04 April, 2012

Pertumbuhan vs Pemerataan


Pada prinsipnya, pertumbuhan ekonomi seharusnya memberikan manfaat bagi seluruh pelaku ekonomi. Meskipun diakui bahwa mustahil mewujudkan pemerataan manfaat ekonomi secara sempurna, tapi setidaknya pemerintah harus berupaya mendesain perekonomian agar seluruh pelaku ekonomi memperoleh akses untuk berproduksi dan berkonsumsi. 

Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka yang relatif tinggi. Pada 2011, BPS mencatat angka pertumbuhan mencapai 6,5 persen. Pencapaian ini lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 6,1 persen. Kita semua patut bersyukur dengan kinerja ekonomi ini. Pasalnya, perekonoiman kita mampu bertahan di tengah pelemahan ekonomi global yang disebabkan oleh terjeratnya sejumlah negara Eropa dalam krisis utang dan belum mampunya perekonomian AS pulih dari krisis yang mendera sejak 2008.

Namun tugas pemerintah tidak berhenti pada upaya mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Idealnya, kemajuan ekonomi dinikmati secara adil dan merata oleh segenap penduduk. Namun bila kita mencermati koefisien gini Indonesia, sepertinya pemerintah memang masih harus bekerja keras untuk mewujudkan pembangunan yang merata. Berdasarkan data Susenas BPS, indeks gini pada 2010 sebesar 0,33. Untungnya, angka ini lebih rendah dibanding tahun sebelumnya dengan indeks gini sebesar 0,36.

Upaya mewujudkan pemerataan pembangunan memang tidak bisa dilaksanakan seketika. Namun harus diawali dengan perubahan paradigma berpikir. Dalam literatur ekonomika pembangunan, terdapat dua sudut pandang menyangkut hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan. Kelompok pertama memandang bahwa ketimpangan merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan. Namun ketimpangan tersebut hanya terjadi sementara. Pada mulanya, sebagian besar sumber daya harus dipusatkan pada kelompok minoritas, yaitu para pemilik kapital, untuk mengoptimalkan produksi. Kemajuan yang dicapai para pemilik kapital akan merembet ke pelaku ekonomi lain (trickle down effects). Pemerintah pernah menerapkan strategi ini, terutama di zaman orde baru. Perekonomian Indonesia memang tumbuh tinggi, yakni rata-rata 7 persen per tahun. Akan tetapi, kemajuan ini hanya menciptakan sekelompok kecil penduduk yang kaya raya, sedangkan sebagian besar lainnya hidup miskin atau hampir miskin.

Di sisi lain, kelompok kedua berpendapat bahwa akses yang lebih merata terhadap sumber daya ekonomi, seperti tanah, kredit, dan pendidikan berhubungan positif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi (Lynn, 2002). Jika kita kembali pada amanat konstitusi, maka pola pikir inilah yang harus dipegang dalam membangun ekonomi Indonesia. Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi seluruh penduduk untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Pemerintah harus meninggalkan pola pikir trickle down effect yang terbukti telah gagal karena tidak mampu mewujudkan kesejateraan yang merata. []  

 NB; Ditulis pada Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar