04 April, 2012

Ekonomi Menggeliat di Kota Makassar

Di awal tahun 2012, selama sekitar satu bulan saya menetap di Makassar. Setelah sekian lama tidak bersua dengan kota ini, karena harus merantau ke kota lain untuk menuntut ilmu, akhirnya bisa kembali. Memang rencana awal akan menetap untuk waktu yang lama, tapi karena satu dan lain hal, akhirnya saya harus hijrah kembali ke kota lain. 

Selama satu bulan tersebut, saya mengamati salah satu aspek kehidupan masyarakat kota Makassar. Dibandingkan dengan lima tahun lalu, sebelum saya hijrah, keadaan kota ini sudah jauh berbeda. Salah satu yang berbeda dan sangat mengesankan bagi saya adalah perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Bahkan, kemajuan ini bisa dilihat secara kasat mata, tanpa harus membuka data statistik. Kita dapat melihat banyaknya gedung-gedung yang tinggi yang sedang atau telah dibangun, serta kendaraan roda empat dan roda dua yang memadati jalan-jalan raya. Dua hal ini bisa dijadikan indikasi awal makin majunya ekonomi di suatu wilayah.

Pengamatan secara kasat mata ini memang selaras dengan data statistik. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Makassar antara 2007 sampai 2009 berturut-turut 8,1 persen, 10,5 persen, dan 9,2 persen. Berdasarkan harga berlaku, PDRB Makassar di tahun yang sama berturut-turut Rp 20, 8 triliun, Rp 26, 1 triliun, dan Rp 31,3 triliun. Sementara itu, pendapatan per kapita berdasarkan harga berlaku pada tahun yang sama berturut-turut Rp 16,87 juta, Rp 20,79 juta, Rp 24,58 juta. Namun bila harga konstan yang jadi patokan, pendapatan per kapita pada tahun tersebut berturut-turut Rp 9,92 juta, Rp 10,8 juta, dan Rp 11,63 juta. Dengan melihat data ini, tingkat kesejahteraan di Makassar melampaui kota-kota lain di Sulawesi Selatan. Bandingkan dengan Parepare, dimana pada tahun yang sama, hanya mencapai pendapatan per kapita berdasarkan harga konstan berturut-turut Rp 5,4 juta, Rp 5,6 juta, dan Rp 5,88 juta. Padahal, Parepare juga tergolong sebagai kota yang maju di Sulawesi Selatan.

Kemajuan ekonomi juga semestinya berimplikasi pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. Konsep pembangunan yang umum diterima saat ini adalah pembangunan yang dapat memperluas pilihan. Dengan kata lain, salah satu indikator kesejahteraan adalah ketika manusia mampu menetapkan pilihan. Kesejahteraan berbanding lurus dengan kemampuan memilih. Misalnya, orang yang sejahtera dapat memilih dalam penggunaan kendaraan, seperti sepeda, motor, mobil, dll. Orang yang tidak sejahtera, bisa jadi hanya mampu menggunakan sepeda, tapi tidak mampu menggunakan motor atau mobil.

Memang sulit untuk mengukur indikator kesejahteraan seperti yang dikemukan tersebut. Akan tetapi, sejumlah ekonom yang dimotori oleh Amartya Sen telah mengembangkan pengukuran kesejahteraan yang lebih komprehensif, yang saat ini dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini mengukur pencapaian pembangunan dengan menggunakan tiga dimensi, yakni pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Yang baru dari konsep ini adalah dimasukkannya pendidikan dan kesehatan sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin terjadinya perbaikan yang signifikan di bidang pendidikan dan kesehatan. Pengukuran ini juga mengakui betapa pentingnya manusia dalam pembangunan. Manusia yang sehat dan terdidik seharusnya dijadikan sebagai salah satu sasaran pembangunan. Pun, dengan kualitas manusia yang demikian, akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi.  

Lantas, seperti apa kondisi IPM di Makassar? Selama tahun 2006-2009, boleh saja pemerintah Makassar berbangga karena IPM meningkat dengan nilai berturut-turut 76.87, 77.33, 77.92, dan 78.24. Peningkatan ini patut diapresiasi sebab menandakan adanya perbaikan kualitas manusia di Makassar.  Barangkali perbaikan ini disebabkan oleh program-program pelayanan kesehatan dan pendidikan yang menjangkau masyarakat. Selama saya di Makassar, yang cukup intens saya baca di media adalah political action dari Walikota Makassar untuk menggalakkan budaya membaca untuk warga Makassar. Pemerintah memfasilitas perpustakaan di kampung-kampung, dan secara aktif berkampanye untuk menumbuhkan budaya membaca. Yah, memang ini hanya salah satu upaya dari pemerintah Makassar yang bisa berdampak pada perbaikan pada salah satu komponen IPM, yakni angka melek huruf. Tentu ada upaya-upaya lain yang telah atau sedang dilakukan guna meningkatkan kualitas manusia warga Makassar.

Makassar Tak Luput dari Banjir dan Macet
Sebagaimana kota yang ekonominya sedang menggeliat, Makassar tidak luput dari persoalan. Bahkan, persoalan ini makin bertambah dari waktu ke waktu bila tidak segera diantisipasi oleh pemerintah. Di awal tahun 2012 ini, intensitas hujan meningkat di kota ini. Sejumlah wilayah perkampungan masyarakat terkena banjir. Untungnya, banjir belum menggenangi jalan-jalan utama. Drainase yang buruk merupakan salah satu penyebab banjir. Ditambah lagi dengan kurangnya daerah resapan. Daerah resapan makin berkurang karena digunakan untuk pembangunan gedung-gedung perkantoran dan perbelanjaan, serta pemukiman.

Sementara itu, kemacetan di jalan-jalan utama makin sering terjadi, terutama pada pagi dan sore hari. Jumlah kendaraan roda empat dan roda dua makin bertambah, sementara perluasan jalan cenderung konstan. Akibatnya, kemacetan tidak bisa dihindarkan. Kemacetan ini terutama sering saya amati di Jl. A.P Pettarani dan Jl. Bawakaraeng. Jika pemerintah serius ingin mengantisipasi kemacetan, maka salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah menyediakan moda transportasi publik yang nyaman dan murah. Harapannya, warga Makassar akan berpindah ke transportasi publik, sehingga jumlah kendaraan pribadi yang diutilisasi semakin berkurang. Hasilnya, kemacetan pun dapat diatasi. 

Dua persoalan ini harus menjadi perhatian serius pemerintah seiring dengan menggeliatnya ekonomi di kota ini. Hal ini juga sejalan dengan visi untuk menjadikan Makassar sebagai kota dunia. Visi pemerintah ini tentu bukan angan-angan kosong. Makassar punya potensi untuk itu. Akan tetapi, tidak cukup hanya memiliki visi, tapi juga harus dibarengi dengan rencana strategis dan konkrit. Kalau pemerintah salah strategi, bisa jadi Makassar akan bernasib sama dengan Jakarta. Memang di satu sisi ekonomi tumbuh mengesankan, tapi di sisi lain muncul persoalan, seperti banjir, kemacetan, serta masalah sosial lain. Karena itu, persoalan tersebut harus diantisipasi oleh pemerintah sejak dini. Tata kota harus dirancang sedemikian rupa agar pembangunan gedung dan pemukiman tidak menggangu keseimbangan lingkungan. Begitupun dengan aspek transportasi, dimana ketersediaan transportasi publik yang nyaman dan murah harus dipikirkan dari sekarang agar jalan-jalan tidak dominan dipadati oleh kendaraan pribadi. []

NB:
Tulisan terinspirasi dari diskusi dengan seorang sahabat, Nurul Hiqmah (Mahasiswi Fakultas Teknik Unhas)

1 komentar: