Kompas Yogyakarta, 15 Desember 2006
Tak bisa dimungkiri perempuan sering kali menjadi obyek kekerasan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Berbagai kejadian telah menyadarkan kita betapa banyak perempuan menjadi korban kekerasan.
Hampir tiap hari kita mendengar berita perkosaan terhadap perempuan baik itu di televisi maupun surat kabar. Para tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri, khususnya yang ilegal, banyak dari mereka mendapat perlakuan kasar dari majikan, atau orang- orang yang memfasilitasi kerja ke luar negeri kerap kali memperlakukan TKW dengan tidak senonoh. Perempuan dijadikan obyek kekerasan, termasuk yang dilakukan oleh laki-laki yang memperturutkan nafsu syahwat.
Kejadian-kejadian yang menimpa perempuan seperti di atas mengindikasikan ketidakberhasilan pemerintah memberikan perlindungan kepada perempuan. Lalu, di mana kinerja menteri yang khusus memberdayakan perempuan? Bukankah perempuan dari dulu sampai sekarang masih termarjinalkan. Ironis, ketika isu poligami mencuat, pemerintah dengan gesit berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 berkaitan dengan perkawinan dan perceraian oleh pegawai negeri sipil (PNS) yang akan diperlakukan secara umum.
Berbeda dengan isu perkosaan, pelecehan seksual, pengeksploitasian yang hampir tiap hari terjadi, sama sekali tidak bisa dikurangi malah kejadian-kejadian ini bertambah seiring berjalan waktu. Usaha-usaha pemerintah hanya di permukaan saja dan tak bisa menyentuh akar permasalahan, yakni penciptaan hukum dan aparat penegak yang konsisten memberantas kekerasan terhadap perempuan. Tanpa hal tersebut, apa yang dilakukan pemerintah sama halnya dengan berwacana, sebaliknya kekerasan pun berkembang biak di masyarakat.
Memang tidak bisa dimungkiri banyak perempuan telah mencapai prestasi dan karier yang mantap. Mereka yang berpendidikan dan punya keterampilan yang memadai akan mampu berkompetisi dan bertahan dari ancaman kekerasan.
Namun, jumlah ini relatif sedikit jika dibandingkan dengan perempuan yang hidup tertindas. Mereka tidak punya pendidikan dan keterampilan yang memadai, yang menjadikannnya harus tersingkir dari arena kehidupan yang lebih baik. Mereka yang jumlahnya banyak inilah menjadi obyek kekerasan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Mereka amat mudah dibodohi dan diperdaya untuk memenuhi tuntutan yang menjerumuskan ke arah perbudakan.
Sangat mungkin dengan kondisi perempuan seperti ini yang memberi wajah kebobrokan bangsa ini. Seperti yang diucapkan Jawaharlal Nehru, "Kamu dapat menilai suatu bangsa melalui status perempuan bangsa tersebut." Tampak bahwa status perempuan merupakan salah satu indikator buat bangsa yang dikatakan maju atau terbelakang. Penulis pun menilai, posisi perempuan yang membentuk generasi berpengaruh besar dengan generasi yang akan dibentuknya. Jika status kaum perempuan terbelakang, perempuan menjadi komoditas, perempuan diperbudak, bukan tidak mungkin generasi yang dibentuknya itu akan terbelakang pula, jauh dari ajaran moralitas dan etika, dan jiwanya tumbuh dalam suasana ketakkondusifan.
Nah, apakah kita ingin melihat bangsa ini diisi oleh generasi demikian? Pertanyaan yang harus direnungi dan dijawab dengan tindakan.
19 Januari, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar