Seputar Indonesia, 13 Oktober 2008
Dalam ilmu ekonomi, mekanisme pasar merupakan suatu cara dalam menyelesaikan masalah ekonomi. Pada masa krisis misalnya, pilihannya ada dua, apakah membiarkan mekanisme pasar bekerja sendiri atau pemerintah mengintervensi pasar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Membiarkan masalah ekonomi diselesaikan melalui mekanisme pasar saja bukanlah pilihan tepat. Terbukti, depresi besar yang pernah terjadi pada kurun waktu 1929-1933, tidak mampu diselesaikan melalui mekanisme pasar. Sehingga saat itu, timbul suatu pemikiran baru dalam ilmu ekonomi, yakni perlu intervensi pemerintah untuk mengembalikan peran mekanisme pasar. Dengan adanya intervensi, depresi besar pada tahun 1930-an tersebut bisa diatasi. Dunia pun selamat dari kehancuran.
Saat ini, fenomena yang sama kembali berulang. Ekonomi global sedang dilanda krisis. Berbagai pendapat mengemuka, setelah melihat indikator yang ada, bahwa fenomena ekonomi ini merupakan yang terparah setelah depresi besar 1930. Kejatuhan pasar finansial AS, yang disebabkan oleh dampak krisis perumahan (subprime mortgage), telah berujung pada dampak krisis ekonomi yang parah. Sejumlah lembaga keuangan, terutama bank investasi seperti Lehman Brothers sudah dinyatakan bangkrut. Pemerintah AS pun bereaksi dengan menyuntikkan dana sejumlah USD 700 miliar. Ini merupakan suatu cara pemerintah mengintervensi perekonomian yang sedang dilanda krisis.
Di Indonesia, fenomena yang berbeda kita temui. Memang Indonesia tidak mendapat pengaruh langsung dari krisis keuangan AS, tapi secara tak langsung dampak negatif itu kita peroleh. Dalam masa krisis ini, para investor yang notabene dominan pihak asing, bereaksi dengan melakukan aksi jual saham. Kekhawatiran mereka beralasan, sebab kondisi ekonomi Indonesia berpotensi buruk karena pengaruh krisis finansial AS. Oleh karenanya, menarik aset di pasar modal jauh lebih aman bagi investor asing. Namun hal ini tidak hanya berdampak negatif di pasar modal berupa penurunan IHSG, tapi juga di pasar valuta asing di mana permintaan dolar AS meningkat. Fenomena ini membuat rupiah melemah. Terbukti, nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat mencapai Rp. 10.000, meski tetap turun saat penutupan.
Menghadapi kondisi ini, tentu pemerintah tidak semestinya berdiam diri. Terlalu mahal harganya bila menunggu mekanisme pasar menyelesaikan segalanya. Hanya saja, memang tidak bisa dimungkiri kalau intervensi kadang kala makin memperkeruh suasana. Tapi, sekali lagi, lebih besar risikonya bila kita tidak melakukan apa-apa. Paling tidak, kita bisa belajar dari krisis 1930-an, di mana intervensi pemerintah dengan jalan stimulus mampu menggairahkan kembali perekonomian. Cara yang berbeda untuk menyelesaikan masalah yang berbeda pula.
Saya pikir, kuncinya terletak pada cara pemerintah mengintervensi pasar. Bukankah intervensi pasar harus dilakukan bila mekanisme pasar tidak bekerja secara normal? Sedangkan, terjadinya krisis karena pasar tidak bekerja secara normal. Nah, bila menggunakan logika ini, maka intervensi dibutuhkan dalam masa krisis. Masalah yang sesungguhnya adalah bagaimana cara mengintervensi. Sedangkan cara mengintervensi sangat tergantung pada kemampuan pemerintah mengidentifikasi permasalahan. Bila identifikasinya keliru, maka jangan harap keberhasilan dari kebijakan intervensi tersebut. []
Dalam ilmu ekonomi, mekanisme pasar merupakan suatu cara dalam menyelesaikan masalah ekonomi. Pada masa krisis misalnya, pilihannya ada dua, apakah membiarkan mekanisme pasar bekerja sendiri atau pemerintah mengintervensi pasar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Membiarkan masalah ekonomi diselesaikan melalui mekanisme pasar saja bukanlah pilihan tepat. Terbukti, depresi besar yang pernah terjadi pada kurun waktu 1929-1933, tidak mampu diselesaikan melalui mekanisme pasar. Sehingga saat itu, timbul suatu pemikiran baru dalam ilmu ekonomi, yakni perlu intervensi pemerintah untuk mengembalikan peran mekanisme pasar. Dengan adanya intervensi, depresi besar pada tahun 1930-an tersebut bisa diatasi. Dunia pun selamat dari kehancuran.
Saat ini, fenomena yang sama kembali berulang. Ekonomi global sedang dilanda krisis. Berbagai pendapat mengemuka, setelah melihat indikator yang ada, bahwa fenomena ekonomi ini merupakan yang terparah setelah depresi besar 1930. Kejatuhan pasar finansial AS, yang disebabkan oleh dampak krisis perumahan (subprime mortgage), telah berujung pada dampak krisis ekonomi yang parah. Sejumlah lembaga keuangan, terutama bank investasi seperti Lehman Brothers sudah dinyatakan bangkrut. Pemerintah AS pun bereaksi dengan menyuntikkan dana sejumlah USD 700 miliar. Ini merupakan suatu cara pemerintah mengintervensi perekonomian yang sedang dilanda krisis.
Di Indonesia, fenomena yang berbeda kita temui. Memang Indonesia tidak mendapat pengaruh langsung dari krisis keuangan AS, tapi secara tak langsung dampak negatif itu kita peroleh. Dalam masa krisis ini, para investor yang notabene dominan pihak asing, bereaksi dengan melakukan aksi jual saham. Kekhawatiran mereka beralasan, sebab kondisi ekonomi Indonesia berpotensi buruk karena pengaruh krisis finansial AS. Oleh karenanya, menarik aset di pasar modal jauh lebih aman bagi investor asing. Namun hal ini tidak hanya berdampak negatif di pasar modal berupa penurunan IHSG, tapi juga di pasar valuta asing di mana permintaan dolar AS meningkat. Fenomena ini membuat rupiah melemah. Terbukti, nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat mencapai Rp. 10.000, meski tetap turun saat penutupan.
Menghadapi kondisi ini, tentu pemerintah tidak semestinya berdiam diri. Terlalu mahal harganya bila menunggu mekanisme pasar menyelesaikan segalanya. Hanya saja, memang tidak bisa dimungkiri kalau intervensi kadang kala makin memperkeruh suasana. Tapi, sekali lagi, lebih besar risikonya bila kita tidak melakukan apa-apa. Paling tidak, kita bisa belajar dari krisis 1930-an, di mana intervensi pemerintah dengan jalan stimulus mampu menggairahkan kembali perekonomian. Cara yang berbeda untuk menyelesaikan masalah yang berbeda pula.
Saya pikir, kuncinya terletak pada cara pemerintah mengintervensi pasar. Bukankah intervensi pasar harus dilakukan bila mekanisme pasar tidak bekerja secara normal? Sedangkan, terjadinya krisis karena pasar tidak bekerja secara normal. Nah, bila menggunakan logika ini, maka intervensi dibutuhkan dalam masa krisis. Masalah yang sesungguhnya adalah bagaimana cara mengintervensi. Sedangkan cara mengintervensi sangat tergantung pada kemampuan pemerintah mengidentifikasi permasalahan. Bila identifikasinya keliru, maka jangan harap keberhasilan dari kebijakan intervensi tersebut. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar