04 April, 2012

Inflasi dan Kenaikan Harga Premium


Pemerintah hampir pasti akan menaikkan harga premium terhitung mulai 1 April mendatang. Kenaikan harga direncanakan sebesar Rp 1.500 per liter, yaitu dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp. 6.000 per liter. Namun rencana ini ditolak oleh sebagian elemen masyakarat, dengan alasan akan memberatkan rakyat kecil. 

Di berbagai wilayah, mahasiswa menuntut agar harga premium tidak dinaikkan. Bahkan aksi mahasiswa tersebut berujung pada tindakan anarkis, seperti halnya yang terjadi di Makassar pada Rabu (21/12) yang lalu. Ironisnya, aksi “heroik” mahasiswa yang notabene bermaksud untuk membela kepentingan rakyat ini, diwarnai dengan kemarahan rakyat yang merasa terganggu. Tentu yang salah bukan substansi dari demonstrasi, tapi cara mereka menyampaikan substansi tersebut. Substansinya adalah kenaikan harga premium akan berdampak negatif terhadap rakyat kecil, sehingga pemerintah sebaiknya tidak menempuh kebijakan tersebut. 

Pasalanya, dengan kenaikan harga premium, sejumlah barang juga akan mengalami kenaikan harga. Bahkan, beberapa barang kebutuhan pokok sudah dinaikkan, meski harga premium belum naik. Di Banda Aceh misalnya, harga beras naik dari Rp 125.000 per kantong menjadi Rp. 135.000 per kantong. Naiknya biaya pengangkutan diakui pedagang sebagai penyebab naiknya harga beras yang mereka terima (Kompas.com, 15/2). Dengan naiknya harga barang kebutuhan pokok, kalangan yang paling menderita tentunya adalah rakyat kecil. Jika pendapatan nominal mereka cenderung konstan, maka pendapatan riil akan menurun seiring dengan kenaikan harga barang. Akibatnya, rakyat miskin makin sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Minimalisir Kenaikan Harga
Pada tahun 2005, saat pemerintah menaikkan harga premium per liter dari Rp 1.180 ke Rp 2.400 (Maret) dan Rp 2.400 ke Rp 4.500 (Oktober), inflasi menembus angka 17,75 persen pada tahun berikutnya. Dampak lainnya, angka kemiskinan naik dari 31,1 juta jiwa (2005) menjadi 39,3 juta jiwa (2006). Pertumbuhan industri manufaktur juga mengalami penurunan, dimana pada 2004 tumbuh 7,2 persen, sedangkan pada 2007 hanya tumbuh sebesar 5,1 persen. Statistik ini menunjukkan dampak negatif yang dimunculkan oleh kenaikan harga premium pada 2005.

Kenaikan harga premium pada April nanti memang jauh lebih rendah dibanding tahun 2005. Harga premium hanya naik sebesar 33,3 persen, berbeda dengan tahun 2005 yang mencapai 120 persen. Tambahan dampak negatif kenaikan harga premium pada 2005 kemungkinan lebih tinggi dibanding kenaikan tahun ini. Namun, karena harga premium sebelum naik tahun ini sama dengan harga premium setelah naik pada 2005, maka pastinya beban yang diterima rakyat kecil semakin tinggi.

Terlepas dari pro dan kontra rencana kenaikan harga premium, pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk meminimalisir kenaikan harga barang-barang bila rencana ini diterapkan. Secara umum, kenaikan harga barang-barang akan terjadi sedikitnya dua kali, baik sebelum maupun setelah harga premium dinaikkan. Dalam kajian Kementerian Keuangan, kontribusi inflasi yang diakibatkan oleh naiknya harga premium sebesar 2,49 persen. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh harga premium terhadap harga barang-barang lain. Dan akhirnya, harga premium akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan rakyat.  

Di negara manapun, pemerintah berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan dapat dicapai melalui dua cara, yakni menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan merata, serta menciptakan stabilitas harga di level yang rendah. Jika stabilitas harga dapat dijaga, dengan asumsi pendapatan tetap, tingkat kesejahteraan tidak akan menurun. Namun menjaga agar harga barang-barang stabil, terutama kebutuhan pokok, bukanlah pekerjaan yang mudah. Pun, dalam keadaan tertentu, kenaikan harga dibutuhkan untuk menstimulus produsen dalam berproduksi.

Namun kenaikan harga barang yang diakibatkan oleh kenaikan harga premium tentu tidak masuk kategori menstimulus produsen untuk berproduksi. Bahkan, justru kenaikan harga barang ini, selain memberatkan konsumen, juga berimbas negatif pada produsen. Pasalnya, harga premium yang mempengaruhi harga barang, beban tidak semuanya ditransfer ke konsumen, tapi juga diterima oleh produsen. Hal ini terutama terjadi jika barang tersebut dapat disubtitusi dengan barang lain. Jadi, pastinya terjadi kenaikan biaya dan pendapatan, tapi karena kenaikan biaya lebih tinggi dibanding pendapatan, maka keuntungan produsen akan berkurang.

Oleh karena itu, pekerjaan berat pemerintah pasca naiknya harga premium adalah meminimalisir kenaikan harga barang lain, terutama barang kebutuhan pokok. Memang kenaikan harga barang lain tidak bisa dihindarkan, tapi harus diupayakan agar kenaikan tersebut tidak berlebihan. Inflasi yang diperkiran mencapai 7 persen jika harga premium naik, masih cukup wajar. Namun sangat mungkin akan di atas 7 persen jika pemerintah tidak melakukan tindakan apapun untuk mencapai target tersebut. Pasalnya, sangat mungkin harga-harga dinaikkan melampaui batas kewajaran. Hal ini terutama terjadi jika karakteristik barang bersifat inelastik, dimana konsumen tidak punya pilihan barang lain selain barang tersebut.  

Pemerintah tentu paham mengenai dampak lanjutan dari kenaikan harga premium terhadap harga barang-barang lain. Dalam suatu kesempatan, wakil presiden Boediono memerintahkan kepada pemerintah daerah (gubernur, bupati, dan walikota) untuk mengendalikan inflasi di masing-masing daerahnya. Upaya pengendalian inflasi ini memang harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Untuk meminimalisir kenaikan harga, pemerintah harus mengupayakan kelancaran distribusi barang, menghilangkan pungutan-pungutan liar di jalan, menentukan besarnya kenaikan tarif angkutan yang tepat, serta memberikan insentif kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah agar mereka tetap berproduksi. Bila aktivitas produksi tetap berjalan, kelangkaan barang tidak akan terjadi, sehingga harga-harga pun dapat terkontrol. [] 

NB; Ditulis sebelum 1 April 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar