Suara Merdeka, 19 Desember 2009
Menteri Pendidikan Nasional mengusulkan penggabungan Ujian Nasional (UN) dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Salah tujuannya adalah menciptakan efisiensi dalam pelaksanaan ujian. Namun usulan ini memperoleh reaksi pro dan kontra dari masyarakat. Agar pro dan kontra ini tidak berlarut-larut, Depdiknas sebaiknya tidak perlu lagi mewacanakan usulan tersebut. Kalau memang nanti diperlukan, kendala-kendalanya harus diatasi dari sekarang.
Menurut penulis, masih sangat sulit untuk merealisasikan ide tersebut. Pasalanya, suprastruktur pendidikan di Indonesia masih belum siap. Kita tahu, pelaksanaan UN masih diselimuti dengan berbagai persoalan, terutama menyangkut validitas hasil. UN yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi, tidak terlalu valid karena prosesnya kerap kali mendapat intervensi dari sekolah. Terkadang intervensi ini dianggap wajar oleh pimpinan sekolah karena tidak ingin mendapat predikat buruk bila ada anak didiknya yang tidak lulus. Bahkan, Kepala Dinas Pendidikan di daerah pun tidak ingin mendapatkan predikat buruk bila tingkat kelulusan UN di daerahnya rendah. Kalau validitasnya diragukan, maka tentu tidak layak bila hasil UN ini dijadikan sebagai penentu utama untuk memasuki dunia perguruan tinggi.
Selain validitas hasil UN, alasan lain yang menyulitkan penggabungan UN dengan SNMPTN adalah perbedaan tujuan antara UN dengan SNMPTN. UN dimaksudkan untuk mengevaluasi pencapaian siswa SLTA atau sederajat, sementara SNMPTN dimaksudkan untuk menyeleksi lulusan SLTA yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tentu saja, tingkat kesulitan soal-soal pada kedua ujian tersebut berbeda, dimana tingkat kesulitan UN lebih rendah dibanding SNMPTN. Karena itu, tidak wajar bila dua hal yang memiliki tujuan berbeda digabung menjadi satu. Kalaupun dimungkinkan, maka hasil penggabungan tersebut haruslah mencakup kedua tujuan yang diinginkan.
Berdasarkan analis di atas, penggabungan UN dengan SNMPTN dapat berlangsung optimal bila dipenuhi beberapa asumsi. Pertama, hasil UN dapat dijamin validitasnya. Artinya, hasil UN memang dapat menunjukkan kemampuan siswa dalam menguasai materi yang diujikan. Dengan demikian, siswa yang memiliki hasil UN tinggi, dapat dipastikan lebih pintar dibanding siswa yang memiliki hasil UN rendah. Kedua, standar kesulitan soal antara UN dan SNMPTN harulah sama. Dengan demikian, siswa yang berkeinginan untuk melanjutkan perguruan tinggi memang dapat dinilai kemampuannya berdasarkan hasil UN. Memang, PTN tetap perlu melakukan seleksi internal. Akan tetapi, seleksi tersebut tidak lagi menyangkut kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan emosional, seperti psikotes. Karena itu, bila Depdiknas ingin menggabung UN dengan SNMPTN, lebih baik berusaha keras untuk memenuhi dua asumsi di atas, ketimbang berwacana. []
Menteri Pendidikan Nasional mengusulkan penggabungan Ujian Nasional (UN) dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Salah tujuannya adalah menciptakan efisiensi dalam pelaksanaan ujian. Namun usulan ini memperoleh reaksi pro dan kontra dari masyarakat. Agar pro dan kontra ini tidak berlarut-larut, Depdiknas sebaiknya tidak perlu lagi mewacanakan usulan tersebut. Kalau memang nanti diperlukan, kendala-kendalanya harus diatasi dari sekarang.
Menurut penulis, masih sangat sulit untuk merealisasikan ide tersebut. Pasalanya, suprastruktur pendidikan di Indonesia masih belum siap. Kita tahu, pelaksanaan UN masih diselimuti dengan berbagai persoalan, terutama menyangkut validitas hasil. UN yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi, tidak terlalu valid karena prosesnya kerap kali mendapat intervensi dari sekolah. Terkadang intervensi ini dianggap wajar oleh pimpinan sekolah karena tidak ingin mendapat predikat buruk bila ada anak didiknya yang tidak lulus. Bahkan, Kepala Dinas Pendidikan di daerah pun tidak ingin mendapatkan predikat buruk bila tingkat kelulusan UN di daerahnya rendah. Kalau validitasnya diragukan, maka tentu tidak layak bila hasil UN ini dijadikan sebagai penentu utama untuk memasuki dunia perguruan tinggi.
Selain validitas hasil UN, alasan lain yang menyulitkan penggabungan UN dengan SNMPTN adalah perbedaan tujuan antara UN dengan SNMPTN. UN dimaksudkan untuk mengevaluasi pencapaian siswa SLTA atau sederajat, sementara SNMPTN dimaksudkan untuk menyeleksi lulusan SLTA yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tentu saja, tingkat kesulitan soal-soal pada kedua ujian tersebut berbeda, dimana tingkat kesulitan UN lebih rendah dibanding SNMPTN. Karena itu, tidak wajar bila dua hal yang memiliki tujuan berbeda digabung menjadi satu. Kalaupun dimungkinkan, maka hasil penggabungan tersebut haruslah mencakup kedua tujuan yang diinginkan.
Berdasarkan analis di atas, penggabungan UN dengan SNMPTN dapat berlangsung optimal bila dipenuhi beberapa asumsi. Pertama, hasil UN dapat dijamin validitasnya. Artinya, hasil UN memang dapat menunjukkan kemampuan siswa dalam menguasai materi yang diujikan. Dengan demikian, siswa yang memiliki hasil UN tinggi, dapat dipastikan lebih pintar dibanding siswa yang memiliki hasil UN rendah. Kedua, standar kesulitan soal antara UN dan SNMPTN harulah sama. Dengan demikian, siswa yang berkeinginan untuk melanjutkan perguruan tinggi memang dapat dinilai kemampuannya berdasarkan hasil UN. Memang, PTN tetap perlu melakukan seleksi internal. Akan tetapi, seleksi tersebut tidak lagi menyangkut kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan emosional, seperti psikotes. Karena itu, bila Depdiknas ingin menggabung UN dengan SNMPTN, lebih baik berusaha keras untuk memenuhi dua asumsi di atas, ketimbang berwacana. []