Kompas Yogyakarta, 17 Oktober 2008
Dengan karakteristik small open economy, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh percaturan ekonomi global. Kasus Subprime Mortgage yang mengantarkan ekonomi AS ke jurang resesi, juga ikut menggoyang stabilitas ekonomi nasional khususnya di sektor keuangan. Lantas, bagaimana agar Indonesia tidak ikut terperosok ke jurang tersebut?
Krisis 1997 memberi banyak pelajaran pada bangsa ini mengenai cara menghadapi gejolak ekonomi. Krisis ini bukan muncul di Indonesia, tapi di Thailand. Rembetan dari Thailand menuju ke sejumlah negara Asia lainnya, termasuk Indonesia telah memberikan efek yang berbeda di masing-masing negara. Boleh dibilang, perekonomian Indonesia mendapat efek negatif paling besar di antara negara-negara lainnya. Sebab, jantung ekonomi nasional yakni perbankan mengalami kebangkrutan, sehingga berimbas pula pada sektor riil. Akibatnya, negara-negara lain sudah pulih dari krisis, Indonesia masih terkapar dan tertatih-tatih menuju kebangkitan ekonomi.
Model yang sama ditemui saat ini. Krisis lembaga finansial ini terjadi di Amerika Serikat ditandai dengan bangkrutnya sejumlah bank investasi. Masalahnya, krisis finansial di AS akan berimbas pula pada sektor finansial di Indonesia, terutama pasar saham dan valuta asing. Hal ini tidak dapat dimungkiri karena integrasi pasar keuangan dunia disertai dengan liberalisasi pasar finansial memuluskan hal tersebut terjadi. Pun, karena orang asing merupakan penguasa modal dominan di bursa saham. Mereka sangat sensitif dengan gejolak ekonomi di AS sehingga terdorong melakukan aksi jual. Adapun pelarian kapital ke luar akan meningkatkan permintaan dolar terhadap rupiah, sehingga rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS.
Nah, agar bangsa ini tidak ikut terperosok ke jurang krisis, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan sektor finansial kita. Agar krisis 1997 tidak terulang kembali, pemerintah harus menjaga sistem perbankan agar tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kepercayaan nasabah harus dijaga, salah satunya dengan memberikan jaminan simpanan yang lebih tinggi. Langkah ini sudah dilakukan pemerintah, yakni menaikkan level simpanan yang dijamin sampai Rp 2 miliar dari sebelumnya hanya Rp 100 juta. Dengan jaminan ini, nasabah akan tetap percaya pada bank, sebagai tempat mereka menitipkan uang.
Hanya saja, ironis bila pemerintah menaikkan suku bunga BI yang hingga kini mencapai level 9,5 persen. Alasan pemerintah, dalam hal ini BI, adalah untuk menekan inflasi 2009 agar sesuai targetnya. Namun, sektor riil lah yang menjadi korban terhadap naiknya suku bunga acuan tersebut. Selain itu, gejolak ekonomi global juga berimbas pada ekspor dan impor yang bisa menurunkan pertumbuhan.
Di sisi ekspor, semestinya terjadi kenaikan pendapatan karena harga produk domestik relatif lebih rendah di luar negeri. Akan tetapi, di masa krisis, permintaan luar negeri terhadap produk domestik pun ikut berkurang, sehingga volume ekspor turun. Langkah yang harus dilakukan adalah melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor. Selama ini, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan sejumlah negara Eropa Barat menjadi tujuan ekspor utama. Ke depan, pemerintah perlu memperluas diversifikasi tujuan ekspor terutama ke negara-negara Timur Tengah, yang saat ini kelebihan likuiditas.
Dampak lebih parah lagi dilihat di sisi impor, sebab harga yang dibayarkan terhadap produk impor relatif lebih tinggi dibanding sebelumnya. Akibatnya, produk impor khususnya yang digunakan untuk bahan baku industri menjadi lebih mahal, sehingga harga-harga barang ikut naik. Sehingga, ketergantungan pada produk impor juga harus dikurangi sedikit demi karena hal tersebut akan mengurangi cadangan devisa nasional.
Oleh karenanya, langkah antisipasi di sektor finansial terutama perbankan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Sedangkan di sektor riil, pemerintah perlu menjaga surplus neraca perdagangan, dengan meningkatkan volume ekspor dan mengurangi ketergantungan pada produk impor. Sejumlah strategi inilah yang bisa menghindarkan Indonesia dari jurang krisis.
Dengan karakteristik small open economy, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh percaturan ekonomi global. Kasus Subprime Mortgage yang mengantarkan ekonomi AS ke jurang resesi, juga ikut menggoyang stabilitas ekonomi nasional khususnya di sektor keuangan. Lantas, bagaimana agar Indonesia tidak ikut terperosok ke jurang tersebut?
Krisis 1997 memberi banyak pelajaran pada bangsa ini mengenai cara menghadapi gejolak ekonomi. Krisis ini bukan muncul di Indonesia, tapi di Thailand. Rembetan dari Thailand menuju ke sejumlah negara Asia lainnya, termasuk Indonesia telah memberikan efek yang berbeda di masing-masing negara. Boleh dibilang, perekonomian Indonesia mendapat efek negatif paling besar di antara negara-negara lainnya. Sebab, jantung ekonomi nasional yakni perbankan mengalami kebangkrutan, sehingga berimbas pula pada sektor riil. Akibatnya, negara-negara lain sudah pulih dari krisis, Indonesia masih terkapar dan tertatih-tatih menuju kebangkitan ekonomi.
Model yang sama ditemui saat ini. Krisis lembaga finansial ini terjadi di Amerika Serikat ditandai dengan bangkrutnya sejumlah bank investasi. Masalahnya, krisis finansial di AS akan berimbas pula pada sektor finansial di Indonesia, terutama pasar saham dan valuta asing. Hal ini tidak dapat dimungkiri karena integrasi pasar keuangan dunia disertai dengan liberalisasi pasar finansial memuluskan hal tersebut terjadi. Pun, karena orang asing merupakan penguasa modal dominan di bursa saham. Mereka sangat sensitif dengan gejolak ekonomi di AS sehingga terdorong melakukan aksi jual. Adapun pelarian kapital ke luar akan meningkatkan permintaan dolar terhadap rupiah, sehingga rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS.
Nah, agar bangsa ini tidak ikut terperosok ke jurang krisis, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan sektor finansial kita. Agar krisis 1997 tidak terulang kembali, pemerintah harus menjaga sistem perbankan agar tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kepercayaan nasabah harus dijaga, salah satunya dengan memberikan jaminan simpanan yang lebih tinggi. Langkah ini sudah dilakukan pemerintah, yakni menaikkan level simpanan yang dijamin sampai Rp 2 miliar dari sebelumnya hanya Rp 100 juta. Dengan jaminan ini, nasabah akan tetap percaya pada bank, sebagai tempat mereka menitipkan uang.
Hanya saja, ironis bila pemerintah menaikkan suku bunga BI yang hingga kini mencapai level 9,5 persen. Alasan pemerintah, dalam hal ini BI, adalah untuk menekan inflasi 2009 agar sesuai targetnya. Namun, sektor riil lah yang menjadi korban terhadap naiknya suku bunga acuan tersebut. Selain itu, gejolak ekonomi global juga berimbas pada ekspor dan impor yang bisa menurunkan pertumbuhan.
Di sisi ekspor, semestinya terjadi kenaikan pendapatan karena harga produk domestik relatif lebih rendah di luar negeri. Akan tetapi, di masa krisis, permintaan luar negeri terhadap produk domestik pun ikut berkurang, sehingga volume ekspor turun. Langkah yang harus dilakukan adalah melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor. Selama ini, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan sejumlah negara Eropa Barat menjadi tujuan ekspor utama. Ke depan, pemerintah perlu memperluas diversifikasi tujuan ekspor terutama ke negara-negara Timur Tengah, yang saat ini kelebihan likuiditas.
Dampak lebih parah lagi dilihat di sisi impor, sebab harga yang dibayarkan terhadap produk impor relatif lebih tinggi dibanding sebelumnya. Akibatnya, produk impor khususnya yang digunakan untuk bahan baku industri menjadi lebih mahal, sehingga harga-harga barang ikut naik. Sehingga, ketergantungan pada produk impor juga harus dikurangi sedikit demi karena hal tersebut akan mengurangi cadangan devisa nasional.
Oleh karenanya, langkah antisipasi di sektor finansial terutama perbankan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Sedangkan di sektor riil, pemerintah perlu menjaga surplus neraca perdagangan, dengan meningkatkan volume ekspor dan mengurangi ketergantungan pada produk impor. Sejumlah strategi inilah yang bisa menghindarkan Indonesia dari jurang krisis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar