Dalam
rilis BPS pada 6 Februari 2012, tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
2011 mencapai 6,5 persen. Pencapaian ini patut diapresiasi di saat dunia sedang
terancam oleh krisis ekonomi karena krisis utang yang dialami oleh sejumlah
negara Eropa dan perekonomian AS yang belum sepenuhnya pulih. Meski dinilai
berhasil, terdapat sejumlah catatan kritis yang dapat dijadikan sebagai
evaluasi untuk perbaikan di tahun mendatang.
Pada
2010, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6,1 persen. Ini berarti pencapaian
pada 2011 lebih tinggi 0,4 poin dibanding 2010. PDB nominal tercatat sebesar Rp
7.427,1 triliun dan PDB riil sebesar Rp 2.463,2 triliun. Adapun pada 2010, PDB
nominal sebesar Rp 6.422, 2 triliun dan PDB riil sebesar Rp 2.310,7 triliun. Dengan
PDB yang semakin besar, Indonesia telah masuk ke dalam kelompok 20 negara
dengan volume ekonomi terbesar di dunia.
Dengan
pertumbuhan yang relatif tinggi dan stabil, dampaknya dapat dirasakan oleh
masyarakat. Secara statistik, mengacu pada data BPS, angka kemiskinan dan
pengangguran mengalami penurunan. Pada September 2011, jumlah penduduk miskin
mencapai 29,89 juta jiwa (12,36 persen), turun 0,13 juta jiwa (0,13 persen)
dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang berjumlah 30,02 juta
jiwa (12,49 persen). Tingkat pengangguran terbuka juga mengalami penurunan dari
7,14 persen pada Agustus 2010 menjadi 6,56 persen pada Agustus 2011.
Namun
menurut penulis, pencapaian ini tidak luput dari tiga catatan kritis. Pertama, ketimpangan ekonomi antara Jawa
dengan luar Jawa masih tinggi. Kontribusi Jawa terhadap PDB 2011 mencapai 57,6
persen. Angka ini hanya turun sedikit dari tahun sebelumnya, yakni 58,6 (2009)
dan 58,1 (2010). Bandingkan dengan kontribusi wilayah lain pada 2011, seperti
Sulawesi (4,6 persen), Kalimantan (9,6 persen), Bali dan Nusa Tenggara (2,6
persen), Maluku dan Papua (2,1 persen). Wilayah di luar Jawa yang memiliki
kontribusi cukup tinggi hanya berasal dari Sumatra (23,5 persen). Data ini
menunjukkan belum terjadinya distribusi pembangunan yang signifikan selama
kurun waktu 3 tahun terakhir.
Kedua,
ditinjau dari sisi produksi, yang dominan berkontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi bersumber dari sektor yang non-tradable.
Dari angka pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen, sektor perdagangan,
hotel, dan restoran berkontribusi sebesar 1,6 poin, sektor pengangkutan dan
komunikasi sebesar 1 poin, sektor keuangan, real estat, dan jasa perusahaan
sebesar 0,7 poin. Sedangkan dari sektor tradable,
seperti sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan hanya menyumbang
0,4 poin. Untungya, sektor industri pengolahan masih berkontribusi tinggi,
yakni 1,6 poin.
Ketiga,
ditinjau dari sisi penggunaan, PDB bersumber dari sektor konsumsi rumah tangga
(54,6 persen), pembentukan modal tetap bruto (32 persen), pengeluaran
pemerintah (9 persen), dan ekspor neto (1,4 persen). Selain itu, juga terdapat
perubahan inventori dan diskrepansi statistik masing-masing sebesar 0,7 persen
dan 2,3 persen. Data di atas menunjukkan betapa dominannya kontribusi sektor
konsumsi terhadap PDB. Di sisi lain, kontribusi pengeluaran pemerintah masih
relatif rendah. Bahkan, kontribusi ini tidak mengalami perubahan dibanding
tahun sebelumnya. Belanja pemerintah pada APBN-P 2011 sebesar Rp 1.320,8
triliun, naik dari Rp 1.126,1 triliun pada APBN-P 2010, ternyata belum mampu
meningkatkan peran belanja pemerintah terhadap pembentukan PDB. Dari angka
pertumbuhan ekonomi 6,5 persen, belanja pemerintah hanya menyumbang 0,3 poin. Sumbangan
ini sangat kecil dibanding sumbangan sektor konsumsi (2,7) dan PMTB (2,1).
Melihat rendahnya peran pemerintah, tidak berlebihan bila muncul pendapat bahwa
sebenarnya perekonomian bisa tumbuh seperti saat ini dengan keterlibatan atau
tanpa keterlibatan pemerintah.
Tiga
catatan kritis mengenai pertumbuhan ekonomi 2011 ini, mesti menjadi perhatian
serius pemerintah pada tahun ini. Memang sudah menjadi kewajiban pemerintah
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan
ekonomi, yang berarti perluasan kegiatan ekonomi, merupakan satu-satunya cara
untuk meningkatkan penghasilan anggota masyarakat dan membuka kesempatan kerja
baru (Boediono, 2009). Namun harus disadari bahwa mendorong pertumbuhan ekonomi
tidak selalu menjamin kelompok penduduk miskin memperoleh manfaat (Lynn, 2002).
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak otomatis menciptakan
kesejahteraan yang adil dan merata. Pemerintah bertugas mendesain perekonomian
yang memberikan akses kepada seluruh penduduk untuk melakukan aktivitas
ekonomi.
Catatan-catatan
yang dikemukakan di atas menunjukkan adanya ketimpangan antar wilayah dan
ketimpangan antar struktur perekonomian. Ketimpangan ini menunjukkan tidak
meratanya manfaat yang diterima pelaku ekonomi. Penduduk di Jawa memperoleh
manfaat lebih banyak dibanding di luar Jawa. Juga, pekerja di sektor non-tradable mengalami peningkatan
pendapatan yang lebih tinggi dibanding pekerja di sektor tradable. Perlu dipahami bahwa ketimpangan ini akan terus membesar
jika distribusi pendapatan diserahkan kepada mekanisme pasar.
Pemerintah
harus melakukan intervensi dengan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki
untuk mewujudkan pemerataan ekonomi. Menurut penulis, pemerintah memiliki dua
instrumen untuk mewujudkan pembangunan yang lebih merata, yaitu regulasi dan
APBN. Regulasi, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi,
perdagangan, dan industri harus berpihak pada rakyat secara umum. Misal, petani
akan giat berproduksi bila diberikan insentif harga; aktivitas produksi pelaku
usaha mikro dan kecil akan meningkat bila diberikan akses kredit yang mudah dan
murah oleh pemerintah atau perbankan. Sementara itu, APBN seharusnya dapat
menciptakan pemerataan. Persoalan utama pembangunan di luar Jawa adalah
rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur. Untuk mengejar ketertinggalan
pembangunan, pemerintah harus mengalokasikan belanja infrastruktur di wilayah
tertinggal di luar Jawa.[]
NB; Ditulis pada Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar