Pemerintah
hampir pasti akan menaikkan harga premium terhitung mulai 1 April mendatang.
Kenaikan harga direncanakan sebesar Rp 1.500 per liter, yaitu dari Rp 4.500 per
liter menjadi Rp. 6.000 per liter. Namun rencana ini ditolak oleh sebagian
elemen masyakarat, dengan alasan akan memberatkan rakyat kecil.
Di
berbagai wilayah, mahasiswa menuntut agar harga premium tidak dinaikkan. Bahkan
aksi mahasiswa tersebut berujung pada tindakan anarkis, seperti halnya yang
terjadi di Makassar pada Rabu (21/12) yang lalu. Ironisnya, aksi “heroik”
mahasiswa yang notabene bermaksud untuk membela kepentingan rakyat ini,
diwarnai dengan kemarahan rakyat yang merasa terganggu. Tentu yang salah bukan
substansi dari demonstrasi, tapi cara mereka menyampaikan substansi tersebut.
Substansinya adalah kenaikan harga premium akan berdampak negatif terhadap
rakyat kecil, sehingga pemerintah sebaiknya tidak menempuh kebijakan
tersebut.
Pasalanya,
dengan kenaikan harga premium, sejumlah barang juga akan mengalami kenaikan harga.
Bahkan, beberapa barang kebutuhan pokok sudah dinaikkan, meski harga premium
belum naik. Di Banda Aceh misalnya, harga beras naik dari Rp 125.000 per
kantong menjadi Rp. 135.000 per kantong. Naiknya biaya pengangkutan diakui
pedagang sebagai penyebab naiknya harga beras yang mereka terima (Kompas.com,
15/2). Dengan naiknya harga barang kebutuhan pokok, kalangan yang paling
menderita tentunya adalah rakyat kecil. Jika pendapatan nominal mereka
cenderung konstan, maka pendapatan riil akan menurun seiring dengan kenaikan
harga barang. Akibatnya, rakyat miskin makin sulit memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Minimalisir Kenaikan Harga
Pada
tahun 2005, saat pemerintah menaikkan harga premium per liter dari Rp 1.180 ke
Rp 2.400 (Maret) dan Rp 2.400 ke Rp 4.500 (Oktober), inflasi menembus angka 17,75
persen pada tahun berikutnya. Dampak lainnya, angka kemiskinan naik dari 31,1
juta jiwa (2005) menjadi 39,3 juta jiwa (2006). Pertumbuhan industri manufaktur
juga mengalami penurunan, dimana pada 2004 tumbuh 7,2 persen, sedangkan pada
2007 hanya tumbuh sebesar 5,1 persen. Statistik ini menunjukkan dampak negatif
yang dimunculkan oleh kenaikan harga premium pada 2005.
Kenaikan
harga premium pada April nanti memang jauh lebih rendah dibanding tahun 2005.
Harga premium hanya naik sebesar 33,3 persen, berbeda dengan tahun 2005 yang
mencapai 120 persen. Tambahan dampak negatif kenaikan harga premium pada 2005
kemungkinan lebih tinggi dibanding kenaikan tahun ini. Namun, karena harga
premium sebelum naik tahun ini sama dengan harga premium setelah naik pada
2005, maka pastinya beban yang diterima rakyat kecil semakin tinggi.
Terlepas
dari pro dan kontra rencana kenaikan harga premium, pemerintah perlu menyiapkan
strategi untuk meminimalisir kenaikan harga barang-barang bila rencana ini
diterapkan. Secara umum, kenaikan harga barang-barang akan terjadi sedikitnya
dua kali, baik sebelum maupun setelah harga premium dinaikkan. Dalam kajian
Kementerian Keuangan, kontribusi inflasi yang diakibatkan oleh naiknya harga
premium sebesar 2,49 persen. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh harga
premium terhadap harga barang-barang lain. Dan akhirnya, harga premium akan
berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan rakyat.
Di
negara manapun, pemerintah berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan dapat dicapai melalui dua cara, yakni menciptakan pertumbuhan
yang tinggi dan merata, serta menciptakan stabilitas harga di level yang rendah.
Jika stabilitas harga dapat dijaga, dengan asumsi pendapatan tetap, tingkat
kesejahteraan tidak akan menurun. Namun menjaga agar harga barang-barang
stabil, terutama kebutuhan pokok, bukanlah pekerjaan yang mudah. Pun, dalam
keadaan tertentu, kenaikan harga dibutuhkan untuk menstimulus produsen dalam
berproduksi.
Namun
kenaikan harga barang yang diakibatkan oleh kenaikan harga premium tentu tidak
masuk kategori menstimulus produsen untuk berproduksi. Bahkan, justru kenaikan
harga barang ini, selain memberatkan konsumen, juga berimbas negatif pada
produsen. Pasalnya, harga premium yang mempengaruhi harga barang, beban tidak
semuanya ditransfer ke konsumen, tapi juga diterima oleh produsen. Hal ini
terutama terjadi jika barang tersebut dapat disubtitusi dengan barang lain.
Jadi, pastinya terjadi kenaikan biaya dan pendapatan, tapi karena kenaikan
biaya lebih tinggi dibanding pendapatan, maka keuntungan produsen akan
berkurang.
Oleh
karena itu, pekerjaan berat pemerintah pasca naiknya harga premium adalah
meminimalisir kenaikan harga barang lain, terutama barang kebutuhan pokok.
Memang kenaikan harga barang lain tidak bisa dihindarkan, tapi harus diupayakan
agar kenaikan tersebut tidak berlebihan. Inflasi yang diperkiran mencapai 7
persen jika harga premium naik, masih cukup wajar. Namun sangat mungkin akan di
atas 7 persen jika pemerintah tidak melakukan tindakan apapun untuk mencapai
target tersebut. Pasalnya, sangat mungkin harga-harga dinaikkan melampaui batas
kewajaran. Hal ini terutama terjadi jika karakteristik barang bersifat
inelastik, dimana konsumen tidak punya pilihan barang lain selain barang
tersebut.
Pemerintah
tentu paham mengenai dampak lanjutan dari kenaikan harga premium terhadap harga
barang-barang lain. Dalam suatu kesempatan, wakil presiden Boediono
memerintahkan kepada pemerintah daerah (gubernur, bupati, dan walikota) untuk
mengendalikan inflasi di masing-masing daerahnya. Upaya pengendalian inflasi
ini memang harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Untuk meminimalisir kenaikan
harga, pemerintah harus mengupayakan kelancaran distribusi barang,
menghilangkan pungutan-pungutan liar di jalan, menentukan besarnya kenaikan
tarif angkutan yang tepat, serta memberikan insentif kepada pelaku usaha mikro,
kecil, dan menengah agar mereka tetap berproduksi. Bila aktivitas produksi
tetap berjalan, kelangkaan barang tidak akan terjadi, sehingga harga-harga pun
dapat terkontrol. []
NB; Ditulis sebelum 1 April
Tidak ada komentar:
Posting Komentar