Seputar Indonesia, 28 Maret 2008
Dunia penerbangan Indonesia tampaknya menghadapi ujian berat. Belum lama ini, kita memperjuangkan pengakuan negara Uni Eropa agar komisi penerbangan mereka mencabut izin larangan terbang ke Uni Eropa. Sekarang, kita dihadapkan dengan sejumlah masalah internal yang menimpa maskapai penerbangan berupa keuangan dan keselamatan. Masalah terakhir ini pula, yang menjadi alasan komisi penerbangan Uni Eropa mengeluarkan aturan tersebut.
Diakui, hampir semua maskapai penerbangan di tanah air sudah tercoreng namanya dalam hal keselamatan penerbangan. Merpati, Adam Air, Lion Air, dan tak terkecuali Garuda yang menjadi ikon penerbangan Indonesia pernah mengalami kecelakaan yang memakan korban manusia. Meski biaya penerbangan relatif murah, tapi ternyata membawa konsekuensi pada hilangnya nyawa manusia.
Puncak masalah penerbangan tanah air ditunjukkan dengan penutupan sementara salah satu maskapai yakni Adam Air mulai Kamis, 20 Maret 2008. Penutupan ini disebabkan oleh kesulitan keuangan yang menimpa perusahaan sehingga sejumlah biaya tidak bisa dibayarkan berupa biaya pelayanan bandara dan asuransi. Penutupan ini seakan membuka tabir akan bobroknya kondisi penerbangan di tanah air.
Peningkatan biaya hingga melebihi keuntungan, salah satunya disebabkan intensitas kecelakaan pesawat yang dialami Adam Air. Kecelakaan terparah hingga menewaskan semua penumpang dan awak pesawat terjadi pada 1 Januari 2007 saat penerbangan dari Surabaya ke Manado. Belakangan, terbukti bahwa kecelakaan ini disebakkan oleh rusaknya sistem navigasi sehingga pesawat meluncur ke bawah karena tidak bisa dikendalikan oleh pilot. Sejumlah kecelakacaan juga dialami saat take-off dan landing, hanya saja tidak menelan korban jiwa. Terakhir, pada 10 Maret 2008, pesawat Adam Air KI-292 Boeing 737-400 jurusan Jakarta-Batam tergelincir di bandara Hang Nadim Batam.
Adam Air yang tidak menjamin keselamatan penumpang, makin merugi dan manajemen yang tidak transparan berujung pada hengkangnya investor PT. Global Transport Service (GTS) dan PT. Bright Star Perkasa (BPS), yang memiliki saham relatif besar. Akibat investor hengkang, modal usaha makin menipis sehingga bukan hanya tidak ada peluang untuk menambah investasi, tapi juga kecil kemungkinan untuk menjalankan kegiatan operasional perusahaan. Karena itu, perusahaan harus mencari dana tambahan untuk menjalankan kegiatan operasional, bila tidak, maka perusahaan harus ditutup untuk sementara. Fenomena inilah yang menimpa Adam Air, sehingga wajar bila kegiatan operasional dihentikan sementara.
Meski ditutup sementara, dampaknya langsung dialami tenaga kerja Adam Air yang berjumlah sekitar 3.000 jiwa. Tenaga kerja resah dan ketakutan karena dihadapkan pada ketidakpastian akan pekerjaan yang akan dilakukan bila Adam Air ditutup permanen. Ketidakpastian akan dibayarnya uang pesangon pun, tampaknya menjadi kekhawatiran tenaga kerja.
Tentu, kita berharap agar kasus ini bisa diselesaikan dengan arif oleh manajemen Adam Air. Selain itu, maskapai lain bisa belajar banyak dari kasus penutupan ini. Pelajaran berharga adalah keselamatan penerbangan (safety flight) merupakan harga mati dalam menjalankan usaha. Menekan biaya serendah mungkin hingga mengurangi tingkat keselamatan penumpang akan berakibat fatal dan merupakan langkah bodoh dan berbahaya. Malah biaya akan lebih besar lagi bila terjadi kecelakaan, ketimbang biaya meningkatkan kualitas keamanan penerbangan.
27 Maret, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar