak pada menurunnya kesejahteraan. Karena itu, pengambil kebijakan mesti memerangi inflasi agar stabilitas ekonomi tercipta.
Tingginya harga komoditas energi dan bahan pangan serta dampak kenaikan harga BBM memberi tekanan pada inflasi pada tahun ini. Sampai Mei 2008, inflasi kumulatif sudah mencapai 5,38%, sementara target pemerintah dan BI sebelum revisi adalah 6,5%. Pasca harga BBM naik, target inflasi direvisi hingga berkisar 10,9% -11,2%. Tentunya, hilangnya atau turunnya kesejahteraan masyarakat karena daya beli turun akan membebani masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah.
Salah satu kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter untuk mengendalikan inflasi adalah menaikkan suku bunga. Kebijakan menaikkan suku bunga acuan (BI rate) dari 8,25% menjadi 8,5%, dimaksudkan agar penawaran uang berkurang karena masyarakat mendapat insentif lebih tinggi untuk menaruh dana di perbankan. Bila uang beredar berkurang, diharapkan nilai uang terhadap komoditas kembali stabil. Bagi BI, tercapainya stabilitas perekonomian memang menjadi tugas utamanya. Stabilitas ini tercermin pada tingkat inflasi terkendali. Keberhasilan mengendalikan inflasi merupakan indikator keberhasilan kinerja BI yang secara kasatmata bisa dirasakan dan diamati publik.
Namun, sejumlah pengamat menganggap langkah ini tidak tepat di tengah ancaman stagnasi ekonomi dan masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Di tengah kondisi ini, perekonomian butuh insentif lebih tinggi untuk keluar dari jurang stagnasi atau melambat pertumbuhan. Karena itu, boleh dibilang kebijakan mengendalikan inflasi bukan tanpa risiko. Instrumen BI seperti kenaikan suku bunga akan menimbulkan dampak negatif pada dunia usaha. Pada umumnya, perbankan akan merespons dengan menaikkan suku bunga kredit, sehingga biaya modal pelaku usaha meningkat. Peningkatan ini berkorelasi dengan tersendatnya penyaluran kredit baik produktif maupun konsumtif. Sehingga, para investor yang berniat berusaha memilih membatalkan rencana dan para investor yang sudah eksis mendapat kesulitan dalam mengakses pembiayaan perbankan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kondisi dunia usaha pasca kenaikan suku bunga. Ekspektasi dunia usaha terhadap suku bunga yang berpeluang meningkat di masa mendatang, bisa mengubah keinginan investor menanam modal di sektor riil. Sebaliknya, ekspektasi ini mengarahkan investor menyimpan uang di perbankan karena berharap bisa memperoleh tingkat pengembalian yang relatif tinggi ketimbang investasi di sektor riil.
Karena itu, mengendalikan inflasi belumlah cukup dengan menaikkan suku bunga saja. Lagi pula, penyebab inflasi bukan hanya berasal dari kebijakan moneter seperti meningkatnya jumlah uang beredar ataupun rendahnya suku bunga. Kebijakan ini harus diikuti dengan kebijakan memperbaiki aspek-aspek yang menimbulkan inflasi seperti tidak lancarnya distribusi dan praktek ekonomi biaya tinggi yang terkait dengan kenaikan harga BBM.
Langkah ini perlu dilakukan agar pelaku usaha memiliki ekspektasi pada inflasi yang akan menurun di masa mendatang. Pelaku usaha yang bergerak di sektor riil, perlu diyakinkan agar tetap menahan investasi dengan upaya lain pemerintah yakni memperbaiki iklim investasi. Perbaikan dan pembangunan infrastruktur, perizinan usaha, dan keamanan merupakan indikator yang lebih penting ketimbang suku bunga. Karena itu, pemerintah bisa meyakinkan investor, meski harus menaikkan suku bunga agar inflasi terkendali dan ekonomi tetap tumbuh.

02 Mei, 2008

Pembangunan Manusia Indonesia

Seputar Indonesia, 3 Mei 2008
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan ini dimaksudkan mengenang jasa seorang pahlawan nasional, Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai bapak pendidikan nasional. Pun, mengingatkan segenap elemen bangsa akan pentingnya pendidikan bagi pembangunan nasional.
Orientasi pembangunan nasional mengalami perubahan selama kurung waktu tertentu. Pada 1945-1969, orientasi pembangunan adalah politik atau nation builiding; pada 1969-1994, orientasi pembangunan adalah ekonomi yang menekankan pada peningkatan pendapatan per kapita; pada 1994-1919, orientasi pembangunan adalah sosial yang menekankan pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Karena itu, boleh dibilang bahwa posisi pemerintah Indonesia saat ini sedang berada, di mana pembangunan manusia seutuhnya mestinya dijadikan prioritas atau orientasi pembangunan. Memang, wajar bila pembangunan manusia seutuhnya (sosial) menjadi prioritas, sebab ekonomi dan politik sebelumnya sudah diprioritaskan. Tapi, kerap kali pembangunan manusia masih dipandang sebelah mata oleh para pengambil kebijakan. Sebaliknya, pembangunan ekonomi masih dijadikan prioritas atau lebih didahulukan ketimbang pembangunan sosial dan politik. Nampaknya pemerintah masih asyik mengucurkan energi yang begitu besarnya untuk memperbesar PDB, dengan lain kata, meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Padahal, bila ditelisik lebih jauh, pembangunan sosial berupa investasi di bidang pendidikan dan kesehatan juga bisa membawa dampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Sebab dengan penyediaan sarana tersebut, manusia bisa meningkatkan kualitasnya sebagai sumber daya yang mampu menghasilkan produksi materiil yang relatif tinggi ketimbang sebelumnya. Ironisnya, kualitas manusia yang rendah, salah satunya kerap dijadikan alasan tidak optimalnya pengelolaan sumber daya alam oleh bangsa sendiri. Sehingga, bangsa ini terpaksa mendatangkan tenaga-tenaga asing untuk mengelola kekayaan alam kita.
Karena itu, saatnya pemerintah menetapkan pembangunan manusia sebagai orientasi pembangunan saat ini. Beberapa hal utama yang perlu diperhatikan adalah pembangunan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Momentum 2 Mei, sebagai Hardiknas, mestinya menyadarkan segenap elemen bangsa khususnya pemerintah agar pembangunan pendidikan menjadi prioritas utama. Tak ada salahnya bila belajar dari negeri tetangga, Malaysia, yang sebelumnya pernah belajar pada kita. Salah satu strategi pemerintah Malaysia adalah mengirimkan ratusan bahkan ribuan pelajar atau mahasiswa Malaysia ke berbagai Universitas terbaik di Eropa dan Amerika Serikat. Tentu saja, segala biaya ditanggung oleh pemerintah Malaysia. Pun, sebelum mahasiswa ini berangkat sekolah, ditancapkan pada hati mereka semangat untuk membangun negerinya setelah menyelesaikan pendidikan. Memang, “anak-anak” ini dipersiapkan untuk mengisi pos-pos pemerintahan mulai dari yang terendah di Malaysia. Dengan berorientasi pada pembangunan manusia lewat pendidikan, Malaysia lebih jauh meninggalkan Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi. Ini menandakan, pembangunan manusia juga sebetulnya merupakan pembangunan ekonomi.

11 April, 2008

Menjaga Momentum Pertumbuhan

Seputar Indonesia 12 April 2008
Baru-baru ini, Bank Pembangunan Asia (ADB) merilis data prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2008. Berdasarkan perhitungan ADB, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6%, lebih rendah ketimbang yang diprediksi pemerintah yakni 6,4% dalam APBN-P. Menurut ADB, secara rata-rata negara Asia akan tumbuh 7,6 persen di 2008 dan 7,8 persen di 2009.
Gejolak ekonomi dunia dan tingginya harga pangan menjadi alasan diprediksikannya pertumbuhan hanya 6%. Gejolak ini terutama disebabkan oleh tingginya harga minyak dunia dan dampak krisis kredit perumahan yang berimbas pada ancaman resesi ekonomi AS. Beberapa pengamat bahkan menyimpulkan bahwa ekonomi AS sebetulnya sudah mengalami resesi. Salah satu indikatornya adalah tingkat pengangguran yang makin tinggi. Terbukti, dalam tiga bulan terakhir, tingkat pengangguran naik dari 4,9% menjadi 5,1% atau secara kumulatif telah terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 232.000 orang. Bahkan pada Maret 2008, jumlah pekerja menganggur sebanyak 80.000 orang, yang merupakan angka tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Resesi ekonomi AS tentu berpeluang besar memunculkan resesi ekonomi global. Berdasarkan perhitungan Dana Moneter Internasional (IMF), kemungkinan resesi ekonomi global naik dari 10% menjadi 25%.
Gejolak ekonomi yang berimplikasi pada perlambatan ekonomi dunia berpengaruh pada ekonomi Indonesia melalui banyak jalur, terutama jalur perdagangan. Volume perdagangan dunia yang tumbuh hanya 7% pada 2007 atau lebih rendah ketimbang capaian 2006 sebesar 9,2%, mengakibatkan melemahnya permintaan terhadap produk ekspor Indonesia. Akibatnya, pertumbuhan ekspor Indonesia pun ikut melambat, yaitu pada Januari-November 2007 hanya tumbuh 16 % , sedangkan pada tahun sebelumnya tumbuh 19,7%.
Tentu saja, perlambatan ekspor sebagai salah satu komponen perhitungan PDB akan berpengaruh pada tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun, perlambatan ini belum terlalu berbahaya pada perekonomian bila tingkat penurunan ekspor masih kecil. Di sisi lain, tingkat konsumsi masyarakat dalam beberapa komoditas tertentu meningkat. Penjualan mobil tumbuh 61% dalam tiga bulan terakhir, demikian pula sepeda motor dan komoditas lainnya.
Dalam kondisi perlambatan ekonomi dunia, permintaan domestik akan memainkan peranan yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tak dimungkiri bahwa konsumsi merupakan komponen yang menyumbang porsi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi. Sekitar 60% PDB disumbangkan oleh konsumsi, sementara pendapatan ekspor, pengeluaran pemerintah, dan investasi masing-masing tidak lebih dari 20% pada PDB. Karena itu, patut bila kita optimis bahwa pertumbuhan ekonomi masih menemukan momentumnya pada 2008 ini.
Namun, perlu diperhatikan daya beli masyarakat melalui pengendalian inflasi. Sebab, tingkat inflasi berbanding terbalik dengan pendapatan riil, artinya bila inflasi makin tinggi maka pendapatan riil makin berkurang. Karena itu, tingkat inflasi masih menjadi ancaman bagi tiap perekonomian di dunia, khususnya Indonesia. Di APBN-P 2008, pemerintah merevisi inflasi dari 6% menjadi 6,5%. Tingginya inflasi terutama disebabkan tingginya harga pangan dunia, karena permintaan melebihi penawaran.
Karena itu, untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah bersama Bank Indonesia berkewajiban mengendalikan inflasi. Tentu saja, solusi yang diterapkan harus sesuai dengan akar penyebab inflasi, yakni kelangkaan. Selain itu, BI perlu menjaga stabilitas keuangan dengan mengendalikan jumlah uang bereda salah satunya lewat instrumen suku bunga.

27 Maret, 2008

Menyorot Industri Penerbangan Nasional

Seputar Indonesia, 28 Maret 2008
Dunia penerbangan Indonesia tampaknya menghadapi ujian berat. Belum lama ini, kita memperjuangkan pengakuan negara Uni Eropa agar komisi penerbangan mereka mencabut izin larangan terbang ke Uni Eropa. Sekarang, kita dihadapkan dengan sejumlah masalah internal yang menimpa maskapai penerbangan berupa keuangan dan keselamatan. Masalah terakhir ini pula, yang menjadi alasan komisi penerbangan Uni Eropa mengeluarkan aturan tersebut.
Diakui, hampir semua maskapai penerbangan di tanah air sudah tercoreng namanya dalam hal keselamatan penerbangan. Merpati, Adam Air, Lion Air, dan tak terkecuali Garuda yang menjadi ikon penerbangan Indonesia pernah mengalami kecelakaan yang memakan korban manusia. Meski biaya penerbangan relatif murah, tapi ternyata membawa konsekuensi pada hilangnya nyawa manusia.
Puncak masalah penerbangan tanah air ditunjukkan dengan penutupan sementara salah satu maskapai yakni Adam Air mulai Kamis, 20 Maret 2008. Penutupan ini disebabkan oleh kesulitan keuangan yang menimpa perusahaan sehingga sejumlah biaya tidak bisa dibayarkan berupa biaya pelayanan bandara dan asuransi. Penutupan ini seakan membuka tabir akan bobroknya kondisi penerbangan di tanah air.
Peningkatan biaya hingga melebihi keuntungan, salah satunya disebabkan intensitas kecelakaan pesawat yang dialami Adam Air. Kecelakaan terparah hingga menewaskan semua penumpang dan awak pesawat terjadi pada 1 Januari 2007 saat penerbangan dari Surabaya ke Manado. Belakangan, terbukti bahwa kecelakaan ini disebakkan oleh rusaknya sistem navigasi sehingga pesawat meluncur ke bawah karena tidak bisa dikendalikan oleh pilot. Sejumlah kecelakacaan juga dialami saat take-off dan landing, hanya saja tidak menelan korban jiwa. Terakhir, pada 10 Maret 2008, pesawat Adam Air KI-292 Boeing 737-400 jurusan Jakarta-Batam tergelincir di bandara Hang Nadim Batam.
Adam Air yang tidak menjamin keselamatan penumpang, makin merugi dan manajemen yang tidak transparan berujung pada hengkangnya investor PT. Global Transport Service (GTS) dan PT. Bright Star Perkasa (BPS), yang memiliki saham relatif besar. Akibat investor hengkang, modal usaha makin menipis sehingga bukan hanya tidak ada peluang untuk menambah investasi, tapi juga kecil kemungkinan untuk menjalankan kegiatan operasional perusahaan. Karena itu, perusahaan harus mencari dana tambahan untuk menjalankan kegiatan operasional, bila tidak, maka perusahaan harus ditutup untuk sementara. Fenomena inilah yang menimpa Adam Air, sehingga wajar bila kegiatan operasional dihentikan sementara.
Meski ditutup sementara, dampaknya langsung dialami tenaga kerja Adam Air yang berjumlah sekitar 3.000 jiwa. Tenaga kerja resah dan ketakutan karena dihadapkan pada ketidakpastian akan pekerjaan yang akan dilakukan bila Adam Air ditutup permanen. Ketidakpastian akan dibayarnya uang pesangon pun, tampaknya menjadi kekhawatiran tenaga kerja.
Tentu, kita berharap agar kasus ini bisa diselesaikan dengan arif oleh manajemen Adam Air. Selain itu, maskapai lain bisa belajar banyak dari kasus penutupan ini. Pelajaran berharga adalah keselamatan penerbangan (safety flight) merupakan harga mati dalam menjalankan usaha. Menekan biaya serendah mungkin hingga mengurangi tingkat keselamatan penumpang akan berakibat fatal dan merupakan langkah bodoh dan berbahaya. Malah biaya akan lebih besar lagi bila terjadi kecelakaan, ketimbang biaya meningkatkan kualitas keamanan penerbangan.

28 Februari, 2008

Pembangunan Infrastruktur

Seputar Indonesia, 3 Maret 2008
Laporan daya saing global versi World Economic Forum 2007-2008 menempatkan Indonesia berada pada peringkat 91 dari 131 negara di dunia. Hasil pemeringkatan ini mencerminkan betapa masih tertinggalnya infrastruktur kita dibanding negara lain. Ketertinggalan ini nampaknya menimbulkan pertanyaan akan kemampuan Indonesia bersaing di kancah internasional khususnya bidang ekonomi, bila pembangunan infrastruktur masih mengecewakan seperti sekarang.
Di lapangan, kondisi infrastruktur Indonesia memang sangat mengkhawatirkan. Infrastruktur seperti listrik, transportasi, pertanian dan lain-lain, memperlihatkan kualitas buruk. Contoh, terjadinya krisis listrik akhir-akhir ini, belum lagi dengan kondisi transportasi khususnya di kota-kota besar yang sudah akrab dengan kemacetan. Akibatnya menimbulkan biaya cukup besar bagi seluruh elemen masyarakat, khususnya pelaku ekonomi.
Adapun proyek-proyek pemerintah untuk membangun infrastruktur, kebanyakan kandas di tengah jalan, sehingga belum bisa dinikmati masyarakat. Dalam ranah perencanaan, sejumlah proyek dinilai sangat baik, hanya saja, realisasi di lapangan kerapkali tidak sesuai perencanaan. Bahkan, tidak sedikit proyek berhenti, meski hanya sampai tahap perencanaan. Hal seperti ini menimbulkan dampak negatif besar pada pembangunan ekonomi, sebab bila infrastruktur tidak tumbuh dan lebih berkualitas, serta tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, maka terjadi reduksi aktivitas khususnya bidang ekonomi.
Karena itu, disadari bahwa pembangunan ekonomi salah satunya didukung oleh ketersediaan infrastruktur yang cukup. Infrastruktur dimaksudkan sebagai alat yang dimanfaatkan pelaku ekonomi dalam menjalankan usaha, seperti dalam produksi dan distribusi. Infrastruktur jalanan misalnya, bila tidak mengalami perbaikan, maka secara langsung akan menurunkan aktivitas ekonomi. Distribusi terhambat, biaya meningkat, inefisiensi waktu bertambah, dan lain-lain. Fenomena ini kerap terjadi di negara berkembang, sehingga menimbulkan efek negatif ganda pada perekonomian. Berbeda di negara maju, infrastruktur seperti jalanan biasanya tidak menjadi masalah sebab pembangunannya benar-benar diprioritaskan, sehingga mendorong kemajuan ekonomi.
Karena itu, bangsa yang ingin maju dalam bidang ekonomi harus menjadikan infrastukrtur sebagai pendukung bergerak dan bertumbuhnya aktivitas ekonomi. Infrastruktur mesti dibangun dan dibenahi agar aktivitas ekonomi bisa berjalan lancar, sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat. Pun, nantinya berimbas pada pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Di kancah internasional, dengan dukungan infrastruktur berkualitas, produsen dalam negeri bisa menghasilkan produk yang relatif lebih murah dan pasokan selalu terjaga. Misalnya, ketersediaan listrik akan mendorong produsen tetap berproduksi, serta kondisi transportasi yang berkualitas akan menurunkan biaya. Kondisi ini mendorong produsen dalam negeri tetap mampu bersaing di kancah perdagangan internasional.

19 Februari, 2008

Menuju Kursi Gubernur BI

Suara Mahasiswa SINDO, Selasa 19 Februari 2008
Penyerahan daftar nama calon Gubernur Bank Indonesia (BI) dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke DPR menuai polemik. Timbulnya polemik disebabkan kualifikasi calon gubernur yang ditawarkan presiden tidak sesuai ekspektasi publik. Persaingan pun rasanya tidak fair sebab, meski menawarkan dua calon, jauh di awal sudah terkesan pemerintah menjagokan salah satu di antaranya.
Munculnya dua nama memang tidak pernah dibayangkan publik. Nama Agus Martowardoyo dan Raden Pardede jarang atau bahkan tidak pernah disebut-sebut akan menggantikan posisi Burhanuddin Abdullah sebagai Gubernur BI. Padahal, nama-nama yang kuat dan diperkirakan muncul seperti Miranda S Goeltom, Sri Mulyani, Aulia Pohan, Muliaman D Hadad, Anwar Nasution tidak termasuk dalam daftar. Dua calon gubernur memang memiliki kompetensi dalam bidang yang digeluti dan kedua kompetensi tersebut dibutuhkan dalam memimpin bank sentral. Agus Martowardoyo saat ini menjabat Direktur Utama Bank Mandiri dan sebelumnya pernah menjabat posisi penting di beberapa bank. Karena itu, kemampuan Agus dalam bidang perbankan tidak diragukan lagi. Sementara itu, Raden Pardede ahli dalam bidang moneter yang mengambil spesialisasi moneter dalam pendidikan doktoral di perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat.
Namun, kompentensi kedua calon di atas nampaknya menyisakan pertanyaan. Mengapa pemerintah mengajukan dua nama saja dengan kompetensi berbeda? Padahal, bila diajukan lebih dari dua nama, akan ada alternatif pilihan bila dua calon tidak memenuhi kualifikasi. Lebih unik lagi, jauh di awal pemerintah menyuarakan isu bahwa ke depan BI harus lebih perhatian pada bidang perbankan. Sehingga terkesan bahwa gubernur yang terpilih haruslah yang ahli dalam bidang perbankan.
Pemilihan gubernur BI yang ahli bidang perbankan masih polemik. Benarkah Indonesia membutuhkan gubernur yang ahli moneter ataukah perbankan? Permasalahan moneter lebih luas ketimbang perbankan. Sementara itu, BI bertugas mengurusi ekonomi makro khususnya moneter yang luas cakupannya atau lebih daripada masalah perbankan semata. Luasnya cakupan tugas BI tersimpul dalam satu tugas pokok yakni mencapai dan menjaga stabilitas rupiah. Hal ini pula yang menjadi misi BI yakni kestabilan nilai rupiah yang dilakukan melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan
Dengan melihat kenyataan tersebut, DPR harus berani menolak bila ternyata kedua calon tidak sesuai kualifikasi. Keberanian ini harus ditunjukkan DPR agar gubernur terpilih benar-benar berkualifikasi tinggi sehingga mampu memecahkan permasalahan internal dan terpenting masalah perekonomian Indonesia yang sedang dilanda kelesuan karena gejolak ekonomi eksternal. Selain itu, gubernur terpilih haruslah orang kredibel, berkompeten di bidang moneter, dan sebelumnya tidak tersangkut kasus hukum. Harapannya, Gubernur yang baru mampu membawa BI mendekati visi yakni menjadi lembaga bank sentral yang kredibel secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.

23 Januari, 2008

Pertumbuhan Ekonomi Meleset

Seputar Indonesia, Rabu 21 November 2007
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen tahun ini nampaknya tidak tercapai. Penurunan pertumbuhan ekonomi disinyalir karena tidak tercapainya target pertumbuhan investasi sebesar 12,3 persen. Padahal, pencapaian tingkat investasi tersebut berpengaruh signifikan pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi.

Penurunan investasi ditenggarai oleh kurang bergairahnya sektor riil. Investor baik asing maupun domestik masih lebih tertarik berinvestasi di sektor keuangan dibanding sektor riil. Salah satu buktinya, dana yang parkir di BI dalam bentuk instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia) semakin bertambah dan diperkirakan akan mencapai Rp 300 triliun. Padahal, jika dana sebesar itu diinvestasikan ke sektor riil, maka tenaga kerja yang terserap tentu sangat besar, serta bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Salah satu konsekuensi turunnya pertumbuhan ekonomi adalah berkurangnya daya serap tenaga kerja. Setiap satu persen pertumbuhan diasumsikan menyerap sekitar 300 ribu-350 ribu tenaga kerja baru. Berarti, capaian pertumbuhan berkisar 6,2 persen hanya bisa menyerap sekitar 2 juta orang dari sekitar 2,1 juta pencari kerja baru. Selebihnya, yakni 100 ribu tenaga kerja baru akan bernasib sama dengan sekitar 10 juta lebih pengangguran saat ini.

Peningkatan angka pengangguran dari tahun ke tahun merupakan pertanda kegagalan kebijakan makro pemerintah. Data BPS menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2001 terdapat sekitar 8 juta jiwa, 2002 (9,3 juta jiwa), 2003 (9,5 juta jiwa), 2004 (10,3 juta jiwa), dan tahun 2006 (10,9 juta jiwa). Jadi, sedikit keliru jika menganggap kebijakan ekonomi pemerintah selama ini berhasil jika ditinjau secara makro, sementara angka pengangguran dan kemiskinan mengalami tren peningkatan.

Memang, berbagai kebijakan untuk mendorong investasi telah dilakukan, termasuk menurunkan BI rate ke tingkat relatif rendah dengan harapan bisa menstimulus peningkatan signifikan kredit investasi. Namun, nampaknya tujuan tersebut masih sulit terjadi. Kenyataan sebaliknya, tingkat tabungan meningkat jauh lebih tinggi dibanding penyaluran kredit, di mana dana pihak ketiga di perbankan saat ini mencapai sekitar Rp 1.400 triliun, sementara penyaluran kredit sekitar Rp 950 triliun. Dana perbankan yang berlebih ini kemudian di parkir di BI dalam bentuk SBI.

Penurunan tingkat investasi juga ditenggarai ekspektasi lesunya perekonomian karena tingginya harga minyak dunia yang masih menyentuh level di atas USD 96 per barel. Perekonomian akan terkena imbas biaya tinggi karena harga energi meningkat, sehingga produksi barang dalam proses industrialisasi nasional berkurang. Ditambah lagi dengan menurunnya tingkat ekspor beberapa produk non-migas karena permintaan beberapa negara tujuan ekspor menurun. Sementara, pertumbuhan sektor-sektor yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja seperti pertanian dan manufaktur ikut melambat. Sektor pertanian diperkiran hanya tumbuh 2-3 persen, sedangkan sektor manufaktur tumbuh 5-7 persen hingga akhir tahun 2007.

Menuru penulis, langkah jangka pendek pemerintah mengantisipasi gejolak harga minyak dengan subsidi, sudah sangat tepat. Ini dimaksudkan agar perekonomian dalam negeri tidak mengalami kelesuan, sehingga kapisitas produksi barang pun terjaga. Kalaupun ada sedikit gejolak, maka masalah itu bisa diatasi dengan efisiensi. Selain itu, penciptaan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang didorong investasi riil juga sangat penting. Saat ini, pertumbuhan masih dominan dorongan konsumsi, sehingga pengaruhnya pada perluasan kesempatan kerja sedikit. Akibatnya, di saat pertumbuhan ekonomi turun sedikit, kesempatan kerja yang tercipta pun tidak mampu menyerap jumlah angkatan kerja. Nampaknya, ini menjadi tugas berat pemerintah.

Resesi AS dan Ekonomi Kita

Seputar Indonesia, Jumat 25 Januari 2008
Kekhawatiran terjadinya resesi di Amerika Serikat (AS) yang akan berdampak negatif pada perekonomian Indonesia memang perlu dicermati. Pasalnya, keberadaan AS dengan perekonomian paling besar di dunia turut mempengaruhi kondisi ekonomi negara lain khususnya yang menjalin kerja sama ekonomi. Karena itu, tiap negara harus mengantisipasi dan mempersiapkan strategi agar dampak negatif bila ekonomi AS mengalami resesi bisa diminimalisir.
Perekonomian AS memang berpeluang besar mengalami resesi setelah ditimpa beberapa fenomena ekonomi seperti krisis kredit macet perumahan, kenaikan harga minyak mentah, dan jatuhnya harga saham di pasar modal AS. Akibatnya, tanda-tanda menuju resesi makin jelas dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa kuartal terakhir. Bahkan, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tahun ini sebesar 2,8% telah dikoreksi menjadi 2,2%. Untuk mencegah perekonomian makin buruk, reaksi Bank Sentral AS dengan menurunkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,5% (lebih awal dari yang dijadwalkan), memberi sinyal kuat kalau perekonomian AS sudah berada di ujung tanduk. Ini menandakan ancaman resesi benar-benar sudah di depan mata, serta nantinya mengakibatkan perlambatan ekonomi dunia, serta perekonomian negara lain.
Bagi Indonesia, AS merupakan mitra ekonomi utama khususnya dalam hubungan perdagangan. Data Januari-November 2007 menunjukkan total ekspor non-migas Indonesia ke AS mencapai USD 10.307,3 juta, terbesar kedua setelah Jepang. Karena itu, perlambatan ekonomi AS akan mempengaruhi volume perdagangan, dengan kata lain, akan menekan pertumbuhan ekspor Indonesia. Dampaknya sudah bisa dilihat dengan pertumbuhan ekspor ke AS pada 2007 hanya sebesar 5%, padahal biasanya angka pertumbuhan mencapai 10%.
Penurunan pertumbuhan ekspor secara langsung berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, sumbangan ekspor relatif tinggi ketimbang pertumbuhan konsumsi dan investasi. Apalagi dengan meningkatnya harga produk-produk ekspor di pasar internasional seperti kelapa sawit, batu bara, karet, dan beberapa produk primer lainnya. Peningkatan harga produk primer ini masih terkait dengan kenaikan harga minyak mentah, yang memaksa konsumen menggunakan sumber energi alternatif. Namun, perlu ditekankan lagi bahwa sumbangan ekspor pada pertumbuhan lebih disebabkan oleh kenaikan harga di pasar internasional ketimbang kenaikan volume ekspor. Karena itu, perlu dilakukan kebijakan strategis agar optimalisasi keuntungan bisa tercapai dengan meningkatkan volume produksi seiring dengan kenaikan harga produk-produk primer di pasar internasional.
Agar dampak gejolak eksternal bisa diminimalisir, pemerintah perlu mewaspadai dan menyiapkan strategi yang tepat khususnya bila ekonomi AS mengalami resesi. Memang, pencapaian indikator makro ekonomi yang dicapai pada 2007 relatif baik ketimbang tahun sebelumnya, seperti pertumbuhan ekonomi di level 6,3%, cadangan devisa USD 55 miliar, kurs rupiah stabil di level 9.100 per US dollar. Namun, tentunya pencapaian tersebut belum cukup kuat membentengi perekonomian nasional dari gejolak eksternal. Pemerintah masih perlu melakukan langkah-langkah antisipatif jangka pendek agar pengaruh negatifnya bisa diminimalisir. Sementara itu, fundamental ekonomi nasional harus dikuatkan dengan memosisikan rakyat sebagai pendorong utama kemajuan ekonomi, salah satunya dengan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor riil, yaitu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Dengan mengandalkan aktivitas ekonomi rakyat sebagai penopang perekonomian, maka pengaruh gejolak eksternal khususnya pada sektor finansial tidak berimbas negatif pada sektor riil.

19 Januari, 2008

Jadi Indikator Kemajuan Bangsa

Kompas Yogyakarta, 15 Desember 2006
Tak bisa dimungkiri perempuan sering kali menjadi obyek kekerasan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Berbagai kejadian telah menyadarkan kita betapa banyak perempuan menjadi korban kekerasan.
Hampir tiap hari kita mendengar berita perkosaan terhadap perempuan baik itu di televisi maupun surat kabar. Para tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri, khususnya yang ilegal, banyak dari mereka mendapat perlakuan kasar dari majikan, atau orang- orang yang memfasilitasi kerja ke luar negeri kerap kali memperlakukan TKW dengan tidak senonoh. Perempuan dijadikan obyek kekerasan, termasuk yang dilakukan oleh laki-laki yang memperturutkan nafsu syahwat.
Kejadian-kejadian yang menimpa perempuan seperti di atas mengindikasikan ketidakberhasilan pemerintah memberikan perlindungan kepada perempuan. Lalu, di mana kinerja menteri yang khusus memberdayakan perempuan? Bukankah perempuan dari dulu sampai sekarang masih termarjinalkan. Ironis, ketika isu poligami mencuat, pemerintah dengan gesit berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 berkaitan dengan perkawinan dan perceraian oleh pegawai negeri sipil (PNS) yang akan diperlakukan secara umum.
Berbeda dengan isu perkosaan, pelecehan seksual, pengeksploitasian yang hampir tiap hari terjadi, sama sekali tidak bisa dikurangi malah kejadian-kejadian ini bertambah seiring berjalan waktu. Usaha-usaha pemerintah hanya di permukaan saja dan tak bisa menyentuh akar permasalahan, yakni penciptaan hukum dan aparat penegak yang konsisten memberantas kekerasan terhadap perempuan. Tanpa hal tersebut, apa yang dilakukan pemerintah sama halnya dengan berwacana, sebaliknya kekerasan pun berkembang biak di masyarakat.
Memang tidak bisa dimungkiri banyak perempuan telah mencapai prestasi dan karier yang mantap. Mereka yang berpendidikan dan punya keterampilan yang memadai akan mampu berkompetisi dan bertahan dari ancaman kekerasan.
Namun, jumlah ini relatif sedikit jika dibandingkan dengan perempuan yang hidup tertindas. Mereka tidak punya pendidikan dan keterampilan yang memadai, yang menjadikannnya harus tersingkir dari arena kehidupan yang lebih baik. Mereka yang jumlahnya banyak inilah menjadi obyek kekerasan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Mereka amat mudah dibodohi dan diperdaya untuk memenuhi tuntutan yang menjerumuskan ke arah perbudakan.
Sangat mungkin dengan kondisi perempuan seperti ini yang memberi wajah kebobrokan bangsa ini. Seperti yang diucapkan Jawaharlal Nehru, "Kamu dapat menilai suatu bangsa melalui status perempuan bangsa tersebut." Tampak bahwa status perempuan merupakan salah satu indikator buat bangsa yang dikatakan maju atau terbelakang. Penulis pun menilai, posisi perempuan yang membentuk generasi berpengaruh besar dengan generasi yang akan dibentuknya. Jika status kaum perempuan terbelakang, perempuan menjadi komoditas, perempuan diperbudak, bukan tidak mungkin generasi yang dibentuknya itu akan terbelakang pula, jauh dari ajaran moralitas dan etika, dan jiwanya tumbuh dalam suasana ketakkondusifan.
Nah, apakah kita ingin melihat bangsa ini diisi oleh generasi demikian? Pertanyaan yang harus direnungi dan dijawab dengan tindakan.

11 Januari, 2008

Pertumbuhan dan Pengangguran

Seputar Indonesia, 14 Januari 2008
Tercapainya pertumbuhan ekonomi di level 6,3% pada 2007, menepis dugaan beberapa kalangan yang meragukan target tersebut bisa dicapai pemerintah. Pesimisme ini memang beralasan, sebab diperkirakan pertumbuhan investasi sebagai salah satu pendorong pertumbuhan yang ditargetkan sebesar 12,3 % tidak tercapai.
Pertumbuhan memang masih menyisakan pesimisme, sebab peningkatan kapasitas produksi barang dan jasa nasional hanya menciptakan lapangan kerja yang relatif sedikit ketimbang tenaga kerja yang mestinya terserap. Apalagi bila dihadapkan dengan target pemerintah menurunkan angka pengangguran pada 2009 menjadi 5,1% dari total angkatan kerja yang per Agustus 2007 mencapai 109,94 juta jiwa. Beberapa kalangan menilai, pertumbuhan yang dicapai pada 2007 memang kurang berkualitas, sebab setiap satu persen pertumbuhan, perekonomian hanya mampu menyerap tidak lebih dari 225.000 tenaga kerja. Sementara itu, tiap tahun terdapat tambahan angkatan kerja sekitar 2 juta jiwa. Artinya, bila kualitas dan tingkat pertumbuhan tetap sama, maka tiap tahun pengangguran akan bertambah sekitar 200 ribu – 300 ribu jiwa. Idealnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai 7-8 persen per tahun, dan bisa menyerap sebanyak 300 ribu – 350 ribu tenaga kerja per satu persen pertumbuhan.
Kualitas pertumbuhan bisa diamati pada struktur Produk Domestik Bruto (PDB) dengan mengamati unsur pembentuknya yaitu sektor lapangan usaha dan pengeluaran. Dari sisi sektor lapangan usaha, pertumbuhan PDB terutama didorong oleh sektor non-tradable, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, bangunan, dan jasa-jasa. Sementara itu, sektor industri manufaktur, pertanian, pertambangan yang notabene menyerap relatif banyak tenaga kerja ketimbang sektor non-tradable, hanya sedikit berkontribusi pada pertumbuhan.
Di sisi lain, proporsi sektor pengeluaran yang terdiri dari konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor neto juga tidak luput dari masalah. Sumbangan sektor konsumsi pada PDB masih mendominasi sebesar 62%. Sementara itu, sektor investasi yang diharapkan efektif membuka lapangan kerja hanya berkontribusi sebesar 24% terhadap PDB. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja keras pemerintah di tahun-tahun mendatang untuk menggairahkan iklim investasi agar proporsi pembentuk PDB ini tidak timpang. Sehingga kapasitas produksi domestik bisa meningkat signifikan serta tenaga kerja terserap lebih banyak setiap satu persen pertumbuhan.
Kebijakan pro pengurangan jumlah penganggur harus ditempuh karena kita berpacu dengan banyaknya tambahan tenaga kerja tiap tahun. Tantangan ini memang menjadi ciri khas perekonomian yang surplus tenaga kerja, yaitu perekonomian yang kapasitas produksinya belum mampu menampung seluruh angkatan kerja. Surplus tenaga kerja memang kadangkala menjadi penghambat, tapi bisa juga menjadi pendorong perekonomian. Kondisi ini tergantung beberapa faktor di antaranya, iklim usaha yang kondusif dan tenaga kerja yang berkualitas.
Oleh karena itu, pemerintah harus lebih konkrit mengatasi pengangguran, salah satunya dengan fokus mengembangkan sektor usaha yang menyerap banyak tenaga kerja, yakni usaha kecil. Data 6 tahun terakhir menunjukkan, usaha kecil mencapai rata-rata 99% dari total usaha sebesar 48,9% juta tahun 2006. Sementara itu, jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 91% dari jumlah tenaga kerja seluruhnya.

04 Januari, 2008

Harga Minyak USD 100

Seputar Indonesia, 7 Januari 2008
Prediksi harga minyak mentah dunia akan menembus level psikologis akhirnya terbukti juga. Dalam penutupan perdagangan di pasar saham Amerika Serikat, kamis 3/1, harga minyak berada di posisi USD 100 per barel, meski akhirnya sedikit turun lagi ke posisi USD 99 per barel pada perdagangan hari selanjutnya.
Fluktuasi harga minyak nampaknya tidak lagi disebabkan oleh faktor obyektif. Artinya, adanya interaksi antara penawaran dengan permintaan, di mana permintaan meningkat lebih tinggi ketimbang penawaran, tidak lagi menjadi penyebab utama tembusnya harga minyak pada level psikologis saat ini. Pada awalnya, meningkatnya permintaan minyak yang tidak dibarengi dengan cukupnya ketersediaan minyak memang mengakibatkan naiknya harga. Akan tetapi, seiring peningkatan produksi dari negara-negara penghasil minyak, krisis penawaran nampaknya bukan lagi masalah serius.
Bencana ekonomi ini lebih disebabkan oleh faktor subyektif, yaitu terjadinya krisis geopolitik di negara penghasil minyak dan sentimen negatif pasar. Ketegangan di beberapa negara penghasil minyak seperti Nigeria (produsen minyak terbesar di Afrika), serta ketidakstabilan politik di Pakistan mengakibatkan kepanikan di pasar saham, khususunya di AS. Kesempatan ini dijadikan arena spekulasi terhadap harga komoditas minyak sehingga investor bisa saja mempermainkan harga untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Fenomena yang terjadi di bursa saham AS, serta ketegangan di beberapa negara penghasil minyak tentu saja berimplikasi negatif pada negara-negara dependen minyak, termasuk Indonesia. Bagi negara-negara net exportir, kenaikan ini menghasilkan keuntungan nomplok (windfall profit), karena selisih biaya produksi dengan harga jual di pasar makin meningkat. Sementara, bagi negara-negara net importir kenaikan ini merupakan bencana eksternal yang menimbulkan dampak negatif pada perekonomian.
Bagi Indonesia, kenaikan ini merupakan bencana besar karena kita tergolong negara net importir. Dampak pada perekonomian terutama berkenaan dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), baik pada pos penerimaan maupun pengeluaran. Bila harga meningkat, maka penerimaan dari produksi minyak yang diekspor juga meningkat. Sementara itu, pengeluaran juga meningkat karena harus membayar impor minyak hasil olahan (BBM) yang tentu saja ikut melonjak naik. Nah, untuk menjaga agar harga BBM yang sampai ke masyarakat tidak naik, maka pemerintah tentu saja harus mengeluarkan dana subsidi yang super besar. Idealnya, biaya subsidi ini bisa ditutupi dengan keuntungan yang didapatkan dari ekspor minyak.
Dengan demikian, sebagai net importir, nampaknya beban yang akan dibawa perekonomian Indonesia selama tahun 2008 makin besar. Subsidi minyak yang dibiayai APBN meningkat signifikan, sementara dana yang tersedia tidak cukup menalangi. Tindakan pengamanan APBN yang telah ditetapkan bulan November 2007 kemarin, memang diharapkan akan menyelamatkan APBN dan mengurangi dampaknya pada perekonomian. Namun, sebenarnya kata kunci agar terhindar dari bencana eksternal ini adalah meningkatkan produksi minyak minimal sampai pada level keseimbangan antara biaya subisidi dengan keuntungan ekspor. Oleh karena itu, pemerintah harus fokus untuk meningkatkan lifting (volume siap jual) minyak dengan mengandalkan segenap potensi baik domestik maupun asing. Sebab, pelajaran tahun kemarin, target produksi nasional sebesar 950.000 barel per hari, hanya tercapai 899.000 barel per hari. Sementara target 2008, produksi minyak sebesar 1,034 barel per hari. Target ini hanya bisa dicapai dengan kerja sama dan komitmen dari pemerintah dan swasta untuk meningkatkan produksi minyak.