Seputar Indonesia, 7 Januari 2008
Prediksi harga minyak mentah dunia akan menembus level psikologis akhirnya terbukti juga. Dalam penutupan perdagangan di pasar saham Amerika Serikat, kamis 3/1, harga minyak berada di posisi USD 100 per barel, meski akhirnya sedikit turun lagi ke posisi USD 99 per barel pada perdagangan hari selanjutnya.
Fluktuasi harga minyak nampaknya tidak lagi disebabkan oleh faktor obyektif. Artinya, adanya interaksi antara penawaran dengan permintaan, di mana permintaan meningkat lebih tinggi ketimbang penawaran, tidak lagi menjadi penyebab utama tembusnya harga minyak pada level psikologis saat ini. Pada awalnya, meningkatnya permintaan minyak yang tidak dibarengi dengan cukupnya ketersediaan minyak memang mengakibatkan naiknya harga. Akan tetapi, seiring peningkatan produksi dari negara-negara penghasil minyak, krisis penawaran nampaknya bukan lagi masalah serius.
Bencana ekonomi ini lebih disebabkan oleh faktor subyektif, yaitu terjadinya krisis geopolitik di negara penghasil minyak dan sentimen negatif pasar. Ketegangan di beberapa negara penghasil minyak seperti Nigeria (produsen minyak terbesar di Afrika), serta ketidakstabilan politik di Pakistan mengakibatkan kepanikan di pasar saham, khususunya di AS. Kesempatan ini dijadikan arena spekulasi terhadap harga komoditas minyak sehingga investor bisa saja mempermainkan harga untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Fenomena yang terjadi di bursa saham AS, serta ketegangan di beberapa negara penghasil minyak tentu saja berimplikasi negatif pada negara-negara dependen minyak, termasuk Indonesia. Bagi negara-negara net exportir, kenaikan ini menghasilkan keuntungan nomplok (windfall profit), karena selisih biaya produksi dengan harga jual di pasar makin meningkat. Sementara, bagi negara-negara net importir kenaikan ini merupakan bencana eksternal yang menimbulkan dampak negatif pada perekonomian.
Bagi Indonesia, kenaikan ini merupakan bencana besar karena kita tergolong negara net importir. Dampak pada perekonomian terutama berkenaan dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), baik pada pos penerimaan maupun pengeluaran. Bila harga meningkat, maka penerimaan dari produksi minyak yang diekspor juga meningkat. Sementara itu, pengeluaran juga meningkat karena harus membayar impor minyak hasil olahan (BBM) yang tentu saja ikut melonjak naik. Nah, untuk menjaga agar harga BBM yang sampai ke masyarakat tidak naik, maka pemerintah tentu saja harus mengeluarkan dana subsidi yang super besar. Idealnya, biaya subsidi ini bisa ditutupi dengan keuntungan yang didapatkan dari ekspor minyak.
Dengan demikian, sebagai net importir, nampaknya beban yang akan dibawa perekonomian Indonesia selama tahun 2008 makin besar. Subsidi minyak yang dibiayai APBN meningkat signifikan, sementara dana yang tersedia tidak cukup menalangi. Tindakan pengamanan APBN yang telah ditetapkan bulan November 2007 kemarin, memang diharapkan akan menyelamatkan APBN dan mengurangi dampaknya pada perekonomian. Namun, sebenarnya kata kunci agar terhindar dari bencana eksternal ini adalah meningkatkan produksi minyak minimal sampai pada level keseimbangan antara biaya subisidi dengan keuntungan ekspor. Oleh karena itu, pemerintah harus fokus untuk meningkatkan lifting (volume siap jual) minyak dengan mengandalkan segenap potensi baik domestik maupun asing. Sebab, pelajaran tahun kemarin, target produksi nasional sebesar 950.000 barel per hari, hanya tercapai 899.000 barel per hari. Sementara target 2008, produksi minyak sebesar 1,034 barel per hari. Target ini hanya bisa dicapai dengan kerja sama dan komitmen dari pemerintah dan swasta untuk meningkatkan produksi minyak.
04 Januari, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar