23 Juli, 2008

Krisis Listrik dan Investasi

Seputar Indonesia, 18 Juli 2008

Kemampuan suatu perekonomian untuk menarik investasi baik asing maupun domestik sangat tergantung pada kapasitas input yang dimilikinya. Di dalam disiplin ilmu ekonomi, dikenal istilah faktor produksi, yaitu segala jenis input yang digunakan dalam proses produksi. Salah satu input strategis yang dibutuhkan untuk berproduksi adalah energi listrik.

Dalam proses produksi, listrik dibutuhkan sebagai sumber energi, dalam hal ini untuk mengoperasikan mesin-mesin, sumber penerangan, dan lain-lain. Tanpa listrik, proses produksi tidak akan berjalan. Bahkan, pasokan listrik yang tidak optimal tentunya akan ikut mengganggu pula proses produksi. Terganggunya proses produksi secara langsung akan mengurangi jumlah output yang dihasilkan.

Dalam skala makro, output tersebut juga merupakan pendapatan nasional setelah dinilai dengan uang. Artinya, bila terjadi krisis listrik, maka output nasional juga akan menurun. Penurunan output tentunya akan menurunkan pendapatan nasional, dan pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks lebih luas, dampak penurunan pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh pada jumlah pengangguran dan kemiskinan. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang menandakan kenaikan output karena proses berproduksi berjalan lancar, tidak terjadi. Ketidaklancaran proses produksi akan mengurangi keuntungan bagi perusahaan, sehingga dampaknya beralih pada tenaga kerja. Perusahaan akan bertindak rasional berupa pengurangan biaya agar keuntungan tetap maksimum dengan mengurangi tenaga kerja. Kesejahteraan masyarakat pun akan berkurang karena makin banyak orang menganggur, ditambah beban ekonomi yang makin sulit.

Perlambatan investasi baru tentunya juga menjadi dampak krisis listrik. Investasi merupakan peningkatan modal, dalam arti lebih konkret adalah perluasan skala produksi ataupun penambahan produksi baru. Bila salah satu input produksi strategis (listrik) tidak tersedia, secara langsung akan mengurangi keinginan investasi. Bahkan, sejumlah investor yang berusaha di Indonesia, berulang kali mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah listrik yang sudah berlarut-larut. Tentunya, bagi calon investor, krisis listrik merupakan disinsentif yang sangat merugikan. Padahal, bila investasi tidak meningkat, berarti tidak ada sumbangan investasi pada pertumbuhan ekonomi.

Dengan segala dampak negatif tersebut, pemerintah perlu serius atau tidak bermain-main dalam mengatasi krisis listrik. Membangun infrastruktur kelistrikan merupakan proyek jangka panjang yang harus dipercepat. Selain itu, penghematan listrik dengan berbagai mekanisme yang paling kecil kerugiannya perlu diterapkan secara konsisten. Pemerintah perlu mengajak sektor swasta lebih banyak lagi agar dapat berkontribusi pada pembangunan infrastruktur listrik. Di sisi lain, alokasi anggaran yang besar pada pembangunan infrastruktur listrik tentunya bukan masalah selama pelaksanaan proyek tersebut dilakukan dengan baik.