04 April, 2012

Kenaikan Harga Premium dan Keberpihakan Pemerintah


Seperti telah diduga sebelumnya, rencana pemerintah untuk menaikkan harga premium disambut “hangat” oleh sejumlah elemen masyarakat dengan berdemonstrasi sebagai bentuk penolakan. Aksi penolakan tersebut terutama berasal dari elemen mahasiswa yang mengaku sebagai pembela kepentingan rakyat kecil. Elemen mahasiswa berpendapat bahwa naiknya harga premium akan menambah penderitaan rakyat, terutama rakyat miskin yang jumlahnya mencapai 29,89 juta pada September 2011 (BPS). Mereka adalah warga Indonesia yang rata-rata pengeluarannya per bulan di bawah Rp. 253.016 (tinggal di kota) dan Rp 213.395 (tinggal di desa).

Meski diwarnai penolakan, tampaknya pemerintah tidak akan mundur dari rencana awal untuk menaikkan harga premium dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000 per liter atau mengalami kenaikan Rp. 1.500 per liter pada 1 April mendatang. Pemerintah mengemukakan lima alasan di balik rencana menaikkan harga premium. Dalam buku tipis berjudul “Subsidi BBM buat (si) Apa?, pemerintah menjelaskan lima alasan dinaikkannya harga premium bersubsidi. Pertama, lebih berpihak pada rakyat kecil. Selama ini, subsidi lebih dinikmati oleh kalangan menenangah ke atas ketimbang kalangan menengah ke bawah. Data BPS menunjukkan bahwa rata-rata orang berpunya menikmati subsidi premium 10 kali lipat lebih besar dibanding orang tak berpunya. Kedua, lebih hemat dan ramah lingkungan. Jika harga premium makin murah, jumlah premium yang diminta pun makin banyak. Sebaliknya, jika harga dinaikkan, premium yang diminta akan berkurang. Ini akan mendorong konsumen untuk lebih berhemat dan melakukan konversi ke sumber energi lain yang lebih murah dan ramah lingkungan  Ketiga, lebih bermanfaat. Ketimbang APBN disedot untuk subsidi premium, jauh lebih bermanfaat bila dialokasikan untuk membangun infrastruktur dan memperbaiki pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Keempat, mencegah penyelundupan. Disparitas harga premium antara di dalam dengan di luar negeri mendorong terjadinya penyelundupan ke luar negeri. Jika harga premium domestik sama dengan negara tetangga, tidak akan ada lagi ekspor premium ilegal. Kelima, lebih awet. Jika subsidi BBM bisa dikurangi tahun ini, niscaya APBN tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya tidak lagi terbebani.

Pemerintah mengemukan lima alasan di atas untuk membenarkan kebijakan pencabutan subsidi premium. Salah satu poin yang menarik dicermati adalah keberpihakan pada rakyat kecil bila subsidi dicabut. Sudut pandang ini sangat berkebalikan dengan argumen-argumen yang dilontarkan oleh kubu yang menolak pencabutan subsidi. Lantas, kebijakan mana yang sebenarnya berpihak pada rakyat kecil? Apakah dengan menggelontorkan subsidi BBM yang jumlahnya diperkirakan mencapai Rp 207,37 triliun dan mengakibatkan defisit 3,2 persen dari PDB bila harga premium tidak naik? Ataukah, mencabut subsidi dengan konsekuensi akan mengurangi pendapatan riil rakyat kecil?

Salah satu persoalan mendasar dalam pemberian subsidi premium adalah ketidakmampuan pemerintah untuk mencegah orang-orang yang seharusnya tidak menikmati premium bersubsidi. Mereka adalah orang-orang kaya yang menggunakan mobil pribadi. Kalau saja premium bersubsidi hanya dikonsumsi oleh orang-orang miskin, angkutan umum, dan angkutan barang, boleh jadi volume premium bersubsidi tidak mencapai 43-44 juta kiloliter, tapi hanya sekitar 30 juta kiloliter. Dengan asumsi harga minyak mentah US$ 105 per barel dan harga jual premium Rp 4.500, pemerintah bisa menghemat APBN sekitar Rp 100 triliun.

Akan tetapi, jangan berharap semua orang kaya akan menggunakan premium non-subsidi jika premium bersubsidi tersedia di pasar dan bisa diperjualbelikan secara bebas. Moral hazard dari orang-orang kaya pasti muncul. Bahkan, sebagian besar dari mereka akan menggunakan premium bersubsidi. Sayangnya, sampai saat ini, pemerintah belum menemukan mekanisme yang tepat untuk mencegah orang-orang kaya menikmati premium bersubsidi. Dan, jika menggunakan sudut pandang ilmu ekonomi, memang akan lebih efisien dan efektif bila subsidi dicabut dibanding membatasi konsumsi premium bersubsidi oleh orang-orang kaya. 

Jika subsidi dicabut, pemerintah tidak lagi dihadapkan dengan persoalan subsidi yang tidak tepat sasaran. Hanya saja, kebijakan ini akan berdampak negatif pada kalangan yang harusnya menikmati subsidi, tapi tidak lagi mendapat subsidi. Premium yang digunakan oleh angkutan umum dan angkutan barang perlu disubsidi agar tidak memberatkan rakyat kecil. Jika harga premium yang digunakan angkutan umum naik, dipastikan tarif angkutan juga akan naik. Kenaikan ini akan memberatkan pengguna angkutan umum yang notabene rakyat kecil. Selain itu, harga-harga barang juga sangat terkait dengan biaya pengangkutan. Jika harga premium yang digunakan oleh angkutan barang naik, dipastikan biaya yang ditanggung pengusaha akan naik, sehingga berdampak pada kenaikan harga barang-barang. Parahnya, harga sejumlah barang sudah mulai naik, meski harga premium belum dinaikkan. Kenaikan harga barang-barang tersebut akan tercermin pada inflasi. Berdasarkan hasil kajian Kementerian Keuangan, inflasi akan naik menjadi sekitar 7 persen seiring dengan pencabutan subsidi premium. Tapi bila subsidi tidak dicabut, inflasi hanya berkisar 5,3 persen. Saya duga, inilah yang menjadi alasan utama di balik aksi-aksi mahasiswa yang menolak pencabutan subsidi premium. Kenaikan harga premium memang akan menambah penderitaan rakyat kecil.  

Saya yakin, pemerintah pasti tahu dampak pencabutan subsidi premium ini. Warga yang pendapatannya per bulan di bawah garis kemiskinan akan terkena dampak lanjutan dari kenaikan harga premium. Pendapatan riil mereka akan berkurang. Namun pemerintah telah menyiapkan kebijakan pro-rakyat kecil pasca kenaikan harga premium. Untuk mempertahankan daya beli warga miskin, sebanyak 18,5 juta rumah tangga miskin akan mendapat bantuan tunai dari pemerintah. Dana akan dialokasikan sebesar Rp 150.000 per bulan yang berlangsung selama 9 bulan dan disalurkan sebanyak 3 kali. Selain itu, pemerintah akan memperbanyak penyaluran beras miskin (raskin) dari 12 kali menjadi 14 kali per tahun. Sektor transportasi juga mendapat kompensasi dari pemerintah sebesar Rp 1 triliun. Terakhir, seperti yang juga pernah dilakukan pemerintah saat menaikkan harga premium, mahasiswa dari kalangan tidak mampu akan mendapatkan beasiswa.

Terlepas dari pro dan kontra, kebijakan yang ditempuh pemerintah seharusnya memberikan manfaat yang lebih besar dibanding kerugiannya, serta tidak menindas rakyat kecil. []

NB; Ditulis sebelum 1 April

Tidak ada komentar:

Posting Komentar