30 November, 2010

Lemahnya Penegakan Aturan

Dimuat di Harian Jogja, 30 November 2010

Penganiayaan terhadap TKI kembali terjadi. Sumiati, TKI yang bekerja di Arab Saudi, mendapatkan perlakuan kejam dari majikannya yang melebihi batas kemanusiaan. Ini bukan kali pertama TKI memperoleh perlakuan demikian. Penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan yang dialami oleh TKI kerap kali terjadi.

Namun sampai saat ini persoalan tersebut belum dapat diatasi. Kebijakan pemerintah ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan TKI. Meski yang kerap disalahkan adalah para majikan yang melakukan penganiayaan, tapi tentu ini juga tidak terlepas dari lemahnya tata kelembagaan dalam penyaluran TKI. Jumlah TKI Indonesia pada 2010 mencapai 2,9 juta jiwa. Sekitar 45% bekerja di Malaysia, dan 35% di Arab Saudi. Menurut Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), lebih dari 20% TKI bermasalah pada 2009. Menurut penulis, munculnya masalah ini tidak terlepas dari tidak diterapkannya aturan dalam pengiriman TKI ke luar negeri.

Banyak masalah-masalah TKI di luar negeri ternyata bermula dari proses awalnya. Misal kasus Sumiati, TKI yang bekerja di Arab Saudi, ada indikasi berangkat ke luar negeri ketika masih di bawah umur, yakni kurang dari 18 tahun. Ini menandakan bahwa sejak berangkatnya pun, TKI sudah bermasalah. Barangkali persyaratan lainnya bisa jadi juga tidak terpenuhi karena dengan mudahnya bisa dimanipulasi oleh lembaga yang mengirimnya.

Dengan demikian, diterapkannya aturan atau tata kelembagaan dalam pengiriman TKI diyakini mampu meminimalkan kerugian yang bisa dialami oleh TKI. Paling tidak bila TKI tersebut lulus dari syarat-syarat yang telah ditentukan pemerintah, mereka berarti sudah memiliki kesiapan untuk menjadi TKI. Sehingga bila nantinya bermasalah dengan majikan, mereka sudah memiliki strategi atau cara menghadapinya. Berbeda bila TKI tersebut memang tidak memenuhi syarat, maka kemungkinan tidak bisa berbuat apa-apa bila nantinya bermasalah dengan majikan.

Karena itu, bila pemerintah ingin melindungi TKI, perhatiannya tidak selalu dengan berunding dengan negara tujuan TKI tersebut. Namun, yang paling penting adalah menegakkan aturan dalam pengiriman TKI. Kalau sudah sesuai aturan, tentu persoalannya tidak lagi di pihak kita, tapi di pihak negara yang menjadi tujuan TKI.

Pemerintah perlu menertibkan berbagai lembaga atau perusahaan yang mengirim TKI, yang kerap kali tidak mengindahkan aturan. Bila terbukti bersalah, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas. Pasalnya, lembaga tersebut juga kerap kali mengiming-imingi para calon pekerja untuk bekerja di luar negeri. Tentu ada keuntungan yang bisa diperoleh dari proses tersebut. Makin banyak yang menggunakan jasa lembaga tersebut, makin tinggi keuntungannya.

Bila persyaratan TKI diterapkan secara ketat, memang akan mengurangi jumlah TKI yang bisa bekerja di luar negeri. Ini memang konsekuensi yang harus ditanggung. Jadi pemerintah tidak bisa lepas tangan dengan kewajibannya untuk menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya kepada warga yang belum memperoleh pekerjaan secara layak. Dorongan untuk bekerja di luar negeri, apalagi secara ilegal, tentu tidak akan dilakukan bila di dalam negeri sudah memperoleh pekerjaan yang layak.[]

25 November, 2010

Tanggap "Bencana Mental" Aparat Penegak Hukum

Dimuat di Seputar Indonesia, 25 November 2010

Memang bangsa Indonesia sedang berduka karena berbagai bencana alam sedang menimpanya. Banjir di Wasior, Tsunami di Mentawai, dan Erupsi Gunung Merapi telah menelan ratusan atau bahkan ribuan korban jiwa. Tak terhitung pula kerugian materi yang dialami oleh mereka yang terkena dampak bencana. Kita makin berduka karena di tengah pemberitaan bencana oleh media, terselip pula berita tentang bobroknya mental para penegak hukum di negeri ini.

Mental para penegak hukum yang bobrok tersebut memang bukanlah isu baru. Keluarganya Gayus Tambunan dan beberapa tahanan lainnya secara ilegal dari rumah tahanan hanya secuil kasus di antara banyaknya kasus yang timbul karena penegak hukum di negeri ini tidak menjalankan amanahnya. Lantas apa dampaknya bagi rakyat Indonesia?

Memang dampak bencana alam sangat kasat mata. Simpati dan empati orang yang tidak kena bencana akan muncul seketika bila menyaksikan penderitaan para korban. Mereka pun akan mengulurkan berbagai bantuan sesaat yang diharapkan dapat meringangkan beban para korban. Tapi tidak demikian halnya dengan “bencana” mental yang dilakoni oleh para pejabat negara, termasuk para penegak hukum. Ketika para penegak hukum tersebut lalai, atau bahkan bertolak belakang dengan tugas dan tanggung jawabnya, mungkin kita tidak mampu menyaksikan secara kasat mata dampaknya terhadap rakyat. Namun bila ditelisik lebih dalam, akan ditemukan fakta bahwa bobroknya mental para penegak hukum tersebut juga berdampak besar terhadap kehidupan rakyat.

Tidak tegaknya keadilan berarti telah terjadi kedzaliman. Para penjahat, termasuk para koruptor, merupakan orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Para pejabat yang koruptor pada prinsipnya telah merampas hak rakyat untuk hidup lebih baik. Karena itu, mereka sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan akibat perbuatannya. Tapi apa jadinya bila para penegak hukum tidak amanah? Ini berarti bahwa mereka telah mendzalimi rakyatnya sendiri.

Sesungguhnya perilaku para penegak hukum tersebut menandakan telah terjadi “bencana” mental yang tidak kalah besar dampaknya dengan bencana alam. Kita pun harus tanggap terhadap bencana tersebut. Pertanyaannya, bagaimana menghadapinya? Menurut penulis, ada dua momentum yang harus diperhatikan. Pertama, dalam kondisi darurat seperti saat ini, aksi tanggap adalah dengan memberikan sanksi yang seberat-beratnya terhadap oknum penegak hukum yang menyimpang dari tugas dan tanggung jawabnya. Diharapkan, sanksi ini dapat memberikan efek jera, terutama kepada penegak hukum lain yang belum melakukan tindakan menyimpang. Kedua, sambil menjalankan tanggap darurat, tetap perlu dilakukan upaya yang berorientasi jangka panjang dengan menyiapkan sistem hukum yang tepat dan calon penegak hukum yang amanah. Langkah ini memang membutuhkan waktu yang cukup panjang, dan hanya bisa dilakukan secara bertahap. Salah satu bagian penting dari sistem tersebut adalah adanya sistem insentif dan disinsentif yang tepat. Sistem ini tidak akan berjalan dengan baik bila tidak ditunjang oleh sumber daya manusia yang amanah. Mereka inilah yang perlu disiapkan sejak awal, terutama saat masih menjalani pendidikan. []

18 November, 2010

Aksi Tanggap Bencana

Dimuat Seputar Indonesia, 3 November 2010

Sudah jadi fakta, tanah air Indonesia kerap dilanda bencana alam, seperti letusan gunung api, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir. Fenomena ini bukan hal baru bagi rakyat Indonesia.
Bila
ditelurusi, penyebab bencana alam dapat dibagi dua, yakni faktor manusia dan faktor alam. Bencana alam karena faktor manusia sangat memungkinkan dicegah. Misal, banjir dan tanah longsor terjadi karena hutan dieksploitasi secara berlebihan oleh manusia, sehingga tidak lagi menjalankan fungsinya. Bila manusia tidak melakukannya, tentu tidak terjadi bencana. Adapun bencana karena faktor alam memang tidak dapat dicegah manusia. Alam telah memiliki siklus sendiri yang dapat menimbulkan bencana bagi manusia, seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api.

Namun bencana karena faktor alam tidak semestinya membuat manusia berdiam diri. Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi bencana tersebut, yakni sebelum dan sesudah bencana terjadi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semestinya manusia mampu melakukan prediksi terhadap waktu terjadinya bencana. Letusan gunung api bisa diprediksi waktu terjadinya, meski tidak bisa dibatallkan atau ditunda letusannya. Bila waktu terjadinya bencana alam bisa diprediksi, tentu kita mampu meminimalkan kerugian.

Meski bisa diprediksi, biasanya dampak negatif tetap muncul bila bencana terjadi. Pada masa itu, tanggap terhadap bencana diperlukan. Tentu akan lebih parah lagi bila waktu terjadinya bencana tidak bisa diprediksi, misal gempa bumi. Oleh karena itu, dibutuhkan kesiapan dari pihak-pihak yang berwenang bila sewaktu-waktu terjadi bencana. Namun berkaca pada kondisi sekarang, tampaknya masih banyak yang harus diperbaiki dari penanganan bencana. Ini tampak pada minimnya kesiapan pihak yang berwenang dalam menangani korban, seperti pada bencana Tsunami di Mentawai dan Letusan Gunung Merapi di Yogyakarta

Kebetulan penulis tinggal di Yogyakarta, salah satu daerah yang terkena dampak letusan Gunung Merapi. Beberapa hari setelah letusan pertama terjadi, kondisi masyarakat yang tinggal di pengungsian agak lebih baik. Namun kondisi ini jauh berbeda dengan masa-masa awal ketika letusan pertama terjadi. Setidaknya ada beberapa persoalan yang muncul, di antaranya distribusi bantuan tidak merata, beberapa tempat pengungsian tidak bisa menampung pengungsi, dan minimnya relawan. Memang kondisi ini tidak berlangsung lama, sebab setelah bantuan banyak berdatangan, penanganan pengungsi jauh lebih baik. Namun bantuan yang sudah banyak bukan berarti masalah terselesaikan. Sampai saat ini, distribusi bantuan belum begitu baik. Ada daerah yang berlebihan, sementara masih ada yang kekurangan. Kondisi ini tentu tidak akan terjadi bila pemerintah turut serta mengatur distribusi bantuan tersebut, sebab sejauh ini lokasi penyaluran bantuan diserahkan sepenuhnya kepada donatur lewat posko[]

23 Juni, 2010

Tarif Listrik yang Terjangkau

Dimuat di Harian Jogja, Selasa 22 Juni 2010
(Judul: Tarif Listrik Gratis, Tidak Mungkin)

Pasokan listrik dengan tarif terjangkau merupakan keinginan segenap lapisan masyarakat. Pemerintah berperan paling penting untuk memenuhinya, sebab penyediaan listrik memang dimonopoli pemerintah. Namun listrik bukanlah barang publik murni, dimana tiap orang bisa mengakses tanpa membayar. Akan tetapi, konsumen harus mengeluarkan sejumlah uang sesuai dengan pemakaiannya. Ini karena eksploitasi energi tersebut memerlukan biaya yang besar.

Namun sudah seharusnya penentuan tarif listrik disesuaikan dengan kemampuan ekonomi konsumen. Harga yang sama untuk semua golongan konsumen justru menimbulkan ketidakadilan. Karena perbedaan kemampaun ini, Dirut PLN melontarkan ide subsidi listrik 100 persen kepada konsumen yang tergolong miskin. Berdasarkan data PLN, yang tergolong miskin sebanyak 20 juta konsumen. Mereka memiliki listrik 450 kWh, dimana kira-kira memiliki lima lampu bolam ditambah dengan TV, radio, VCD, rice cooker yang dipakai bergantian dengan seterika dan kipas angin.

Pada dasarnya, kebijakan listrik gratis akan menguntungkan konsumen yang miskin, sebab mereka bisa memperoleh pasokan listrik tanpa pengorbanan. Selain itu, anggaran yang dulunya untuk bayar listrik bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain, seperti makanan, biaya sekolah, dan lain-lain. Namun bukan berarti kebijakan ini tidak menimbulkan kerugian. Bahkan, bisa jadi kebijakan listrik gratis tidak tepat diterapkan karena sejumlah hal.

Pertama, penyediaan listrik gratis haruslah diikuti dengan kenaikan pendapatan PLN, salah satunya dengan menaikkan tarif listrik untuk golongan lain, seperti dunia usaha dan konsumen menengah ke atas. Bagi dunia usaha, kenaikan tarif listrik akan menaikkan biaya produksi, yang bisa berimplikasi pada kenaikan harga output. Namun barangkali pilihan menaikkan harga output akan dilakukan bila tidak ada alternatif lain lagi, sebab kenaikan biaya produksi justru akan melemahkan daya saing. Oleh karena itu, terlebih dahulu pengusaha akan merasionalisasi jumlah pekerja untuk menekan biaya, sehingga dipastikan akan memunculkan penganggur baru.
Kedua, penggunaan listrik tidak akan terkontrol bila digratiskan. Ini karena konsumen tidak mengeluarkan biaya tambahan dari setiap tambahan penggunaan listrik. Secara teoritis, instrumen harga diperlukan untuk memberikan batasan dalam konsumsi. Makin tinggi harga, permintaan makin rendah. Sebaliknya, makin rendah harga, permintaan makin tinggi. Nah, bila digratiskan, penggunaan listrik akan meningkat drastis. Tentunya, penggunaan listrik yang tidak terkontrol tersebut akan meningkatkan beban subsidi yang harus ditanggung PLN.

Kedua persoalan di atas melatarbelakangi perlunya mengkritisi kebijakan ini. Menurut penulis, penyediaan listrik gratis kepada golongan miskin bukanlah kebijakan yang tepat, meski memang sangat populis. Karena listrik bukan barang publik murni, konsumen yang ingin memanfaatkannya haruslah berkorban. Hanya saja yang perlu diperhatikan, harga untuk semua golongan konsumen tidak boleh disamakan, melainkan harus disesuaikan dengan kemampuan tiap golongan. Intinya, tarif listrik tersebut bisa dijangkau. []

11 Juni, 2010

Subsidi yang Tepat Sasaran

Seputar Indonesia, Kamis 10 Juni 2010

Pemerintah berencana melakukan pembatasan jumlah BBM bersubsidi. Pasalnya, menurut BHP Migas, kebutuhan BBM bersubsidi pada 2010 mencapai 40,1 – 40,5 juta kiloliter. Padahal, asumsi jumlah BBM bersubsidi dalam APBN-P 2010 hanya 36,5 juta kiloliter. Apabila pemerintah memenuhi permintaan tersebut, kebutuhan anggaran pengeluaran akan membengkak, sehingga menjadikan APBN rentan.

Dalam APBN-P 2010, anggaran subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp 89,29 triliun atau 1,5% PDB, dimana angka ini meningkat signifikan dari APBN 2010 yang hanya ditetapkan sebesar Rp 68,72 triliun atau 1,1% PDB. Bila pemerintah menambah jumlah subsidi BBM yang dibutuhkan masyarakat, tentu anggaran yang diperlukan akan lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang akan dialokasikan dalam APBN-P 2010. Defisit anggaran akan bertambah, sehingga meningkatkan utang pemerintah. Inilah kelemahan dari pengalokasian anggaran yang besar untuk subsidi, yang tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan.

Selain itu, dalam teori ekonomi publik, subsidi akan menimbulkan hilangnya kesejahteraan atau welfare loss, sebagaimana juga terjadi dalam pengenaan pajak. Makin besar subsidi yang diberikan pemerintah, makin tinggi welfare loss. Ini karena subsidi menciptakan distorsi harga, dimana harga yang terbentuk tidak mencerminkan interaksi antara permintaan dan penawaran di pasar. Bila pemerintah mencabut subsidi, lalu diserahkan pada harga pasar, tentu tidak terjadi welfare loss.

Namun subsidi tidak hanya boleh dilihat dari sisi kerugiannya, tapi juga keuntungannya. Ini karena BBM digunakan oleh hampir seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin. Kebutuhan BBM sangat erat dengan kehidupan rakyat tiap hari, sehingga bila harga BBM tinggi, rakyat yang berdaya beli rendah mengalami kesulitan. Rakyat ini berasal dari kalangan ekonomi lemah, dimana data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin per Maret 2009 mencapai 32,5 juta jiwa. Tak bisa dimungkiri, golongan ini memang pantas memperoleh subsidi. Selain itu, tingginya harga BBM juga menimbulkan efek lanjutan, dimana akan meningkatkan harga barang dan jasa yang terkait dengan penggunaan BBM. Telah umum diketahui, BBM adalah input yang digunakan dalam proses produksi, sehingga kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi yang akhirnya meningkatkan harga barang dan jasa. Konsekuensinya, pendapatan riil masyarakat turun. Jadi, subsidi BBM sebetulnya dimaknai sebagai penyelamatan terhadap orang miskin, yakni orang yang berdaya beli rendah.

Hanya saja, persoalan klasiknya adalah ketidakmampuan membatasi orang lain yang bukan sasaran dalam memperoleh subsidi, yakni orang yang tidak membutuhkan bantuan. Sampai saat ini, belum ada realisasi mekanisme yang paling berhasil dalam menjalankan subsidi BBM yang tepat sasaran. Oleh karena itu, menurut penulis, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk menjalankan kebijakan subsidi. Pertama, apapun skemanya, yang menjadi catatan penting adalah perlu implementasi yang serius di lapangan. Skema yang tepat belum tentu menghasilkan realisasi yang sesuai harapan. Dalam hal subsidi BBM, kunci untuk implementasi subsidi ada di tangan para petugas SPBU. Hal ini karena petugas SPBU lah yang menjadi kunci untuk membatasi orang – orang yang memang bukan sasaran untuk memperoleh subsidi.

Kedua, dalam jangka panjang, pemerintah harus meningkatkan penerimaan, baik dari pajak maupun non pajak guna membiayai subsidi BBM. Ini karena pemerintah wajib membantu rakyat yang tidak mampu secara ekonomi melalui instrumen anggaran. Makin banyak rakyat yang tidak mampu, makin tinggi kebutuhan subsidi BBM. Ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah

16 Mei, 2010

Entrepreneur, Pengangguran, dan Kemajuan Ekonomi

Seputar Indonesia, 15 Mei 2010

Masalah pengangguran di Indonesia merupakan salah satu masalah yang belum teratasi sampai saat ini. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, angka pengangguran memang mengalami penurunan. Data BPS menunjukkan pada Agustus 2004, jumlah angkatan kerja yang menganggur sebanyak 10,25 juta orang atau 9,9 persen dari total angkatan kerja. Selama 4 tahun berselang, jumlah pengangguran hanya turun menjadi 9,39 juta orang atau 8,39 persen dari total angkatan kerja. Penurunan angka pengangguran tersebut masih jauh di bawah target pemerintah sebesar 5,1 persen pada 2009.

Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah kecendrungan naiknya pengangguran terdidik, meski angka pengangguran total menurun. Pada Agustus 2008, BPS mencatat 600 ribu orang tergolong sebagai penganggur sarjana dan diploma sebesar 360 ribu orang. Bahkan, data jumlah pengangguran terdidik per Februari 2009 telah mencapai 1,1 juta orang. Ini berarti, telah terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dari angka pada 2004 yang tercatat hanya sebesar 585 ribu orang. Secara persentase pun menunjukkan peningkatan dua kali lipat, dimana pada Februari 2009 sebesar 12 persen, naik dari 6 persen pada 2004.

Masih tingginya angka pengangguran, terutama pengangguran terdidik mengindikasikan bahwa masih terdapat banyak potensi yang bisa diberdayakan untuk meningkatkan produksi barang dan jasa nasional. Kenaikan produksi barang dan jasa berarti pula kenaikan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang sudah relatif tinggi, dimana tumbuh 4,5 persen pada 2009. Namun tingkat pertumbuhan tersebut masih dinilai kurang berkualitas bila dikaitkan dengan kemampuan menyerap tenaga kerja. Idealnya, setiap 1 persen pertumbuhan dapat menyerap 500 ribu orang tenaga kerja, tapi hanya sebesar 350 ribu orang yang bisa diserap.

Berangkat dari persoalan tersebut, terdapat dua poin penting yang perlu diperhatian. Pertama, lulusan perguruan tinggi yang tidak diserap oleh pasar tenaga kerja tentu menimbulkan opportunity cost yang tinggi. Angkatan kerja ini sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menuntut ilmu. Namun setelah lulus, ilmu dan keterampilannya tidak dimanfaatkan secara optimal. Karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis supaya para penganggur terdidik dapat diberdayakan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan setidaknya bagi dirinya sendiri.

Kedua, permasalahan ekonomi bangsa Indonesia saat ini terletak pada sisi penawaran. Pemerintah terlalu perhatian terhadap sisi permintaan, yakni dengan meningkatkan konsumsi. Peningkatan konsumsi memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, kenaikan konsumsi tidak selalu meningkatkan output domestik bila impor barang konsumsi juga meningkat. Karena itu, di samping mendorong permintaan agregat, pemerintah juga perlu mendorong penawaran agregat melalui peningkatan produksi domestik. Di sinilah dibutuhkan para entrepreneur domestik untuk menghasilkan barang dan jasa agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dapat tercapai. Kehadiran banyak entrepreneur juga dapat memperluas kesempatan kerja, sehingga dapat menekan angka pengangguran. Oleh karena itu, Pemerintah dan Perguruan Tinggi mestinya berperan utama untuk mendukung lahirnya para entrepreneur in

21 April, 2010

Aparat sebagai Pelayan

Seputar Indonesia, 20 April 2010

Telah umum diketahui, aparatur atau aparat negara merupakan pelayan rakyat. Gaji yang dibayarkan kepada aparat beserta fasilitas-fasilitas yang menyertainya didanai oleh uang rakyat melalui pajak. Karena itu, sebagai pelayan rakyat, sudah seharusnya sikap yang ditunjukkan oleh aparat pemerintah kepada rakyat, layaknya seorang pelayan terhadap tuannya. Bukan sebaliknya, dimana aparat seolah-oleh menjadi tuan, sementara rakyat dianggap sebagai pelayan yang kerap diperlakukan secara tidak adil.

Namun kerusuhan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok pada 14 April yang lalu menunjukkan suatu ironi, dimana rakyat diperlakukan secara tidak adil oleh aparat. Aparat, dalam hal ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), memperlakukan warga pengajian di makam Mbah Priok dengan anarkis dan tak berprikemanusiaan. Yang disayangkan, reaksi warga terhadap perlakuan aparat cukup berlebihan, sehingga mengakibatkan tewasnya 3 orang Satpol PP. Kerugian ini bertambah dengan hilangnya sejumlah peralatan Satpol PP, seperti 24 unit truk, 43 unit mobil Panther, 14 unit mobil KIA, 2 unit mobil kijang, 1 unit motor, dan sejumlah peralatan lainnya. Tentu saja, kerugian tersebut pada akhirnya dibebankan lagi kepada rakyat melalui pungutan pajak.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat tentu bukan ini kali ini saja. Kadang rakyat bereaksi keras terhadap tindakan aparat, kadang juga rakyat pasrah. Memang kecil kemungkinan muncul kerusuhan bila rakyat pasrah. Sementara bila rakyat melawan, biasanya akan berdampak negatif bagi ketertiban, bahkan tak jarang ada korban jiwa, sebagaimana kerusuhan di Koja kemarin. Berkaca pada hal tersebut, tentu aparat harus bersikap bijaksana bila menghadapi kondisi tersebut, baik saat rakyat pasrah maupun melawan.

Saat rakyat pasrah, barangkali rakyat memang bersalah atau melanggar aturan, sehingga tidak akan melawan bila ditertibkan. Akan tetapi, bisa pula rakyat tidak melawan karena mereka lemah, meski berada di pihak yang benar. Posisi rakyat demikian kerap dimanfaatkan oleh aparat dengan berbuat tidak adil demi keuntungan pemerintah atau pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah perlunya kepedulian aparat terhadap warga yang lemah tersebut, dengan memberikan hak-hak yang patut dimilikinya. Adapun mengenai rakyat yang memang melanggar aturan, tentu tetap harus mendapatkan perlindungan dari negara.

Sementara itu, saat rakyat melawan aparat, berarti rakyat merasa benar dan mereka memang memiliki kekuatan untuk melawan. Bila aparat bertindak keras, reaksi yang muncul dari rakyat bisa jadi lebih keras lagi. Dalam hal ini, aparat tidak bisa mengedepankan kekuatan fisik atau kekerasan, tapi lebih pada dialog untuk mencapai kesepakatan. Tak bisa dimungkiri, penyelesaian persoalan harus mengedepankan kompromi, sebab setiap pihak merasa benar. Kesepakatan yang dicapai dengan dialog tentu saja harus bisa diterima oleh kedua belah pihak. Yang terpenting pula, perlunya setiap pihak patuh pada kesepakatan tersebut.

Hal ini hanya bisa dilaksanakan bila aparat pemerintah memegang prinsip bahwa rakyat adalah pihak yang harus mereka layani. Pelayanan terbaik kepada rakyat menandakan bahwa aparat mengerti tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan yang insentif dari pelaksanaan tugas tersebut didanai oleh uang rakyat itu sendiri. []

01 April, 2010

Pembangunan, Lingkungan, dan Teknologi

Seputar Indonesia, 30 Maret 2010

Perbincangan mengenai pentingya menjaga kelestarian lingkungan memang sedang marak saat ini. Pasalnya, seiring dengan meningkatnya kemakmuran masyarakat, ternyata terjadi pula peningkatan kerusakan lingkungan hidup. Akan tetapi, secara teoritis, masyarakat yang semakin makmur juga akan berupaya menjaga kelestarian lingkungan.

Hal inilah yang digambarkan oleh Simon Kuznets dalam kurva U terbalik, dimana pendapatan di sumbu horisontal dan kerusakan lingkungan di sumbu vertikal. Kenaikan pendapatan dari posisi nol akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Sampai pada tingkat tertentu, peningkatakan pendapatan justru menurunkan tingkat kerusakan lingkungan.

Hubungan positif antara pendapatan dan kerusakan lingkungan dapat dijelaskan secara sederhana. Telah umum diketahui, sumber daya alam merupakan salah satu faktor produksi. Secara teoritis, peningkatan jumlah output selalu dibarengi dengan peningkatakan input, salah satunya adalah sumber daya alam. Nah, semakin tinggi jumlah output, makin tinggi pula eksploitasi terhadap sumber daya alam. Lingkungan akan terkena dampak negatif bila para pelaku ekonomi hanya berpikir untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari eksploitasi sumber daya alam.

Namun sampai pada tingkat pendapatan tertentu, masyarakat akan merasakan dampak negatif dari kerusakan lingkungan. Karena itu, muncul kesadaran untuk menjaga kelesatarian lingkungan. Tingkat kemakmuran yang tinggi akan memicu investasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga produksi akan tetap bertumbuh meski penggunaan faktor produksi lain diminimalkan. Adapun pendapatan yang terus meningkat, juga dapat digunakan untuk melakukan perawatan terhadap lingkungan sebagai kompensasi atas eksploitasi yang dilakukan.

Berkaca pada analisis di atas, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah perlunya muncul kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sekaligus meningkatkan investasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga seiring dengan peningkatan produksi. Hal yang penting pula diperhatikan adalah perlunya menciptakan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Telah umum diketahui, aktivitas produksi pastinya akan memunculkan residu, yakni energi yang tidak terbuang dari proses produksi. Residu inilah yang menjadi polusi, yang tidak hanya mencemari lingkungan tapi juga berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan manusia di sekitarnya.

Keberadaan teknologi yang ramah lingkungan seyogiaya dapat meminimalkan residu yang terjadi dari aktivitas produksi, serta mendesain agar residu tersebut tidak berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Nah, tentu saja investasi terhadap teknologi yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan bila memang kita berniat untuk meningkatkan aktivitas produksi, sekaligus tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Dalam konteks yang lebih makro, tentu saja Indonesia tidak perlu menunggu sampai menjadi negara maju, lalu baru peduli terhadap lingkungan. Pasalnya, bila memang perusahaan-perusahaan di Indonesia mampu mendesain teknologi produksi yang ramah lingkungan, tentu kerusakan lingkungan bisa diminimalkan. Begitupun, saat mulai melakukan suatu aktivitas produksi, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penegakannya merupakan langkah awal untuk tetap menjaga kualitas lingkungan hidup.[]

02 Maret, 2010

Pembangunan dan Kualitas SDM

Seputar Indonesia, 18 Februari 2010

Persoalan lemahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia kerap kali dijadikan alasan di balik masih terbelakangnya pembangunan ekonomi bangsa ini. Pasalnya, secara teoritis, salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan adalah tersedianya SDM yang berkualitas. Di sisi lain, tersedianya SDM yang berkualitas merupakan tujuan pembangunan. Jadi, sebetulnya hubungan antara pembangunan dan kualitas SDM bersifat simultan.

Telah umum diketahui, Indonesia masih berkutat dengan persoalan pengangguran (8,96 juta per Agustus 2009) dan kemiskinan (32,5 juta per Maret 2009). Belum lagi dengan ketimpangan pendapatan, buruknya kualitas kesehatan, dan rendahnya kualitas pendidikan. Kondisi tersebut tidaklah berdiri sendiri, tapi terkait satu sama lain. Misalnya, penduduk yang miskin akan kesulitan membiayai pendidikan anak-anaknya, sehingga orang tua lebih memilih mempekerjakan ketimbang menyekolahkan anaknya. Begitupun dengan rendahnya kualitas kesehatan, dapat mengakibatkan rendahnya produktivitas sehingga pendapatan yang diperoleh tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar.

Berkaca pada perkembangan saat ini, tampaknya pemerintah cenderung hanya peduli dengan peningkatan pendapatan. Hal ini tampak pada perhatian besar pemerintah untuk meningkatkan pendapatan atau Produk Domestik Bruto (PDB) yang dianggap mengindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan. Sebaliknya, indikator yang mewakili kualitas SDM tidak terlalu diperhatikan. Sebagaimana digariskan UNDP, indikator kualitas SDM terdiri dari: tingkat pendidikan, tingkat harapan hidup, pendapatan per kapita, dan tingkat kematian bayi. Empat indikator inilah yang disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index. Oleh karena itu, bila kita ingin mengevaluasi keberhasilan pembangunan, tentu tidak cukup hanya melihat dari sisi kenaikan pendapatan atau PDB, tapi juga melihat perbaikan pada Indeks Pembangunan Manusia. Pada 2009, IPM Indonesia justru turun jadi peringkat 111 dari peringkat 107 pada 2007.

Apabila kebijakan pemerintah mengarah pada peningkatan IPM, maka tugas berat menanti. Kalau selama ini, pemerintah cenderung fokus pada peningkatakn pendapatan atau pendapatan per kapita, maka pemerintah juga mesti memperhatikan faktor pendidikan dan kesehatan. Tentu saja, perhatian pada sektor pendidikan dan kesehatan diwujudkan dalam pengalokasian anggaran atau kerap disebut investasi. Dalam RAPBN 2010, pemerintah akan mengalokasikan anggaran untuk investasi di bidang kesehatan dan pendidikan. Untuk bidang pendidikan, pemerintah akan mengalokasikan anggaran sebesar 5% dari APBN atau Rp 51,8 triliun, turun tajam dari 20% APBN pada 2009. Berbeda dengan anggaran kesehatan, dimana dialokasikan sebesar Rp 20,8 triliun (0,3% PDB) atau naik sebesar Rp 1,9 triliun dari realisasi anggaran tahun 2009.

Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam alokasi anggaran ini. Pertama, pemerintah harus mengalokasikan anggaran tersebut berdasarkan kebutuhan, tidak sekedar mengucurkan uang untuk memenuhi target realisasi anggaran. Kedua, perlu adanya pemerataan alokasi anggaran sampai pada pelosok desa, wilayah terpencil, dan kepulauan yang sulit diakses, sebab selama ini program-program peningkatan kualitas SDM dari pemerintah belum banyak menjangkau rakyat kecil di daerah tersebut. Bila hal ini diperhatikan, investasi pemerintah dalam bidang SDM ini dapat membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat kecil yang membutuhkan.[]

27 Januari, 2010

Menunggu Akhir Kasus Century

Seputar Indonesia, Senin 25 Januari 2010

Penyelidikan mengenai dugaan pelanggaran aturan dalam bailout Century masih berlangsung hingga saat ini. Panitia Khusus (Pansus) DPR diberikan waktu dua bulan untuk menyelesaikan persoalan ini. Berbagai pihak terkait sudah dipanggil, seperti Boediono, Sri Mulyani, Robert Tantular, pejabat LPS, pejabat BI, dan pengamat ekonomi. Mereka dimintai keterangan mengenai kasus bailout Century, dimana informasi tersebut dapat menjadi bahan DPR dalam mengambil keputusan. Kini, publik menunggu hasil Pansus.

Tentu saja, rakyat berharap agar kebenaran terungkap dalam kasus bailout Century ini. Pada dasarnya, pertanyaan yang akan dijawab berkisar pada kemungkinan ada atau tidaknya pelanggaran aturan dalam pengambilan kebijakan tersebut. Adapun pihak-pihak yang paling bertanggung jawab adalah anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) yang di dalamnya terdapat Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wakil Presiden Boediono, dan pihak-pihak lainnya. Bila terdapat pelanggaran, maka pihak-pihak yang bertanggung jawab mesti diberikan sanksi sebagaimana aturan yang berlaku. Namun bila tidak terdapat pelanggaran, mereka tidak perlu disalahkan dan diberikan sanksi. Tentu saja, Pansus tidak bisa memberikan penilaian mengenai kemungkinan terjadinya dampak sistemik atau tidak sistemik bila bailout tidak dilakukan. Ini karena perdebatan tentang hal tersebut tidak bisa mencapai titik temu. Pihak pro dan kontra bailout berangkat dari pemahaman yang berbeda tentang keadaan perekonomian Indonesia saat bailout dilakukan, sehingga tidak mungkin ada keputusan yang tepat.

Meski diharapkan kebenaran segera terungkap, tidak bisa dimungkiri bahwa penyelidikan ini telah menguras energi yang tidak sedikit. Pihak-pihak terkait telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk menggelar dan menghadiri sidang-sidang pansus. Tidak bisa dimungkiri pula adanya beban psikologis yang dialami oleh pihak-pihak yang dianggap bersalah, di antaranya adalah Boediono dan Sri Mulyani. Padahal, mereka adalah tokoh kunci di pemerintahan yang tampaknya sulit untuk fokus lagi dalam menjalankan tugas-tugasnya sejak kasus ini muncul. Kalaupun mereka dapat bekerja sebagaimana mestinya, tapi stigma negatif rakyat terhadap kedua tokoh tersebut telah memunculkan beban psikologis yang cukup berat.

Akan tetapi, kebenaran harus tetap diungkap meski menyakitkan. Hal tersebutlah yang menjadi konsekuensi dari perbuatan yang melanggar aturan. Dalam konteks ini, bila kebijakan bailout Century dinyatakan melanggar aturan, pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses tersebut harus mendapatkan sanksi. Pansus memiliki peran paling penting dalam mengakhiri kasus ini sebab mereka memiliki hak untuk menyatakan bahwa pengambilan kebijakan Century melanggar aturan yang ada. Hanya saja, rakyat tetap tidak dapat percaya penuh kepada anggota Pansus sebab kasus Century ini sangat kental dengan nuansa politis. Apabila pengambilan kebijakan bailout Century dinyatakan melanggar aturan, tidak menutup kemungkinan akan muncul implikasi politik yang sangat besar. Pemerintahan yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono akan mendapatkan stigma negatif dari rakyat, sebab beberapa pembantunya sudah bermasalah sejak awal berjalannya pemerintahan. Oleh karena itu, jangan sampai kesepakatan politik yang menjadi akhir dari kasus Century ini, melainkan kebenaranlah yang mesti terungkap.[]

22 Januari, 2010

Strategi UMKM Menghadapi Perdagangan Bebas

Harian Jogja, Selasa 19 Januari 2010

Perdagangan bebas yang diberlakukan mulai 1 Januari 2010 telah memunculkan protes dari sejumlah pihak, terutama kalangan pengusaha. Pemberlakuan perdagangan bebas dinilai akan memberatkan pengusaha domestik, sebab produk mereka belum bisa bersaing dengan produk buatan China. Dalam rangka untuk melindungi industri domestik, tentu saja pemerintah tidak boleh tinggal diam. Namun pelaku usaha juga tidak boleh menunggu perlindungan pemerintah saja, melainkan harus berupaya meningkatkan daya saing produknya.

Pada dasarnya, munculnya perdagangan bebas ditujukan untuk meningkatkan arus barang dan jasa. Secara teoritis, perdagangan bebas ditandai oleh nihilnya hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif. Namun dalam dunia praktis, yang dianggap sebagai hambatan perdagangan hanya menyangkut tarif. Oleh karena itu, perdagangan bebas dapat dimaknai sebagai penghapusan tarif impor atau bea masuk barang dan jasa. Penghapusan tarif dinilai dapat menurunkan harga jual, sehingga konsumen dapat memperoleh barang dengan harga yang relatif murah. Hal ini dapat merangsang konsumen untuk meningkatkan konsumsi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nasional bagi negara eksportir.

Meski perdagangan bebas dapat menguntungkan bagi tiap negara yang terlibat, tapi terdapat asumsi yang mesti dipenuhi sebelum tujuan ini tercapai. Asumsi tersebut adalah adanya daya saing yang mumpuni antara pihak-pihak yang berdagang. Bila salah satu pihak berdaya saing tinggi, sedangkan pihak lainnya kurang berdaya saing, maka akan terjadi ketimpangan. Peningkatan arus barang dan jasa hanya terjadi pada negara yang memiliki daya saing tinggi, sementara negara yang berdaya saing rendah, hanya menjadi konsumen atau pasar. Oleh karena itu, suatu negara yang memutuskan akan mengadakan perdagangan bebas harus terlebih dahulu memiliki daya saing yang tidak kalah dengan negara lain.

Berangkat dari konsep ini, kita dapat menganalisis persoalan yang terjadi di Indonesia pasca diberlakukannya zona perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Pada umumnya, pengusaha domestik menyadari ketidakmampuannya bersaing dengan pengusaha China. Salah satu bukti kuantitatifnya adalah defisit perdagangan Indonesia dengan China yang mencapai USD 3,61 miliar pada 2008. Oleh karena itu, dikhawatirkan industri domestik akan melemah pasca diberlakukannya perdagangan bebas, dimana pengusaha domestik tidak menjadi tuan di negeri sendiri, tapi justru menjadi penonton. Namun tampaknya pemerintah tetap menaruh perhatian dalam melindungi industri domestik yang memang belum bisa bersaing. Langkah ini dilakukan dengan diadakannya penyesuaian tarif pada produk-produk yang belum bisa bersaing, perbaikan infrastruktur, pengadaan regulasi yang mendukung aktivitas produksi, dan lain-lain.

Namun pelaku usaha, khususnya bidang UMKM, juga tidak boleh hanya berharap datangnya bantuan pemerintah. Pelaku usaha juga harus berupaya keras untuk meningkatkan daya saing. Menurut penulis, terdapat sejumlah langkah yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing. Pertama, terus menerus memacu inovasi dan kreativitas. Kekuatan dari suatu produk adalah diferensiasi, yaitu adanya keunikan yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya keunikan, maka konsumen akan tertarik untuk membelinya. Sementara itu, pesaing belum tentu mampu untuk menciptakan produk yang sejenis. Oleh karena itu, adanya inovasi dan kreativitas akan menghasilkan produk yang diminati oleh konsumen. Kedua, menguatkan permodalan. Kerap kali suatu usaha tidak mencapai skala ekonomis hanya karena alasan ketidakcukupan modal. Suatu usaha yang mencapai skala ekonomis menunjukkan kondisi dimana biaya rata-rata mencapai titik minimum. Biasanya, pelaku usaha yang memiliki modal yang kuat, dapat mencapai skala ekonomis, sehingga harga per unit barang bisa lebih murah dibanding kondisi yang tidak mencapai skala ekonomis. Para pelaku usaha yang belum mencapai skala ekonomis karena alasan modal, tentu mesti memanfaatkan berbagai fasilitas pendanaan yang saat ini sudah digalakkan oleh pemerintah melalui bank-bank pemerintah. []

12 Januari, 2010

Manfaatkan Pemulihan Ekonomi Global

Seputar Indonesia, 11 Januari 2010

Kondisi ekonomi pada 2010 diperkirakan lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Perkiraan ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah pulihnya ekonomi global dari hantaman krisis. Namun mampukah Indonesia memanfaatkan peluang pemulihan ekonomi global untuk meningkatkan aktivitas ekonomi domestik?

Tahun 2009 dapat dianggap sebagai titik klimaks dampak krisis global terhadap ekonomi domestik. Hal ini tercermin pada indikator makroekonomi, terutama pertumbuhan ekonomi. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2009 mencapai 4,3%, dimana angka ini lebih rendah dibanding 2008 dan 2007, berturut-turut 6,1% dan 6,3%. Namun pemerintah menargetkan pertumbuhan sebesar 5,5% pada 2010. Ini berarti, ekonomi domestik berpeluang besar kembali bergeliat, setidaknya sama dengan kondisi pra krisis.

Berkaca pada kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi global memiliki pengaruh besar terhadap ekonomi domestik, yang bertransmisi melalui jalur perdagangan dan jalur finansial. Di jalur finansial, dampak krisis global mewujud pada terjadinya penarikan dana oleh investor asing yang memiliki kesulitan likuiditas, serta makin terhambatnya pembiayaan ekonomi oleh institusi finansial. Sementara di jalur perdagangan, dampak krisis mewujud pada lemahnya arus perdagangan barang dan jasa, sehingga berpengaruh pada melemahnya sektor riil. Berdasarkan data Bank Dunia, selama Juli 2008 – Februari 2009, nilai ekspor turun sebesar 43%. Namun sumbangan ekspor bersih pada Produk Domestik Bruto (PDB) tetap positif, sebab pada saat yang sama, nilai impor turun sebesar 56%.

Secara umum, pemulihan ekonomi global akan berdampak positif bagi ekonomi domestik. Dampak ini juga bertransmisi melalui jalur finansial dan jalur perdagangan. Di jalur finansial, dampak pemulihan ekonomi global mewujud pada meningkatnya arus modal masuk ke sektor keuangan domestik, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan arus modal masuk ini disebabkan oleh melemahnya nilai tukar dolar AS dan rendahnya suku bunga AS. Karena itu, para investor mencari alternatif investasi yang lebih menguntungkan, salah satunya di pasar keuangan Indonesia. Memang dana jangka pendek perlu diperhatikan oleh otoritas moneter sebab bisa keluar masuk secara cepat, sehingga mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah. Berbeda dengan dana jangka panjang, dimana dana ini dapat menjadi sumber pembiayaan bagi sektor usaha dan pemerintah melalui pasar uang atau pasar modal. Dana ini dapat menjadi salah satu stimulus untuk menggerakkan perekonomian, melalui belanja pemerintah dan investasi swasta.

Sementara itu, transmisi di jalur perdagangan terlihat pada meningkatnya arus perdagangan. Pemulihan ekonomi global ditandai dengan pulihnya harga dan volume komoditas ekspor. Pada saat krisis, nilai ekspor turun drastis karena adanya penurunan harga. Namun saat ekonomi sudah pulih, harga komoditas kembali meningkat, sehingga para eksportir dapat menikmati keuntungan yang lebih. Selain itu, menggeliatnya perekonomian global dapat meningkatkan kembali permintaan terhadap produk ekspor Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia, selama Februari 2009 – Agustus 2009, nilai ekspor kembali meningkat sebesar 48%. Peningkatan ini masih bisa terjadi bila ekonomi global sudah benar-benar pulih.

Memang tidak bisa dimungkiri, kondisi ekonomi global berpengaruh pada ekonomi domestik. Perbedaan pengaruh antara satu negara dengan negara lain hanya terletak pada derajat pengaruhnya. Dapat dianggap, memburuknya ekonomi global hanya berpengaruh kecil terhadap ekonomi domestik. Sebaliknya, bila kondisi ekonomi global sudah pulih, tentu setiap negara bisa mendulang manfaat dari keadaan tersebut. Karena itu, yang perlu dilakukan setelah ekonomi global pulih adalah mendulang manfaat sebesar-besarnya, baik melalui jalur perdagangan maupun jalur finansial. Pemanfaatan peluang ini dapat menjadi salah satu sarana untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi domestik. []

06 Januari, 2010

Meningkatkan Daya Saing

Seputar Indonesia, 4 Januari 2010

Perdagangan bebas tampaknya menjadi kebutuhan bagi negara-negara di dunia. Artinya, tiap negara berkeinginan membuka diri terhadap arus lalu lintas barang dan jasa internasional. Hanya saja, persoalan terletak pada waktu pelaksanaannya. Sebab, negara yang belum siap bersaing, pasti akan dirugikan. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi saat pemerintah Indonesia menyetujui perdagangan bebas dengan China yang dimulai pada 1 Januari 2010. Pada umumnya, kalangan pengusaha Indonesia belum siap menghadapi perdagangan bebas dengan China.

Telah umum diketahui, perdagangan bebas akan mendatangkan manfaat bagi negara yang terlibat. Secara makro, perdagangan bebas akan meningkatkan volume dan nilai perdagangan. Ini terjadi karena hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif, dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Secara teoritis, makin kecil hambatan perdagangan, makin tinggi pula lalu lintas perdagangan barang dan jasa. Ini terjadi karena harga-harga produk tersebut juga makin rendah, sehingga mendorong kenaikan permintaan konsumen dari berbagai negara.

Namun perdagangan bebas juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi negara yang terlibat. Dampak negatif ini timbul bila suatu negara memiliki daya saing yang relatif rendah. Bila daya saing rendah, negara tersebut justru akan menjadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Dengan kata lain, negara tersebut akan lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor. Akibatnya, produksi domestik akan berkurang, lalu pengangguran akan naik karena terjadi penurunan permintaan tenaga kerja. Tentu saja, setiap negara tidak ingin mendapatkan dampak negatif dari perdagangan bebas, sehingga mereka berupaya meningkatkan daya saing.

Telah umum diketahui, hampir setiap negara memiliki produk-produk yang strategis. Produk tersebut diharapkan berdaya saing tinggi, sehingga bila diperdagangkan dalam keadaan bebas hambatan, volume dan nilainya akan meningkat. Hanya saja, dalam kasus perdagangan China-Indonesia, beberapa produk seperti baja dan tekstil, merupakan produk strategis di kedua negara, sehingga akan terjadi persaingan sengit bila diadakan perdagangan bebas. Kemungkinan besar salah satu di antaranya akan kalah bersaing. Inilah yang dikhawatirkan oleh pengusaha-pengusaha di Indonesia. Karena itu, mereka meminta pemerintah untuk menunda waktu pelaksanaan perdagangan bebas ini.

Kekhawatiran pengusaha Indonesia, khususnya yang memiliki kesamaan produk dengan pengusaha China, memang dapat dimaklumi. Pasalnya, tanpa ada perdagangan bebas pun, pengusaha Indonesia sudah kesulitan menghadapi produk China. Terbukti, produk-produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Bagi konsumen di Indonesia, produk-produk China menjadi pilihan karena dianggap relatif murah, meski kualitasnya tidak lebih baik dari kualitas produk Indonesia.

Dengan adanya perdagangan bebas, tentu harga produk-produk China akan lebih murah lagi dibanding sebelumnya. Keadaan inilah yang akan dihadapi oleh pengusaha Indonesia karena kesepakatan waktu pelaksanaan perdagangan bebas sangat sulit ditunda. Karena itu, pengusaha dan pemerintah harus bahu membahu menghadapi perdagangan bebas ini. Pemerintah harus memberikan dukungan berupa regulasi yang dapat memudahkan pengusaha dalam menjalankan aktivitas bisnis, seperti regulasi ketenagakerjaan, perpajakan, dan lain-lain. Ketersediaan infrastruktur pendukung, juga sangat mendesak untuk dipenuhi, karena diperlukan untuk meningkatkan efisiensi. Sementara itu, pengusaha juga harus memikirkan cara-cara efektif untuk meningkatkan pangsa pasarnya, melalui efisiensi penggunaan input produksi dan penggunaan strategi pemasaran yang baru sehingga dapat memperoleh pelanggan-pelanggan baru baik domestik maupun internasional. []