Seperti
telah diduga sebelumnya, rencana pemerintah untuk menaikkan harga premium
disambut “hangat” oleh sejumlah elemen masyarakat dengan berdemonstrasi sebagai
bentuk penolakan. Aksi penolakan tersebut terutama berasal dari elemen
mahasiswa yang mengaku sebagai pembela kepentingan rakyat kecil. Elemen
mahasiswa berpendapat bahwa naiknya harga premium akan menambah penderitaan
rakyat, terutama rakyat miskin yang jumlahnya mencapai 29,89 juta pada
September 2011 (BPS). Mereka adalah warga Indonesia yang rata-rata
pengeluarannya per bulan di bawah Rp. 253.016 (tinggal di kota) dan Rp 213.395
(tinggal di desa).
Meski
diwarnai penolakan, tampaknya pemerintah tidak akan mundur dari rencana awal
untuk menaikkan harga premium dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000 per
liter atau mengalami kenaikan Rp. 1.500 per liter pada 1 April mendatang.
Pemerintah mengemukakan lima alasan di balik rencana menaikkan harga premium.
Dalam buku tipis berjudul “Subsidi BBM buat (si) Apa?, pemerintah menjelaskan lima
alasan dinaikkannya harga premium bersubsidi. Pertama, lebih berpihak pada rakyat kecil. Selama ini, subsidi
lebih dinikmati oleh kalangan menenangah ke atas ketimbang kalangan menengah ke
bawah. Data BPS menunjukkan bahwa rata-rata orang berpunya menikmati subsidi
premium 10 kali lipat lebih besar dibanding orang tak berpunya. Kedua, lebih hemat dan ramah lingkungan.
Jika harga premium makin murah, jumlah premium yang diminta pun makin banyak.
Sebaliknya, jika harga dinaikkan, premium yang diminta akan berkurang. Ini akan
mendorong konsumen untuk lebih berhemat dan melakukan konversi ke sumber energi
lain yang lebih murah dan ramah lingkungan
Ketiga, lebih bermanfaat.
Ketimbang APBN disedot untuk subsidi premium, jauh lebih bermanfaat bila
dialokasikan untuk membangun infrastruktur dan memperbaiki pelayanan publik di
bidang pendidikan dan kesehatan. Keempat,
mencegah penyelundupan. Disparitas harga premium antara di dalam dengan di luar
negeri mendorong terjadinya penyelundupan ke luar negeri. Jika harga premium
domestik sama dengan negara tetangga, tidak akan ada lagi ekspor premium
ilegal. Kelima, lebih awet. Jika
subsidi BBM bisa dikurangi tahun ini, niscaya APBN tahun ini dan tahun-tahun
selanjutnya tidak lagi terbebani.
Pemerintah
mengemukan lima alasan di atas untuk membenarkan kebijakan pencabutan subsidi
premium. Salah satu poin yang menarik dicermati adalah keberpihakan pada rakyat
kecil bila subsidi dicabut. Sudut pandang ini sangat berkebalikan dengan
argumen-argumen yang dilontarkan oleh kubu yang menolak pencabutan subsidi.
Lantas, kebijakan mana yang sebenarnya berpihak pada rakyat kecil? Apakah
dengan menggelontorkan subsidi BBM yang jumlahnya diperkirakan mencapai Rp
207,37 triliun dan mengakibatkan defisit 3,2 persen dari PDB bila harga premium
tidak naik? Ataukah, mencabut subsidi dengan konsekuensi akan mengurangi
pendapatan riil rakyat kecil?
Salah
satu persoalan mendasar dalam pemberian subsidi premium adalah ketidakmampuan
pemerintah untuk mencegah orang-orang yang seharusnya tidak menikmati premium
bersubsidi. Mereka adalah orang-orang kaya yang menggunakan mobil pribadi.
Kalau saja premium bersubsidi hanya dikonsumsi oleh orang-orang miskin,
angkutan umum, dan angkutan barang, boleh jadi volume premium bersubsidi tidak
mencapai 43-44 juta kiloliter, tapi hanya sekitar 30 juta kiloliter. Dengan
asumsi harga minyak mentah US$ 105 per barel dan harga jual premium Rp 4.500,
pemerintah bisa menghemat APBN sekitar Rp 100 triliun.
Akan
tetapi, jangan berharap semua orang kaya akan menggunakan premium non-subsidi
jika premium bersubsidi tersedia di pasar dan bisa diperjualbelikan secara
bebas. Moral hazard dari orang-orang
kaya pasti muncul. Bahkan, sebagian besar dari mereka akan menggunakan premium
bersubsidi. Sayangnya, sampai saat ini, pemerintah belum menemukan mekanisme
yang tepat untuk mencegah orang-orang kaya menikmati premium bersubsidi. Dan, jika
menggunakan sudut pandang ilmu ekonomi, memang akan lebih efisien dan efektif
bila subsidi dicabut dibanding membatasi konsumsi premium bersubsidi oleh
orang-orang kaya.
Jika
subsidi dicabut, pemerintah tidak lagi dihadapkan dengan persoalan subsidi yang
tidak tepat sasaran. Hanya saja, kebijakan ini akan berdampak negatif pada
kalangan yang harusnya menikmati subsidi, tapi tidak lagi mendapat subsidi. Premium
yang digunakan oleh angkutan umum dan angkutan barang perlu disubsidi agar
tidak memberatkan rakyat kecil. Jika harga premium yang digunakan angkutan umum
naik, dipastikan tarif angkutan juga akan naik. Kenaikan ini akan memberatkan
pengguna angkutan umum yang notabene rakyat kecil. Selain itu, harga-harga
barang juga sangat terkait dengan biaya pengangkutan. Jika harga premium yang
digunakan oleh angkutan barang naik, dipastikan biaya yang ditanggung pengusaha
akan naik, sehingga berdampak pada kenaikan harga barang-barang. Parahnya,
harga sejumlah barang sudah mulai naik, meski harga premium belum dinaikkan.
Kenaikan harga barang-barang tersebut akan tercermin pada inflasi. Berdasarkan
hasil kajian Kementerian Keuangan, inflasi akan naik menjadi sekitar 7 persen
seiring dengan pencabutan subsidi premium. Tapi bila subsidi tidak dicabut,
inflasi hanya berkisar 5,3 persen. Saya duga, inilah yang menjadi alasan utama
di balik aksi-aksi mahasiswa yang menolak pencabutan subsidi premium. Kenaikan
harga premium memang akan menambah penderitaan rakyat kecil.
Saya
yakin, pemerintah pasti tahu dampak pencabutan subsidi premium ini. Warga yang
pendapatannya per bulan di bawah garis kemiskinan akan terkena dampak lanjutan
dari kenaikan harga premium. Pendapatan riil mereka akan berkurang. Namun
pemerintah telah menyiapkan kebijakan pro-rakyat kecil pasca kenaikan harga
premium. Untuk mempertahankan daya beli warga miskin, sebanyak 18,5 juta rumah
tangga miskin akan mendapat bantuan tunai dari pemerintah. Dana akan
dialokasikan sebesar Rp 150.000 per bulan yang berlangsung selama 9 bulan dan
disalurkan sebanyak 3 kali. Selain itu, pemerintah akan memperbanyak penyaluran
beras miskin (raskin) dari 12 kali menjadi 14 kali per tahun. Sektor
transportasi juga mendapat kompensasi dari pemerintah sebesar Rp 1 triliun.
Terakhir, seperti yang juga pernah dilakukan pemerintah saat menaikkan harga
premium, mahasiswa dari kalangan tidak mampu akan mendapatkan beasiswa.
Terlepas
dari pro dan kontra, kebijakan yang ditempuh pemerintah seharusnya memberikan
manfaat yang lebih besar dibanding kerugiannya, serta tidak menindas rakyat
kecil. []
NB; Ditulis sebelum 1 April
Tidak ada komentar:
Posting Komentar