Seputar Indonesia, Rabu 21 November 2007
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen tahun ini nampaknya tidak tercapai. Penurunan pertumbuhan ekonomi disinyalir karena tidak tercapainya target pertumbuhan investasi sebesar 12,3 persen. Padahal, pencapaian tingkat investasi tersebut berpengaruh signifikan pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Penurunan investasi ditenggarai oleh kurang bergairahnya sektor riil. Investor baik asing maupun domestik masih lebih tertarik berinvestasi di sektor keuangan dibanding sektor riil. Salah satu buktinya, dana yang parkir di BI dalam bentuk instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia) semakin bertambah dan diperkirakan akan mencapai Rp 300 triliun. Padahal, jika dana sebesar itu diinvestasikan ke sektor riil, maka tenaga kerja yang terserap tentu sangat besar, serta bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Salah satu konsekuensi turunnya pertumbuhan ekonomi adalah berkurangnya daya serap tenaga kerja. Setiap satu persen pertumbuhan diasumsikan menyerap sekitar 300 ribu-350 ribu tenaga kerja baru. Berarti, capaian pertumbuhan berkisar 6,2 persen hanya bisa menyerap sekitar 2 juta orang dari sekitar 2,1 juta pencari kerja baru. Selebihnya, yakni 100 ribu tenaga kerja baru akan bernasib sama dengan sekitar 10 juta lebih pengangguran saat ini.
Peningkatan angka pengangguran dari tahun ke tahun merupakan pertanda kegagalan kebijakan makro pemerintah. Data BPS menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2001 terdapat sekitar 8 juta jiwa, 2002 (9,3 juta jiwa), 2003 (9,5 juta jiwa), 2004 (10,3 juta jiwa), dan tahun 2006 (10,9 juta jiwa). Jadi, sedikit keliru jika menganggap kebijakan ekonomi pemerintah selama ini berhasil jika ditinjau secara makro, sementara angka pengangguran dan kemiskinan mengalami tren peningkatan.
Memang, berbagai kebijakan untuk mendorong investasi telah dilakukan, termasuk menurunkan BI rate ke tingkat relatif rendah dengan harapan bisa menstimulus peningkatan signifikan kredit investasi. Namun, nampaknya tujuan tersebut masih sulit terjadi. Kenyataan sebaliknya, tingkat tabungan meningkat jauh lebih tinggi dibanding penyaluran kredit, di mana dana pihak ketiga di perbankan saat ini mencapai sekitar Rp 1.400 triliun, sementara penyaluran kredit sekitar Rp 950 triliun. Dana perbankan yang berlebih ini kemudian di parkir di BI dalam bentuk SBI.
Penurunan tingkat investasi juga ditenggarai ekspektasi lesunya perekonomian karena tingginya harga minyak dunia yang masih menyentuh level di atas USD 96 per barel. Perekonomian akan terkena imbas biaya tinggi karena harga energi meningkat, sehingga produksi barang dalam proses industrialisasi nasional berkurang. Ditambah lagi dengan menurunnya tingkat ekspor beberapa produk non-migas karena permintaan beberapa negara tujuan ekspor menurun. Sementara, pertumbuhan sektor-sektor yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja seperti pertanian dan manufaktur ikut melambat. Sektor pertanian diperkiran hanya tumbuh 2-3 persen, sedangkan sektor manufaktur tumbuh 5-7 persen hingga akhir tahun 2007.
Menuru penulis, langkah jangka pendek pemerintah mengantisipasi gejolak harga minyak dengan subsidi, sudah sangat tepat. Ini dimaksudkan agar perekonomian dalam negeri tidak mengalami kelesuan, sehingga kapisitas produksi barang pun terjaga. Kalaupun ada sedikit gejolak, maka masalah itu bisa diatasi dengan efisiensi. Selain itu, penciptaan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang didorong investasi riil juga sangat penting. Saat ini, pertumbuhan masih dominan dorongan konsumsi, sehingga pengaruhnya pada perluasan kesempatan kerja sedikit. Akibatnya, di saat pertumbuhan ekonomi turun sedikit, kesempatan kerja yang tercipta pun tidak mampu menyerap jumlah angkatan kerja. Nampaknya, ini menjadi tugas berat pemerintah.
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen tahun ini nampaknya tidak tercapai. Penurunan pertumbuhan ekonomi disinyalir karena tidak tercapainya target pertumbuhan investasi sebesar 12,3 persen. Padahal, pencapaian tingkat investasi tersebut berpengaruh signifikan pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Penurunan investasi ditenggarai oleh kurang bergairahnya sektor riil. Investor baik asing maupun domestik masih lebih tertarik berinvestasi di sektor keuangan dibanding sektor riil. Salah satu buktinya, dana yang parkir di BI dalam bentuk instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia) semakin bertambah dan diperkirakan akan mencapai Rp 300 triliun. Padahal, jika dana sebesar itu diinvestasikan ke sektor riil, maka tenaga kerja yang terserap tentu sangat besar, serta bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Salah satu konsekuensi turunnya pertumbuhan ekonomi adalah berkurangnya daya serap tenaga kerja. Setiap satu persen pertumbuhan diasumsikan menyerap sekitar 300 ribu-350 ribu tenaga kerja baru. Berarti, capaian pertumbuhan berkisar 6,2 persen hanya bisa menyerap sekitar 2 juta orang dari sekitar 2,1 juta pencari kerja baru. Selebihnya, yakni 100 ribu tenaga kerja baru akan bernasib sama dengan sekitar 10 juta lebih pengangguran saat ini.
Peningkatan angka pengangguran dari tahun ke tahun merupakan pertanda kegagalan kebijakan makro pemerintah. Data BPS menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2001 terdapat sekitar 8 juta jiwa, 2002 (9,3 juta jiwa), 2003 (9,5 juta jiwa), 2004 (10,3 juta jiwa), dan tahun 2006 (10,9 juta jiwa). Jadi, sedikit keliru jika menganggap kebijakan ekonomi pemerintah selama ini berhasil jika ditinjau secara makro, sementara angka pengangguran dan kemiskinan mengalami tren peningkatan.
Memang, berbagai kebijakan untuk mendorong investasi telah dilakukan, termasuk menurunkan BI rate ke tingkat relatif rendah dengan harapan bisa menstimulus peningkatan signifikan kredit investasi. Namun, nampaknya tujuan tersebut masih sulit terjadi. Kenyataan sebaliknya, tingkat tabungan meningkat jauh lebih tinggi dibanding penyaluran kredit, di mana dana pihak ketiga di perbankan saat ini mencapai sekitar Rp 1.400 triliun, sementara penyaluran kredit sekitar Rp 950 triliun. Dana perbankan yang berlebih ini kemudian di parkir di BI dalam bentuk SBI.
Penurunan tingkat investasi juga ditenggarai ekspektasi lesunya perekonomian karena tingginya harga minyak dunia yang masih menyentuh level di atas USD 96 per barel. Perekonomian akan terkena imbas biaya tinggi karena harga energi meningkat, sehingga produksi barang dalam proses industrialisasi nasional berkurang. Ditambah lagi dengan menurunnya tingkat ekspor beberapa produk non-migas karena permintaan beberapa negara tujuan ekspor menurun. Sementara, pertumbuhan sektor-sektor yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja seperti pertanian dan manufaktur ikut melambat. Sektor pertanian diperkiran hanya tumbuh 2-3 persen, sedangkan sektor manufaktur tumbuh 5-7 persen hingga akhir tahun 2007.
Menuru penulis, langkah jangka pendek pemerintah mengantisipasi gejolak harga minyak dengan subsidi, sudah sangat tepat. Ini dimaksudkan agar perekonomian dalam negeri tidak mengalami kelesuan, sehingga kapisitas produksi barang pun terjaga. Kalaupun ada sedikit gejolak, maka masalah itu bisa diatasi dengan efisiensi. Selain itu, penciptaan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang didorong investasi riil juga sangat penting. Saat ini, pertumbuhan masih dominan dorongan konsumsi, sehingga pengaruhnya pada perluasan kesempatan kerja sedikit. Akibatnya, di saat pertumbuhan ekonomi turun sedikit, kesempatan kerja yang tercipta pun tidak mampu menyerap jumlah angkatan kerja. Nampaknya, ini menjadi tugas berat pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar