Seputar Indonesia, Jumat 25 Januari 2008
Kekhawatiran terjadinya resesi di Amerika Serikat (AS) yang akan berdampak negatif pada perekonomian Indonesia memang perlu dicermati. Pasalnya, keberadaan AS dengan perekonomian paling besar di dunia turut mempengaruhi kondisi ekonomi negara lain khususnya yang menjalin kerja sama ekonomi. Karena itu, tiap negara harus mengantisipasi dan mempersiapkan strategi agar dampak negatif bila ekonomi AS mengalami resesi bisa diminimalisir.
Perekonomian AS memang berpeluang besar mengalami resesi setelah ditimpa beberapa fenomena ekonomi seperti krisis kredit macet perumahan, kenaikan harga minyak mentah, dan jatuhnya harga saham di pasar modal AS. Akibatnya, tanda-tanda menuju resesi makin jelas dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa kuartal terakhir. Bahkan, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tahun ini sebesar 2,8% telah dikoreksi menjadi 2,2%. Untuk mencegah perekonomian makin buruk, reaksi Bank Sentral AS dengan menurunkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,5% (lebih awal dari yang dijadwalkan), memberi sinyal kuat kalau perekonomian AS sudah berada di ujung tanduk. Ini menandakan ancaman resesi benar-benar sudah di depan mata, serta nantinya mengakibatkan perlambatan ekonomi dunia, serta perekonomian negara lain.
Bagi Indonesia, AS merupakan mitra ekonomi utama khususnya dalam hubungan perdagangan. Data Januari-November 2007 menunjukkan total ekspor non-migas Indonesia ke AS mencapai USD 10.307,3 juta, terbesar kedua setelah Jepang. Karena itu, perlambatan ekonomi AS akan mempengaruhi volume perdagangan, dengan kata lain, akan menekan pertumbuhan ekspor Indonesia. Dampaknya sudah bisa dilihat dengan pertumbuhan ekspor ke AS pada 2007 hanya sebesar 5%, padahal biasanya angka pertumbuhan mencapai 10%.
Penurunan pertumbuhan ekspor secara langsung berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, sumbangan ekspor relatif tinggi ketimbang pertumbuhan konsumsi dan investasi. Apalagi dengan meningkatnya harga produk-produk ekspor di pasar internasional seperti kelapa sawit, batu bara, karet, dan beberapa produk primer lainnya. Peningkatan harga produk primer ini masih terkait dengan kenaikan harga minyak mentah, yang memaksa konsumen menggunakan sumber energi alternatif. Namun, perlu ditekankan lagi bahwa sumbangan ekspor pada pertumbuhan lebih disebabkan oleh kenaikan harga di pasar internasional ketimbang kenaikan volume ekspor. Karena itu, perlu dilakukan kebijakan strategis agar optimalisasi keuntungan bisa tercapai dengan meningkatkan volume produksi seiring dengan kenaikan harga produk-produk primer di pasar internasional.
Agar dampak gejolak eksternal bisa diminimalisir, pemerintah perlu mewaspadai dan menyiapkan strategi yang tepat khususnya bila ekonomi AS mengalami resesi. Memang, pencapaian indikator makro ekonomi yang dicapai pada 2007 relatif baik ketimbang tahun sebelumnya, seperti pertumbuhan ekonomi di level 6,3%, cadangan devisa USD 55 miliar, kurs rupiah stabil di level 9.100 per US dollar. Namun, tentunya pencapaian tersebut belum cukup kuat membentengi perekonomian nasional dari gejolak eksternal. Pemerintah masih perlu melakukan langkah-langkah antisipatif jangka pendek agar pengaruh negatifnya bisa diminimalisir. Sementara itu, fundamental ekonomi nasional harus dikuatkan dengan memosisikan rakyat sebagai pendorong utama kemajuan ekonomi, salah satunya dengan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor riil, yaitu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Dengan mengandalkan aktivitas ekonomi rakyat sebagai penopang perekonomian, maka pengaruh gejolak eksternal khususnya pada sektor finansial tidak berimbas negatif pada sektor riil.
23 Januari, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar