Pada
prinsipnya, pertumbuhan ekonomi seharusnya memberikan manfaat bagi seluruh pelaku
ekonomi. Meskipun diakui bahwa mustahil mewujudkan pemerataan manfaat ekonomi
secara sempurna, tapi setidaknya pemerintah harus berupaya mendesain
perekonomian agar seluruh pelaku ekonomi memperoleh akses untuk berproduksi dan
berkonsumsi.
Dalam
beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka yang
relatif tinggi. Pada 2011, BPS mencatat angka pertumbuhan mencapai 6,5 persen.
Pencapaian ini lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 6,1
persen. Kita semua patut bersyukur dengan kinerja ekonomi ini. Pasalnya, perekonoiman
kita mampu bertahan di tengah pelemahan ekonomi global yang disebabkan oleh
terjeratnya sejumlah negara Eropa dalam krisis utang dan belum mampunya
perekonomian AS pulih dari krisis yang mendera sejak 2008.
Namun
tugas pemerintah tidak berhenti pada upaya mendorong pertumbuhan ekonomi
setinggi-tingginya. Idealnya, kemajuan ekonomi dinikmati secara adil dan merata
oleh segenap penduduk. Namun bila kita mencermati koefisien gini Indonesia,
sepertinya pemerintah memang masih harus bekerja keras untuk mewujudkan
pembangunan yang merata. Berdasarkan data Susenas BPS, indeks gini pada 2010
sebesar 0,33. Untungnya, angka ini lebih rendah dibanding tahun sebelumnya
dengan indeks gini sebesar 0,36.
Upaya
mewujudkan pemerataan pembangunan memang tidak bisa dilaksanakan seketika.
Namun harus diawali dengan perubahan paradigma berpikir. Dalam literatur
ekonomika pembangunan, terdapat dua sudut pandang menyangkut hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan. Kelompok pertama memandang bahwa
ketimpangan merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan. Namun ketimpangan
tersebut hanya terjadi sementara. Pada mulanya, sebagian besar sumber daya
harus dipusatkan pada kelompok minoritas, yaitu para pemilik kapital, untuk
mengoptimalkan produksi. Kemajuan yang dicapai para pemilik kapital akan merembet
ke pelaku ekonomi lain (trickle down
effects). Pemerintah pernah menerapkan strategi ini, terutama di zaman orde
baru. Perekonomian Indonesia memang tumbuh tinggi, yakni rata-rata 7 persen per
tahun. Akan tetapi, kemajuan ini hanya menciptakan sekelompok kecil penduduk
yang kaya raya, sedangkan sebagian besar lainnya hidup miskin atau hampir
miskin.
Di
sisi lain, kelompok kedua berpendapat bahwa akses yang lebih merata terhadap
sumber daya ekonomi, seperti tanah, kredit, dan pendidikan berhubungan positif
terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi (Lynn, 2002). Jika kita kembali pada
amanat konstitusi, maka pola pikir inilah yang harus dipegang dalam membangun
ekonomi Indonesia. Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi seluruh
penduduk untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kesempatan
ekonomi. Pemerintah harus meninggalkan pola pikir trickle down effect yang terbukti telah gagal karena tidak mampu
mewujudkan kesejateraan yang merata. []
NB; Ditulis pada Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar