29 November, 2009

Hukum Dikuasai Kapital

Dimuat di Seputar Indonesia, Sabtu 28 November 2009

Presiden SBY mengakui bahwa reformasi di bidang hukum masih menjadi pekerjaan penting pemerintah yang belum terlaksana secara optimal. Akibatnya, wajah penegakan hukum di Indonesia masih mengecewakan rakyat. Tentu saja, rakyat mengharapkan penegakan hukum secara adil, tanpa pandang bulu.

Akhir-akhir ini, publik disuguhkan dengan fenomena tragis mengenai mandulnya institusi hukum dalam memproses secara hukum pihak-pihak yang diduga kuat terlibat dalam praktik korupsi. Publik menganggap bahwa absennya lembaga penegak hukum mengindikasikan betapa lemahnya lembaga tersebut bila berhadapan dengan para penjahat kelas kakap. Hal ini karena para penjahat tersebut mampu mempengaruhi proses hukum dengan menggunakan kapitalnya.

Menurut penulis, hukum kita tampaknya sudah dikuasai oleh kapital, sehingga orang-orang yang menguasai kapital dengan sendirinya akan membuat hukum berpihak kepadanya. Sementara itu, orang yang tidak memiliki kapital, dengan mudahnya akan terjerat sanksi hukum bila diduga terlibat dalam pelanggaran. Perbedaan perlakuan ini sangat kentara dalam penegakan hukum kita, dimana penguasa kapital mampu menyuap oknum penegak hukum untuk memenangkan kasusnya, atau menyetop agar kasus tersebut tidak sampai ke pengadilan. Kasus Anggodo merupakan fenomena aktual yang membuktikan pada kita bahwa pemilik kapital sudah menguasai hukum kita. Dia tampaknya kebal dengan sanksi hukum, sebab sampai saat ini belum ditahan oleh kepolisian meski diduga kuat terlibat dalam rekayasa penahanan Bibit – Chandra. Sementara kasus Minah, seorang petani yang diduga mencuri beberapa buah Kako, dengan mudahnya dapat dijerat sanksi hukum karena dia tidak memiliki kemampuan kapital untuk membela diri di depan hukum. Bila hukum kita sudah dikuasi oleh kapital, maka rakyat tidak bisa berharap banyak akan datangnya keadilan di depan hukum. Keadilan tersebut baru akan tercipta bila pemerintah melakukan reformasi di institusi penegak hukum, terutama Kepolisian dan Kejaksaan.

Kini, rakyat menuntut aksi pemerintah untuk melakukan reformasi di institusi penegak hukum. Memang dibutuhkan kerja keras pemerintah dalam melakukan aksi ini, sebab masalah di institusi tersebut sudah berakar kuat. Selain itu, godaan finansial yang didapatkan penegak hukum sangatlah besar, sebab mereka berhadapan dengan para pemilik kapital yang senantiasa bisa memenuhi kepentingan pragmatis mereka dalam waktu singkat. Godaan finansial ini, terutama kepada penegak hukum di tingkat bawah, sangat susah dihindari karena penegak hukum kita memang masih menghadapi kesulitan finansial. Dengan demikian, pemerintah perlu memperhatikan kesejahteraan para penegak hukum, terutama di tingkat bawah, agar mereka tidak tergoda lagi oleh suap.

Namun para penegak hukum di tingkat atas, yang notabene sudah sejahtera, ternyata kerap pula tergoda suap. Tentu saja, jumlah uang suapnya cukup fantastis dan jauh berbeda dengan jumlah uang suap penegak hukum di tingkat bawah. Kasus Anggodo membuktikan bahwa para petinggi hukum diduga kuat mendapat suap oleh pihak yang terlibat dalam kasus korupsi ini. Karena itu, perekrutan para pejabat teras di institusi penegak hukum perlu mendapat perhatian seirus. Para pejabat tinggi di institusi penegak hukum haruslah memiliki integritas, kejujuran, dan keberanian untuk membersihkan institusi tersebut dari berbagai bentuk tindakan pelanggaran hukum. Selain itu, petinggi institusi penegak hukum haruslah dipilih dari orang-orang yang memiliki rekam jejak yang baik dalam menegakkan hukum. Bila para pejabat tinggi institusi penegak hukum sudah tidak dapat disuap lagi, maka kita akan melihat para penjahat kelas kakap di negeri ini dapat diseret ke tahanan. []

23 November, 2009

Sarana Aspirasi Rakyat

Dimuat di Seputar Indonesia, Kamis 20 November 2009

Kita tahu, pemimpin dipilih agar mereka dapat membawa kemaslahatan bagi rakyat. Tapi, apabila keadaan tersebut tidak tercapai, wajar bila muncul kekecewaan dan tuntutan agar pemimpin tersebut melakukan perubahan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak memihak pada rakyat. Ekspresi kekecewaan dan tuntutan rakyat biasanya tersalurkan lewat berbagai cara, salah satunya adalah parlemen on line.

Adanya parlemen on line merupakan fenomena yang menarik dicermati akhir-akhir ini. Penahanan Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah, di mana kedua tokoh tersebut dianggap mewakili hati nurani rakyat, dinilai bertentangan dengan aspirasi rakyat. Pun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap dikriminilasasi oleh lembaga penegak hukum lain, menimbulkan reaksi pemihakan pada KPK. Pemihakan tersebut terutama terlihat di dunia maya, melalui situs jejaring facebook. Tentu saja, sikap rakyat juga terwujud dalam aksi demonstrasi, dan lain-lain.

Fenomena parlemen on line ini tampaknya menarik karena dukungan rakyat dengan sangat mudahnya teridentifikasi hanya dengan menyatakan dukungan secara on line. Karena itu, sebagian rakyat merasa tidak perlu membuang energi dengan turun lapangan, sebagaimana yang dulu kerap dilakukan. Namun sekarang, aspirasi tersebut dapat tersampaikan hanya dengan duduk santai di depan komputer sambil berselancar di dunia maya.

Memang parlemen on line merupakan media yang menarik dan efisien dalam menyampaikan aspirasi. Akan tetapi, terlalu menyederhanakan masalah bila aspirasi di parlemen on line merupakan dasar dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Misalnya, penolakan terhadap penahanan Bibit dan Chandra diekspresikan melalui parlemen on line dengan facebook, yang sudah memiliki anggota lebih dari 1 juta orang. Bila pemerintah menangguhkan penahanan Bibit dan Chandra hanya berdasarkan dukungan yang ada di facebook, tentu kredibilitas pemerintah dipertanyakan. Kalau fenomena ini terus terjadi, tentu menjadi preseden buruk dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah di masa mendatang.

Namun bukan berarti rakyat tidak boleh menjadikan parlemen on line sebagai sarana penyampai aspirasi. Sebab, aspirasi melalui dunia maya bisa menjadi inspirasi bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan yang mestinya sesuai dengan keinginan rakyat. Walau tak ada jaminan bila sarana ini dapat efektif dalam menyampaikan aspirasi, tapi tak salah bila rakyat menggunakannya bila apa yang diharapkan bertentangan dengan yang dilakukan pemerintah. Lagi pula, anggota DPR yang diharapkan dapat menjadi pembela kepentingan rakyat, kerap kali justru bertentangan dengan hati nurani rakyat.

Karena itu, pemerintah tidak perlu acuh tak acuh terhadap aspirasi rakyat yang melalui parlemen on line. Pemerintah perlu berintrospeksi diri terhadap aspirasi tersebut, meski tetap harus mempertimbangkan secara matang sebelum mengambil kebijakan. []

12 November, 2009

Lanjutkan Pemberantasan Korupsi

Seputar Indonesia, Selasa 10 November 2009

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang diuji. Dugaan kasus korupsi yang menimpa dua pimpinan nonaktif telah mencederai semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun kita sepakat bahwa praktik-praktik korupsi harus terus menerus diberantas hingga akhirnya ”lenyap” di bumi pertiwi ini. Selain itu, kewenangan KPK semestinya tidak dikurangi hanya karena kasus yang menimpa sejumlah pimpinannya.

Memang sudah menjadi tugas lembaga penegak hukum, terutama KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk memberantas korupsi di Indonesia. Namun tampaknya lembaga tersebut kurang bersinergi dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terutama terlihat pada perseturuan antara kepolisian dan kejaksaan berhadapan dengan KPK. Akibatnya, rakyat awam berpandangan bahwa lembaga-lembaga tersebut saling berhadap-hadapan untuk melemahkan satu sama lain.

Padahal, justru yang terjadi adalah perseturuan antar pejabat teras di masing-masing lembaga. Mereka memiliki kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan institusinya. Tentu kita bingung dengan fenomena yang berkembang di media saat ini, di mana pejabat di masing-masing lembaga terutama kepolisian dan KPK menyatakan bahwa mereka bertindak sesuai dengan kewenangan masing-masing. Mereka pun menganggap bahwa lembaga lain melakukan praktik korupsi. Kapolri, dalam rapat kerja dengan DPR, mengatakan bahwa sejumlah pimpinan terlibat korupsi. Di sisi lain, pimpinan nonaktif KPK mengatakan tidak menerima uang dari siapa pun. Sebaliknya, KPK meyakini bahwa ada petinggi Polri yang terlibat dalam praktik korupsi. Bila KPK dan Kepolisian, serta Kejaksaan saling berseteru maka bagaimana nasibnya pemberantasan korupsi di Indonesia?

Meski berpotensi melemahkan semangat dan aksi pemberantasan korupsi, kita perlu tahu bahwa pimpinan KPK saat ini tetap menjalankan tugasnya, sehingga pemberantasan korupsi tetap berlanjut. Presiden telah bertindak tepat dengan mengganti pimpinan KPK yang diduga terlibat kasus pidana, yaitu Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, dan Antasari Azhar. Para pimpinan nonaktif ini diganti oleh Tumpak H Panggabean, Mas Achmad Santosa, dan Waluyo. Adanya pimpinan baru ini tentu memunculkan optimisme bahwa KPK tetap memiliki taring untuk melakukan pemberantasan korupsi. Hanya saja, munculnya kasus ini berpotensi menjadi awal untuk mengerdilkan KPK, terutama bila para pimpinannya yang terlibat kasus tersebut memang terbukti bersalah. Adanya kewenangan berlebihan yang diberikan kepada KPK dinilai sebagai penyebab munculnya penyalahgunaan wewenang. Karena itu, ada tuntutan untuk mengurangi kewenangan KPK.

Memang kita tahu bahwa kekuasaan yang berlebihan berpeluang besar menjerumuskan orang yang mengembangnya pada penyalahgunaan. Barangkali hal ini memang terjadi pada pimpinan KPK. Namun, mengurangi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi tentu bukanlah langkah yang tepat. Bagaimanapun, korupsi masih kita anggap sebagai kejahatan luar biasa dan menjadi musuh bersama, sehingga dibutuhkan lembaga yang kuat untuk memberantasnya. Justru, yang perlu dilakukan adalah bersama-sama mengawasi kinerja KPK. LSM, mahasiswa, dan rakyat secara umum harus bertindak bila memang ada indikasi bahwa pimpinan KPK tidak bekerja sebagaimana mestinya. []