23 Juni, 2010

Tarif Listrik yang Terjangkau

Dimuat di Harian Jogja, Selasa 22 Juni 2010
(Judul: Tarif Listrik Gratis, Tidak Mungkin)

Pasokan listrik dengan tarif terjangkau merupakan keinginan segenap lapisan masyarakat. Pemerintah berperan paling penting untuk memenuhinya, sebab penyediaan listrik memang dimonopoli pemerintah. Namun listrik bukanlah barang publik murni, dimana tiap orang bisa mengakses tanpa membayar. Akan tetapi, konsumen harus mengeluarkan sejumlah uang sesuai dengan pemakaiannya. Ini karena eksploitasi energi tersebut memerlukan biaya yang besar.

Namun sudah seharusnya penentuan tarif listrik disesuaikan dengan kemampuan ekonomi konsumen. Harga yang sama untuk semua golongan konsumen justru menimbulkan ketidakadilan. Karena perbedaan kemampaun ini, Dirut PLN melontarkan ide subsidi listrik 100 persen kepada konsumen yang tergolong miskin. Berdasarkan data PLN, yang tergolong miskin sebanyak 20 juta konsumen. Mereka memiliki listrik 450 kWh, dimana kira-kira memiliki lima lampu bolam ditambah dengan TV, radio, VCD, rice cooker yang dipakai bergantian dengan seterika dan kipas angin.

Pada dasarnya, kebijakan listrik gratis akan menguntungkan konsumen yang miskin, sebab mereka bisa memperoleh pasokan listrik tanpa pengorbanan. Selain itu, anggaran yang dulunya untuk bayar listrik bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain, seperti makanan, biaya sekolah, dan lain-lain. Namun bukan berarti kebijakan ini tidak menimbulkan kerugian. Bahkan, bisa jadi kebijakan listrik gratis tidak tepat diterapkan karena sejumlah hal.

Pertama, penyediaan listrik gratis haruslah diikuti dengan kenaikan pendapatan PLN, salah satunya dengan menaikkan tarif listrik untuk golongan lain, seperti dunia usaha dan konsumen menengah ke atas. Bagi dunia usaha, kenaikan tarif listrik akan menaikkan biaya produksi, yang bisa berimplikasi pada kenaikan harga output. Namun barangkali pilihan menaikkan harga output akan dilakukan bila tidak ada alternatif lain lagi, sebab kenaikan biaya produksi justru akan melemahkan daya saing. Oleh karena itu, terlebih dahulu pengusaha akan merasionalisasi jumlah pekerja untuk menekan biaya, sehingga dipastikan akan memunculkan penganggur baru.
Kedua, penggunaan listrik tidak akan terkontrol bila digratiskan. Ini karena konsumen tidak mengeluarkan biaya tambahan dari setiap tambahan penggunaan listrik. Secara teoritis, instrumen harga diperlukan untuk memberikan batasan dalam konsumsi. Makin tinggi harga, permintaan makin rendah. Sebaliknya, makin rendah harga, permintaan makin tinggi. Nah, bila digratiskan, penggunaan listrik akan meningkat drastis. Tentunya, penggunaan listrik yang tidak terkontrol tersebut akan meningkatkan beban subsidi yang harus ditanggung PLN.

Kedua persoalan di atas melatarbelakangi perlunya mengkritisi kebijakan ini. Menurut penulis, penyediaan listrik gratis kepada golongan miskin bukanlah kebijakan yang tepat, meski memang sangat populis. Karena listrik bukan barang publik murni, konsumen yang ingin memanfaatkannya haruslah berkorban. Hanya saja yang perlu diperhatikan, harga untuk semua golongan konsumen tidak boleh disamakan, melainkan harus disesuaikan dengan kemampuan tiap golongan. Intinya, tarif listrik tersebut bisa dijangkau. []

11 Juni, 2010

Subsidi yang Tepat Sasaran

Seputar Indonesia, Kamis 10 Juni 2010

Pemerintah berencana melakukan pembatasan jumlah BBM bersubsidi. Pasalnya, menurut BHP Migas, kebutuhan BBM bersubsidi pada 2010 mencapai 40,1 – 40,5 juta kiloliter. Padahal, asumsi jumlah BBM bersubsidi dalam APBN-P 2010 hanya 36,5 juta kiloliter. Apabila pemerintah memenuhi permintaan tersebut, kebutuhan anggaran pengeluaran akan membengkak, sehingga menjadikan APBN rentan.

Dalam APBN-P 2010, anggaran subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp 89,29 triliun atau 1,5% PDB, dimana angka ini meningkat signifikan dari APBN 2010 yang hanya ditetapkan sebesar Rp 68,72 triliun atau 1,1% PDB. Bila pemerintah menambah jumlah subsidi BBM yang dibutuhkan masyarakat, tentu anggaran yang diperlukan akan lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang akan dialokasikan dalam APBN-P 2010. Defisit anggaran akan bertambah, sehingga meningkatkan utang pemerintah. Inilah kelemahan dari pengalokasian anggaran yang besar untuk subsidi, yang tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan.

Selain itu, dalam teori ekonomi publik, subsidi akan menimbulkan hilangnya kesejahteraan atau welfare loss, sebagaimana juga terjadi dalam pengenaan pajak. Makin besar subsidi yang diberikan pemerintah, makin tinggi welfare loss. Ini karena subsidi menciptakan distorsi harga, dimana harga yang terbentuk tidak mencerminkan interaksi antara permintaan dan penawaran di pasar. Bila pemerintah mencabut subsidi, lalu diserahkan pada harga pasar, tentu tidak terjadi welfare loss.

Namun subsidi tidak hanya boleh dilihat dari sisi kerugiannya, tapi juga keuntungannya. Ini karena BBM digunakan oleh hampir seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin. Kebutuhan BBM sangat erat dengan kehidupan rakyat tiap hari, sehingga bila harga BBM tinggi, rakyat yang berdaya beli rendah mengalami kesulitan. Rakyat ini berasal dari kalangan ekonomi lemah, dimana data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin per Maret 2009 mencapai 32,5 juta jiwa. Tak bisa dimungkiri, golongan ini memang pantas memperoleh subsidi. Selain itu, tingginya harga BBM juga menimbulkan efek lanjutan, dimana akan meningkatkan harga barang dan jasa yang terkait dengan penggunaan BBM. Telah umum diketahui, BBM adalah input yang digunakan dalam proses produksi, sehingga kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi yang akhirnya meningkatkan harga barang dan jasa. Konsekuensinya, pendapatan riil masyarakat turun. Jadi, subsidi BBM sebetulnya dimaknai sebagai penyelamatan terhadap orang miskin, yakni orang yang berdaya beli rendah.

Hanya saja, persoalan klasiknya adalah ketidakmampuan membatasi orang lain yang bukan sasaran dalam memperoleh subsidi, yakni orang yang tidak membutuhkan bantuan. Sampai saat ini, belum ada realisasi mekanisme yang paling berhasil dalam menjalankan subsidi BBM yang tepat sasaran. Oleh karena itu, menurut penulis, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk menjalankan kebijakan subsidi. Pertama, apapun skemanya, yang menjadi catatan penting adalah perlu implementasi yang serius di lapangan. Skema yang tepat belum tentu menghasilkan realisasi yang sesuai harapan. Dalam hal subsidi BBM, kunci untuk implementasi subsidi ada di tangan para petugas SPBU. Hal ini karena petugas SPBU lah yang menjadi kunci untuk membatasi orang – orang yang memang bukan sasaran untuk memperoleh subsidi.

Kedua, dalam jangka panjang, pemerintah harus meningkatkan penerimaan, baik dari pajak maupun non pajak guna membiayai subsidi BBM. Ini karena pemerintah wajib membantu rakyat yang tidak mampu secara ekonomi melalui instrumen anggaran. Makin banyak rakyat yang tidak mampu, makin tinggi kebutuhan subsidi BBM. Ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah