31 Maret, 2009

Kisruh DPT dan Perilaku Politikus

Dimuat di Harian Jogja pada Selasa, 31 Maret 2009

Pemilu legislatif makin dekat. Namun pemilu yang akan berlangsung pada 9 April mendatang ini tampaknya masih menyisakan berbagai masalah. Salah satu masalahnya adalah ketidakberesan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ditemukan sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa terdapat orang-orang yang belum memiliki hak memilih, tapi sudah terdaftar menjadi pemilih. Pun, terdapat penggelembungan DPT di sejumlah daerah yang tidak sesuai dengan jumlah DPT yang sebenarnya. Bila pemilu tetap dilaksanakan tanpa pembenahan terhadap DPT, nantinya kualitas pemilu dipertanyakan. Kualitas partai politik, caleg-caleg, serta presiden yang terpilih akan dipertanyakan keabsahan kemenangannya.

Dengan masalah validitas DPT, ditambah berbagai masalah lainnya, sejumlah tokoh nasional mengusulkan agar pemilu 2009 ditunda. Penundaan ini akan menghindari kecurangan dalam pemilu dan nantinya diharapkan akan muncul pemimpin yang berasal dari suara mayoritas rakyat, tanpa manipulasi suara. Namun tampaknya pemerintah menutup kemungkinan menunda pemilu ini dengan berbagai macam pertimbangan. Di satu sisi, KPU menganggap masalah DPT sebetulnya bisa diselesaikan. KPU percaya bahwa data-data DPT sudah dianggap valid. Bahkan kasus penggelembungan DPT di Jawa Timur, seperti yang diberitakan di media akhir-akhir ini, dianggap tidak benar oleh KPU.

Namun meski KPU menganggap data DPT valid, kenyataan di lapangan tetap menunjukkan bahwa terdapat keanehan dalam DPT yang tercatat di KPU, misalnya kasus seorang balita memperoleh status sebagai DPT. Bisa saja kejadian ini banyak terjadi di Indonesia, hanya saja tidak terekspos media massa. Fenomena kisruh DPT ini sebetulnya menunjukkan bahwa kinerja KPU belum optimal. Pencatatan orang-orang yang berhak memilih belum diperhatikan secara serius oleh KPU (atau KPUD). Sehingga tak heran bila muncul DPT yang aneh di berbagai daerah karena memang sistem pencatatan yang amburadul. Selain itu, fenomena ini juga tidak terlepas dari perilaku para politikus dan simpatisan partai yang sangat berhasrat untuk memperoleh kekuasaan melalui cara-cara yang melanggar aturan. Lemahnya pengawasan KPU, serta dari Panwaslu tampaknya menjadi peluang bagi para “perusak” ini melancarkan aksi-aksi dengan tujuan menggelembungkan suara.

Tentu saja, kita menginginkan pemilu yang bukan hanya damai dan tertib, tapi juga fair. Partai politik, caleg-caleg, dan bahkan presiden yang terpilih dari pemilu yang tidak fair nantinya hanya akan berbuat kerusakan, bukan berbuat kebaikan. Logikanya sederhana saja, bila untuk memperoleh kekuasaan saja sudah berbuat curang, maka terlebih lagi bila kekuasaan itu sudah diperoleh. Karena itu, kita tidak menginginkan kondisi ini terjadi di negeri kita. Adalah tugas seluruh pihak untuk bekerja sama menyukseskan pemilu legislatif dan presiden ini. KPU dan Panwaslu mesti menjalankan perannya dengan optimal. Terkait dengan masalah DPT, KPU wajib memperjelas DPT yang benar-benar valid, serta memusnahkan DPT yang terbukti tidak valid. Sementara Panwaslu mesti memastikan apa yang dilakukan oleh KPU berjalan sesuai dengan prosedur serta memberikan masukan-masukan. Selain KPU dan Panwaslu, pihak aparat keamanan juga harus proaktif membantu KPU dan Panwaslu untuk memberantas kecurangan-kecurangan dalam pemilu ini. Dan yang tak kalah pentingnya adalah peran masyarakat. Pengawasan masyarakat terhadap lingkungan di sekitar bisa meminimalkan terjadi kecurangan, serta yang terpenting adalah memilih pemimpin dan partai secara cerdas. Karena itu, merupakan tugas kita semua untuk menyukseskan pemilu kali ini. []

23 Maret, 2009

Mengubah Paradigma Berpolitik

Dimuat di Seputar Indonesia, Senin 23 Maret 2009

Pemilu legislatif tinggal beberapa hari lagi. Di masa kampanye terbuka seperti yang berlangsung saat ini, partai politik berlomba-lomba berkampanye untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu legislatif yang berlangsung 9 April mendatang. Pemilu legislatif ini sangat penting, sebab hasil pemilu ini sedikitnya banyak mempengaruhi pemilu presiden yang berlangsung tiga bulan setelah pemilu legislatif usai. Karena syarat mengajukan presiden dari partai politik atau gabungan partai politik, yaitu 25 persen suara sah nasional dan 20 persen kursi di legislatif (DPR), maka partai politik, terutama partai-partai besar, berlomba-lomba memenangkan pemilu legislatif ini. Tak heran bila kampanye digelar sebesar mungkin agar bisa memperoleh simpati dan suara rakyat di pemilihan nanti.

Berpolitik memang terkait erat dengan kampanye. Melalui kampanye, partai politik bisa menyosialisasikan visi dan misi atau janji-janjinya pada rakyat. Tentunya hal tersebut wajar dalam berpolitik. Namun bisa lain ceritanya bila kampanye partai politik berisi janji-janji yang sebetulnya tidak realistis tercapai atau hanya sekedar menggombal rakyat. Pengamatan penulis terhadap berbagai kampanye yang digelar partai politik, terlihat jelas isi kampanye yang mengobral janji-janji manis kepada rakyat.

Menurut penulis, fenomena demikian tidak lepas dari paradigma berpikir para politisi yang menganggap kekuasaan sebagai tujuan, bukan alat mencapai tujuan. Sehingga, tak heran bila para politisi tersebut mendesain janji-janji seindah mungkin agar rakyat bisa tergombal dengan janji tersebut. Memang dalam kampanye tersebut para politisi tidak secara eksplisit menyatakan kalau tujuannya adalah meraih kekuasaan, tapi sangat kentara dari kualitas janji-janji yang diobral. Kalau realitas seperti ini terus terjadi, nantinya rakyat Indonesialah yang menjadi korban.

Berbeda halnya bila paradigma berpikir yang menempatkan kekuasaan sebagai alat mencapai tujuan, sebagaimana tujuan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1994, yaitu (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kalau menggunakan paradigma demikian, tentunya politisi akan berhati-hati dalam berjanji. Pasalnya, bagi politisi yang memiliki paradigma demikian, berjanji merupakan utang, sementara bila utang tidak dibayar maka konsekuensinya negatifnya bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

Karena itu, ciri khas politisi seperti ini adalah mendesain janji-janjinya sedemikian rupa agar janji tersebut tampak realistis di mata rakyat. Janji-janjinya tidak perlu yang muluk-muluk atau menjanjikan sesuatu yang indah pada rakyat. Politisi semacam ini akan mengukur dan menimbang kemampuan dirinya sebelum berjanji, serta bertanya apakah mampu memenuhi janji tersebut. Selain itu, politisi seperti ini sadar betul bahwa kekuasaan merupakan amanah dari rakyat yang harus dipertanggung jawabkan, bukan merupakan tujuan yang nantinya malah menyebabkan rakyat makin menderita. Semoga saja karakter politisi seperti ini, dapat segera terlahir di kancah perpolitikan Indonesia.[]

11 Maret, 2009

Perbankan, Suku Bunga, dan Sektor Riil

Seputar Indonesia pada Rabu, 11 Maret 2009

Logikanya, perbankan akan menurunkan suku bunga kredit bila Bank Indonesia atau BI menurunkan suku bunga acuan (BI rate). Namun logika ini tampaknya belum berlaku di Indonesia. Terbukti, meski BI rate turun, perbankan belum menurunkan suku bunga kredit.

Secara teoritis, BI rate merupakan salah satu instrumen BI untuk mempengaruhi dinamika moneter dan perbankan di Indonesia. Bila BI rate diturunkan, ini mengindikasikan kebijakan moneter yang longgar, artinya BI menginginkan adanya stimulus untuk menggerakkan perekonomian. Biasanya dalam kondisi resesi atau terjadinya perlambatan ekonomi, BI rate diturunkan. Sementara bila booming, BI rate dinaikkan. Selain BI rate, terdapat instrumen lain seperti penetapan Giro Wajib Minimum, Operasi Pasar Terbuka, dan Moral Suasion. Instrumen tersebut digunakan BI dalam salah tugasnya, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.

Dalam merespons lambatnya pertumbuhan ekonomi, BI turut ambil peran untuk menggairahkan ekonomi domestik. Pada 3 Maret 2009, BI menurunkan kembali BI rate ke posisi 7,75% dari posisi 8,25%. Langkah ini diambil setelah melihat perkembangan ekonomi domestik dan internasional, khususnya menyangkut terjadinya krisis global yang masih berlangsung hingga saat ini. Perlambatan ekonomi global berdampak pada menurunnya aktivitas produksi domestik, terutama melalui perdagangan internasional. Memang dampak yang dialami Indonesia tidak sebesar dampak yang dialami negara Malaysia dan Singapura karena rasio ekspor terhadap PDB hanya 29% (tahun 2007), sementara Malaysia dan Singapura masing-masing sebesar 110% dan 230%. Namun tetap saja, perlambatan tersebut menekan industri di dalam negeri.

Turunnya BI rate diharapkan menjadi stimulus untuk menggerakkan ekonomi domestik melalui peningkatan investasi. Diakui sektor swasta, khususnya di sektor riil sangat membutuhkan bantuan kapital sebagai tambahan untuk tetap menggerakkan usahanya. Karena itu, pengusaha membutuhkan dana segar agar dapat membiayai aktivitas produksi, sehingga tenaga kerja dapat terus bekerja dan perusahaan tetap menghasilkan produk. Bila sektor riil tetap menghasilkan produk, terlebih lagi bila meningkat, secara umum akan tetap menggerakkan perekonomian domestik.

Perbankan sebagai penyuplai dana, memegang peran penting dalam menyelamatkan sektor riil. Pasalnya dalam kondisi ekonomi yang kurang normal seperti saat ini, pengusaha membutuhkan kemudahan kredit melalui penurunan tarif bunga. Artinya, biaya yang dikeluarkan pengusaha karena meminjam bunga di bank dapat diminimalkan agar total biaya menjadi minimal. Bagi perbankan, terbuka peluang menurunkan suku bunga kredit karena BI rate juga telah turun. Saat BI rate 8,25%, suku bunga kredit perbankan berkisar 14 – 15%. Namun suku bunga kredit tetap bertahan di posisi tersebut meski BI rate sudah di posisi 7,75%. Tentunya, penurunan BI rate ini tidak akan berdampak pada sektor riil kalau perbankan tidak menurunkan suku bunga kredit. Mestinya, suku bunga kredit sudah bisa diturunkan ke level 12 – 13%.

BI memang tidak punya kekuatan lebih untuk mempengaruhi suku bunga kredit, selain melalui penetapan BI rate. Karena itu, bila BI rate kurang signifikan pengaruhnya, mestinya pemerintah sebagai pemilik bank, terutama bank berplat merah memberikan himbauan kepada manajemen bank agar menurunkan suku bunga. Insentif dapat diberikan pada bank BUMN yang berani menurunkan suku bunga kredit. Tentunya, pemerintah bisa mendesain insentif yang tepat bagi bank-bank yang menurunkan suku bunga kredit. []

Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Aktivis HMI UGM

01 Maret, 2009

Minimnya Pendidikan Budi Pekerti

Seputar Indonesia, pada Senin 2 Maret 2009

Akhir-akhir ini, kita kerap dipertontonkan dengan fenomena kekerasan baik yang terjadi di dunia pendidikan, pentas politik, dan kehidupan bermasyarakat di sekitar kita. Kasus penganiayaan yang berujung pada kematian Ketua DPRD Sumatra Utara tampaknya merupakan kisah tragis dari efek buruk diagungkannya kekerasan dalam bertindak. Kasus perkelahian antar gen siswa menunjukkan borok dunia pendidikan kita yang makin jauh dari budi pekerti. Pun, tak terhitung banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di sekitar kita, tak terkecuali di rumah tangga. Lantas, mengapa hal seperti ini terjadi?

Budaya Indonesiai bukanlah budaya kekerasan. Artinya, kekerasan timbul bukan karena akar budaya yang mendorong orang melakukannya. Menurut penulis, penyebabnya adalah makin hari makin minimnya pendidikan budi pekerti di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah.

Anak akan mencontoh apa yang terjadi di keluarganya, sebab di situlah pertama kali dia bersosialisasi. Bila kondisi keluarganya dipenuhi dengan kekerasan, kemungkinan besar anak juga akan senang kekerasan. Apalagi bila anak sering memperoleh tindakan kekerasan dari orang tua atau saudaranya, perilaku yang sama kemungkinan besar akan dilakukan pada lingkungan di luar keluarganya.

Selain di rumah, tempat pendidikan anak yang paling utama adalah sekolah. Hampir sepertiga waktu anak dihabiskan di sekolah. Namun kurikulum pendidikan sekolah yang makin mengurangi porsi pendidikan budi pekerti berimplikasi makin rendahnya budi pekerti siswa. Karena minimnya pendidikan budi pekerti, siswa-siswa tidak mendapat asupan norma-norma yang bisa menjadi guide line dalam bergaul sesama siswa dan bergaul dengan masyarakat. Tak heran bila siswa-siswa tumbuh tanpa pegangan budi pekerti.

Karena itu, sebagai tindakan pencegahan, merupakan kewajiban orang tua dan guru untuk menanamkan pendidikan budi pekerti baik di rumah maupun sekolah. Di rumah, orang tua harus menunjukkan sikap yang jauh dari unsur kekerasan. Kerap kali orang tua kontraproduktif dalam bersikap. Mereka menganggap bahwa kekerasan adalah bentuk didikan pada anak. Perlu dibedakan antara ketegasan dan kekerasan. Ketegasan terhadap anak, bukan berarti harus bersikap keras, seperti menghukum secara fisik, dan lain-lain, sebab tindakan semacam itu sudah tergolong kekerasan. Tapi, ketegasan dimaksudkan sebagai pendidikan yang mengedepankan aturan-aturan, dan bila si anak melanggar maka ada sanksi yang harus dijalani. Bentuk sanksi inilah yang membedakan antara ketegasan dengan kekerasan. Sanksi dalam bentuk ketegasan akan membuat anak sadar terhadap kesalahannya dan dari sanksi tersebut ada manfaat yang diperolehnya. Sementara, sanksi dalam bentuk kekerasan, kemungkinan kecil akan membuat anak sadar dan jelas sekali tidak ada manfaat yang diperoleh dari sanksi tersebut.

Di sekolah, guru harus menanamkan budi pekerti yang baik bagi siswa. Meski, porsi pendidikan budi pekerti makin kurang, seyogianya seorang guru harus kreatif dalam mendidik murid. Di sela-sela penyampaian pelajaran, guru juga harus menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya dibekali dengan keilmuan, tapi juga budi pekerti. Seorang guru juga harus menampakkan budi pekerti yang baik karena sikap seorang guru terhadap muridnya merupakan pula pendidikan bagi murid. Bila hal ini dilakukan, maka potensi munculnya kekerasan di masyarakat Indonesia akan berkurang seminimal mungkin. []