13 Mei, 2012

Mengintip Ketimpangan Ekonomi antar Wilayah

Dimuat di Bisnis Indonesia, 3 Mei 2012
Pada 6 Februari 2012, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia untuk tahun 2011. Salah satu isu yang diulas dalam publikasi ini adalah kontribusi pulau-pulau besar terhadap pembentukan PDB. Dapat disimpulkan bahwa masih terjadi ketimpangan antar wilayah di Indonesia, sehingga diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi persoalan tersebut. 

Kontribusi Jawa terhadap PDB sebesar 57,7 persen. Ini berarti, lebih dari setengah PDB Indonesia disumbang oleh Jawa, sedangkan lima pulau besar lainnya, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, dan Bali dan Nusa Tenggara hanya berkontribusi sebesar 42,3 persen. Jika ditilik kontribusi Jawa terhadap PDB, terdapat tiga provinsi yang memberikan kontribusi paling besar terhadap PDB, yakni DKI Jakarta (16,5 persen) , Jawa Timur (14,7 persen), dan Jawa Barat (14,3). Ini berarti, kontribusi DKI Jakarta terhadap PDB lebih tinggi dibanding Kalimantan dan Sulawesi yang masing-masing hanya sebesar 9,7 persen dan 4,6 persen. Bahkan bila kontribusi dua pulau tersebut terdapat PDB dijumlahkan, kontribusi DKI Jakarta masih lebih tinggi.

Ketimpangan antar wilayah tampaknya merupakan fenomena lumrah. Bank Dunia, dalam publikasi World Development Report 2009, menyatakan bahwa produksi terkonsentrasi di kota-kota besar, provinsi-provinsi utama, dan negara-negara kaya. Ketimpangan wilayah terjadi di dalam suatu negara dan antar negara. Di Mesir misalnya, Kairo berkontribusi lebih dari setengah terhadap pembentukan PDB. Padahal, luas wilayah Kairo hanya 0,5 persen dari total wilayah Mesir. Di level antar negara pun terjadi ketimpangan. Amerika Utara, Uni Eropa, dan Jepang dengan jumlah penduduk kurang dari 1 miliar jiwa, ternyata menguasai ¾ kekayaan dunia.

Ketimpangan antar wilayah merupakan persoalan serius di Indonesia, sebagaimana dipaparkan pada data di atas. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan pemerintah untuk memeratakan hasil-hasil pembangunan, atau setidaknya menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa, belum begitu tampak berhasil. Aliran investasi masih terpusat di wilayah-wilayah yang memang masuk dalam kategori maju. Jika ditilik secara finansial, suatu proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh swasta pastinya akan digarap di wilayah-wilayah yang menguntungkan. Proyek pembangunan jalan tol misalnya, akan lebih banyak digarap di Jakarta atau kota-kota besar lainnya dibanding wilayah lain. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di wilayah-wilayah tertentu, sedangkan wilayah lainnya tertinggal karena minim pihak swasta yang tertarik untuk berinvestasi, terutama dalam pembangunan infrastruktur.

Tentu pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban pemerintah, baik level pusat maupun daerah. Infrastruktur meliputi banyak aspek, tapi setidaknya bisa dibagi dua, yakni infrastruktur fisik dan non-fisik. Infrastruktur fisik meliputi jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, bendungan, jaringan air bersih, dan lain-lain. Infrastruktur ini diperlukan dalam aktivitas ekonomi.. Ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu daya tarik bagi investor. Pasalnya, infrastruktur dapat memberikan kemudahan dalam melakukan aktivitas ekonomi, serta yang paling penting adalah dapat meminimalkan biaya. Selain infrastruktur fisik, yang tak kalah penting adalah infrastruktur non-fisik, meliputi pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan. Pada prinsipnya, infrastruktur non fisik ditujukan untuk menyediakan sumber daya manusia yang mumpuni, sehingga memiliki kapasitas dalam mengelola sumber daya ekonomi menjadi produk yang bernilai tinggi. Jika sumber daya manusia tersedia, baik secara kualitas maupun kuantitas, investor akan tertarik untuk melakukan aktivitas ekonomi di daerah tersebut.

Upaya Pemerintah
Pemerintah Indonesia berupaya mengurangi ketimpangan antar wilayah dengan memfokuskan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Fokus pembangunan ini merupakan strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di KTI, agar mampu sejajar dengan kemajuan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia (KBI).

Salah satu strateginya adalah meningkatkan aliran investasi ke wilayah KTI. Investasi bisa bersumber dari pemerintah dan swasta. Untuk menarik investasi swasta, langkah yang perlu dilakukan adalah memberikan fasilitas yang menarik bagi investor, di antaranya adalah ketersediaan infrastruktur, fasilitas fiskal dan non-fiskal yang memadai, serta kemudahan dalam perizinan. Pembiayaan pembangunan infrastruktur bisa bersumber sepenuhnya dari pemerintah, atau sepenuhnya dari swasta, atau kerjasama pemerintah dengan swasta. Adapun untuk fasilitas fiskal dan non-fiskal, merupakan diskresi pemerintah, selama dinilai menguntungkan bagi negara dalam jangka panjang. Sementara itu, kemudahan perizinan kaitannya dengan kemudahan dalam mengurus proses pendirian usaha, sehingga dapat mengurangi biaya transaksi.

Pada prinsipnya, perlu diciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di KTI. Potensi ekonomi di KTI tentu sangat melimpah dan tersebar di berbagai wilayah. Namun, persoalannya adalah belum ada investor besar yang tertarik untuk mengembangkan wilayah tersebut, atau berusaha di wilayah tersebut karena tidak layak secara finansial. Karena itu, pemerintah perlu menyediakan berbagai fasilitas kepada calon investor agar mereka tertarik berinvestasi di KTI. []

03 Mei, 2012

Equity in Development

Equity is the crucial issue in economic development. As we know, development not only regards growth, but also equity, diversification of production, and reducing poverty rate. The development policy impute between welfare and growth. Growth without development means that there is no equity. Actually, growth has been followed by equity. All of people that are live in the country have to enjoy the benefit of development policy.

There is big equity problem in Indonesia. Many people still live in beneath poverty line, which is approximately 32, 5 million people. However, this data reveals that the income per capita of Indonesia is approximately IDR 30 million per year. As we know, people are categorized poor if their expenditure below IDR 250 thousand per month. What data tell us? Yeah, it tells us about the inequity in income in Indonesia. The more welfare is enjoyed only by less people.

The efficacy of economic policy from government tends to ineffective. The unevenness still happens, and unfortunately the problem is still wide. I think the government has to recognize this problem, thus undertake the pace to resolve it. If this problem can’t be resolved as soon as possible, it will create the adverse effect in our social and economic live.

I just want to underscore that the main problem in our country is unevenness between poor and rich people. In many cases, the poverty is not fate. In the inception, people can’t receive opportunity to work because they don’t have ability and capacity. This happen because they don’t have chance to study in formal and informal school. So, it is corollary if they poor. This is a modest explanation why some people poor. The government has to create opportunity, especially for poor people in undertaking study in formal or informal school. This is a solution to decrease unevenness in our country. []