Seputar Indonesia, 21 Oktober 2008
Muhammad Hatta pernah berkata “hanya suatu bangsa yang bisa menyingkirkan rasa tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang paham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang benderang”.
Ibaratnya manusia, di satu sisi merupakan makhluk pribadi tapi di sisi lain sebagai makhluk sosial. Dianggap sebagai makhluk sosial karena kita membutuhkan manusia lain dalam kelangsungan kehidupan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, ketergantungan ini bisa dilihat pada proses produksi dan konsumsi barang. Seseorang mengkonsumsi barang yang diproduksi orang lain. Karena kebutuhan manusia makin berkembang maka ketergantungan antar manusia satu dengan yang lain pun makin berkembang. Nah, dalam konteks negara, ketergantungan tercermin pada kebutuhan suatu negara yang hanya bisa dipenuhi dengan memperoleh bantuan negara lain. Kebutuhan ini dapat berupa kecukupan barang dan jasa, kecukupan finansial, dan lain-lain.
Selama orde baru, kebutuhan finansial untuk pembangunan diperoleh dengan “mengemis” dari pihak asing. Akibatnya, utang layaknya menjadi penopang perekonomian saat itu. Tapi, terjadinya krisis 1997, ternyata salah satunya karena utang pemerintah dan swasta yang jatuh tempo saat itu. Akibatnya, permintaan dolar AS meningkat, sehingga melemahkan nilai tukar rupiah. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis moneter di sektor finansial, termasuk perbankan.
Terkait kecukupan finansial dalam menggerakkan pembangunan, memang secara teoritis suatu negara akan berutang ke pihak lain bila mana dirasa kemampuan finansialnya belum cukup. Namun kita harus kritis bila pemerintah berutang, apalagi bila utang tersebut diperoleh dengan mengemis ke negara lain atau lembaga finansial internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Sebab, sudah menjadi pengetahuan umum, Utang Luar Negeri (ULN) memiliki dimensi yang lebih luas ketimbang sekedar masalah ekonomi. Dimensi sosial dan politik yang terkandung dalam ULN juga sangat besar sehingga dikhawatirkan akan muncul risiko bila terjadi dinamika pada bidang sosial dan politik.
Bahaya lain utang adalah menjadikan pemerintah “manja” dan lemah upayanya untuk meningkatkan pendapatan domestik. Hal ini terjadi pada masa Orde Baru, yang didukung pula usaha keras kreditor untuk menawarkan pinjaman. Ini salah satu strategi negara atau lembaga kreditor untuk memasukkan negara peminjam dalam pusaran kekuasaannya. Si pengutang tentu tunduk pada pemberi utang, karena pengutang merasa segan menolak keinginan pemberi utang. Padahal, relasi penerima dengan pemberi pinjaman seperti inilah yang mengantarkan pada kehancuran si penerima pinjaman.
Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang, baik luar negeri maupun domestik. Upaya pemerintah mengelola sumber daya alam secara optimal agar pendapatan naik merupakan salah satu faktor tercapainya kemerdekaan finansial. Pemerintah harus menyadari, berutang itu ibaratnya menggali lubang untuk kuburan sendiri. Sehingga sangat rawan terjadi, suatu negara akan bangkrut dan benar-benar masuk ke lubang tersebut. Oleh karenanya, kita harus menyingkirkan ketergantungan tersebut, agar generasi sekarang dan selanjutnya tidak akan takut terhadap masa depannya.[]
Muhammad Hatta pernah berkata “hanya suatu bangsa yang bisa menyingkirkan rasa tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang paham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang benderang”.
Ibaratnya manusia, di satu sisi merupakan makhluk pribadi tapi di sisi lain sebagai makhluk sosial. Dianggap sebagai makhluk sosial karena kita membutuhkan manusia lain dalam kelangsungan kehidupan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, ketergantungan ini bisa dilihat pada proses produksi dan konsumsi barang. Seseorang mengkonsumsi barang yang diproduksi orang lain. Karena kebutuhan manusia makin berkembang maka ketergantungan antar manusia satu dengan yang lain pun makin berkembang. Nah, dalam konteks negara, ketergantungan tercermin pada kebutuhan suatu negara yang hanya bisa dipenuhi dengan memperoleh bantuan negara lain. Kebutuhan ini dapat berupa kecukupan barang dan jasa, kecukupan finansial, dan lain-lain.
Selama orde baru, kebutuhan finansial untuk pembangunan diperoleh dengan “mengemis” dari pihak asing. Akibatnya, utang layaknya menjadi penopang perekonomian saat itu. Tapi, terjadinya krisis 1997, ternyata salah satunya karena utang pemerintah dan swasta yang jatuh tempo saat itu. Akibatnya, permintaan dolar AS meningkat, sehingga melemahkan nilai tukar rupiah. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis moneter di sektor finansial, termasuk perbankan.
Terkait kecukupan finansial dalam menggerakkan pembangunan, memang secara teoritis suatu negara akan berutang ke pihak lain bila mana dirasa kemampuan finansialnya belum cukup. Namun kita harus kritis bila pemerintah berutang, apalagi bila utang tersebut diperoleh dengan mengemis ke negara lain atau lembaga finansial internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Sebab, sudah menjadi pengetahuan umum, Utang Luar Negeri (ULN) memiliki dimensi yang lebih luas ketimbang sekedar masalah ekonomi. Dimensi sosial dan politik yang terkandung dalam ULN juga sangat besar sehingga dikhawatirkan akan muncul risiko bila terjadi dinamika pada bidang sosial dan politik.
Bahaya lain utang adalah menjadikan pemerintah “manja” dan lemah upayanya untuk meningkatkan pendapatan domestik. Hal ini terjadi pada masa Orde Baru, yang didukung pula usaha keras kreditor untuk menawarkan pinjaman. Ini salah satu strategi negara atau lembaga kreditor untuk memasukkan negara peminjam dalam pusaran kekuasaannya. Si pengutang tentu tunduk pada pemberi utang, karena pengutang merasa segan menolak keinginan pemberi utang. Padahal, relasi penerima dengan pemberi pinjaman seperti inilah yang mengantarkan pada kehancuran si penerima pinjaman.
Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang, baik luar negeri maupun domestik. Upaya pemerintah mengelola sumber daya alam secara optimal agar pendapatan naik merupakan salah satu faktor tercapainya kemerdekaan finansial. Pemerintah harus menyadari, berutang itu ibaratnya menggali lubang untuk kuburan sendiri. Sehingga sangat rawan terjadi, suatu negara akan bangkrut dan benar-benar masuk ke lubang tersebut. Oleh karenanya, kita harus menyingkirkan ketergantungan tersebut, agar generasi sekarang dan selanjutnya tidak akan takut terhadap masa depannya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar