Pada era desentralisasi,
pemerintah daerah memiliki tugas yang lebih besar untuk memacu perekonomian di
daerahnya. Selain itu, pemerintah daerah juga memperoleh sumber daya finansial
yang lebih besar dari pusat dan hak yang lebih luas untuk menggali pendapatan
di daerah masing-masing. Sumber daya ini digunakan untuk mewujudkan
kesejehateraan rakyat.
Dalam literatur ekonomika publik,
pemerintah menjalankan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Eksternalitas dan kepekaan preferensi merupakan dua kriteria yang menentukan
level pemerintahan yang menjalankan fungsi tersebut. Dengan menggunakan
kriteria ini, pendekatan Musgravian menyimpulkan bahwa fungsi stabilisasi
disentralisasikan, sedangkan fungsi alokasi dan distribusi didesentralisasikan
(Parhah, 2004).
Di Indonesia, fungsi alokasi
sudah didesentralisasikan. Rata-rata sekitar 30 persen belanja APBN tiap
tahunnya ditransfer ke daerah. Wajar jika setiap pemerintah daerah, baik level
provinsi maupun kabupaten/kota, mengalami peningkatan yang signifikan pada pos
pendapatan mereka. Di lain sisi, belanja pemerintah daerah juga meningkat tajam
seiring dengan bertambahnya tugas-tugas yang diemban.
Sayangnya, banyak kalangan
menilai pemerintah daerah belum optimal dalam pengelolaan keuangan daerah. Bahkan,
sejumlah kabupaten/kota di Aceh hampir mengalami kebangkrutan. Persoalan ini
disebabkan oleh terlalu gemuknya birokrasi, mismanajemen, dan tekanan politik
lokal. Pemerintah daerah tidak mampu mengelola belanja daerah, mulai dari tahap
perencanaan, penyusunan hingga pelaksanaan, dengan efektif dan efisien. Di sisi
lain, pemerintah daerah juga tidak mampu mencapai target PAD (Pendapatan Asli
Daerah) untuk mendanai belanjanya.
Buruknya pengelolaan keuangan akan
berimbas pada rendahnya kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang
disediakan. Pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan di sektor
publik, yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah, dalam bentuk penyediaan
barang dan atau jasa sesuai kebutuhan masyarakat berdasarkan aturan-aturan
hukum yang berlaku (Larasati, 2008). Jika pelayanan publik belum optimal,
kesejahteraan rakyat akan sulit terwujud. Misal, jika pemerintah gagal
menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau,
hak rakyat untuk hidup sehat dan terpelajar tidak akan pernah diperoleh.
Akibatnya, kesejahteraan semakin sulit dicapai.
Oleh karena itu, kunci pelayanan
publik yang baik bersumber pada pengelolaan keuangan daerah yang baik pula. Di
Sulsel sendiri, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masih memiliki pekerjaan
yang belum selesai. Menurut Ekonom Senior Bank Dunia, Gregorius DV
Pattinasarany, Pemprov dan Pemkab/Pemkot se-Sulsel masih perlu memacu seluruh
potensi yang dimiliki dengan pola penggunaan belanja yang efektif dan efisien.
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas perencanaan dan
penganggaran sehingga alokasi belanja publik untuk mencapai target pembangunan
menjadi optimal (FAJAR, 2/2).
Perencanaan dan Penganggaran Berdasarkan Data
Untuk melakukan perencanaan dan
penganggaran yang bermutu, dibutuhkan kapasitas yang mumpuni dari aparat daerah
yang berkecimpung di bidang tersebut. Hanya saja, saat ini masih dipertanyakan
mengenai kapasitas aparat daerah dalam melakukan perencanaan dan penganggaran seiring
dengan berlangsungnya desentralisasi. Padahal, menurut Lindaman dan Thurmaier
(2002), positif atau negatifnya dampak desentralisasi sangat tergantung pada
kemampuan pemerintah daerah dalam memanfaatkan kewenangan dan kapasitas
anggarannya.
Kegiatan perencanaan dan
penganggaran yang bermutu tidak hanya mensyaratkan kapasitas pemerintah, tapi
juga ketersediaan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 31 UU
No. 24 Tahun 2004 menekankan bahwa perencanaan pembangunan harus didasarkan
pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dan
informasi itu di antaranya adalah: penyelenggaraan pemerintah daerah;
organisasi dan tata laksana pemerintah daerah; keuangan daerah; potensi sumber
daya daerah; produk hukum daerah; kependudukan; informasi dasar kewilayahan;
dan informasi lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintah dareah.
Namun perencanaan dan
penganggaran di daerah seringkali tidak dilandasi oleh informasi yang lengkap
dan terpercaya. Memang, minimnya ketersediaan data merupakan salah satu
persoalan dalam perencanaan dan penganggaran di negara berkembang (Orbeta,
2006). Sementara itu, Carino, Corpuz, dan Manasan (2004) menyatakan bahwa minimnya
data ekonomi dan data lain yang relevan di level provinsi dan kabupaten/kota
merupakan hambatan utama dalam perencanaan dan penganggaran daerah yang
efektif. Studi ini merekomendasikan pentingnya memperkuat data untuk digunakan
dalam perencanaan dan penganggaran.
Kegiatan perencanaan yang dibarengi
dengan penganggaran memang mensyaratkan tersedianya data yang lengkap dan
terpercaya. Dengan data, pemerintah dapat melakukan penentuan prioritas belanja
dengan tepat. Besarnya anggaran yang dialokasikan harus berdasarkan kebutuhan,
bukan berdasarkan penilaian subjektif pemerintah. Misal, bila pemerintah ingin
menentukan besarnya peningkatan belanja kesehatan, terlebih dahulu harus
dihitung besarnya kebutuhan yang sesungguhnya.
Jadi, kualitas perencanaan dan
penganggaran dapat ditingkatkan melalui dua hal, yakni dengan meningkatkan
kapasitas pemerintah daerah yang berkecimpung di bidang perencanaan dan
penganggaran, serta dengan memperkuat basis data yang lengkap dan terpercaya.
Jika dua hal ini dipenuhi, belanja publik akan teralokasi dengan efektif dan
efisien, sehingga berimbas pada terwujudnya kesejahteraan rakyat. []
NB; Ditulis pada Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar