Dimuat di Seputar Indonesia, Kamis, 3 September 2009
Dukungan suara sekitar 60 persen kepada pasangan SBY-Boediono merupakan modal utama pemerintahan baru dalam menyusun dan melaksanakan berbagai program kerja selama 5 tahun ke depan. Dalam pelaksanaan program tersebut, para menteri memegang peran penting karena keberadaan mereka ditujukan untuk membantu presiden dalam merealisasikan janji-janji saat kampanye.
Bila menteri gagal menjalankan tugasnya, program kerja tidak akan berjalan optimal sehingga kecil kemungkinan target pemerintahan dapat tercapai. Di sisi lain, bila menteri sukses dalam menjalankan perannya, tentu peluang untuk mencapai target pemerintahan makin besar. Karena itu, para calon menteri yang akan mengisi pos kabinet haruslah orang tepat yang ditempatkan pada posisi yang tepat pula. Di sisi lain, meskipun seseorang ahli pada bidang tertentu, tapi tidak ditempatkan sesuai dengan kebutuhan pos kabinet yang akan diisi, besar kemungkinan yang akan diperoleh adalah kegagalan. Kasus pemilihan menteri pada periode sebelumnya menandakan masih adanya orang yang ditempatkan pada bidang tertentu yang bukan keahliannya. Akibatnya, tidak lama setelah pemerintahan baru berjalan, muncul reshuffle kabinet. Perubahan posisi kabinet ini tentu berpotensi memunculkan ketidakstabilan, bisa pada bidang ekonomi atau politik. Sebab, besar kemungkinan terjadi perubahan kebijakan sebagai akibat dari adanya pergantian menteri.
Karena itu, pertimbangan matang harus dikedepankan sebelum presiden menentukan orang-orang yang akan membantunya. Selain pertimbangan kalkulasi politik, tentu yang lebih utama adalah kompetensi. Hanya saja, realitas menunjukkan bahwa pertimbangan kalkulasi politik kelihatannya lebih dominan. Hal ini terlihat pada manuver politik SBY yang berniat menggandeng hampir seluruh partai pemenang pemilu legislatif, termasuk PDI-P dan Golkar. Kita tahu, Golkar dan PDI-P berpeluang menjadi partai oposisi. Hanya saja, SBY menginginkan agar kedua partai besar ini masuk dalam pemerintahan. Salah satu tawarannya adalah kursi kabinet.
Selain itu, tentu saja partai-partai pendukung pasangan SBY-Boediono diberikan kursi di kabinet. Boleh dibilang, kursi kabinet ini merupakan kompensasi atas dukungan dalam pemenangan pemilihan presiden, serta sebagai pengikat dukungan dalam menjalankan pemerintahan selama 5 tahun ke depan. Dukungan ini tampak di parlemen, di mana wakil-wakil dari partai pemerintah dan pendukungnya memberikan dukungan kepada keputusan-keputusan eksekutif yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Tidak bisa dimungkiri, transaksi politik demikian kerap terjadi dalam dinamika pemerintahan kita. Hanya saja, perlu diterapkan strategi khusus agar pengisian pos kabinet tetap mengedepankan kompetensi, bukan pertimbangan kalkulasi politik. Diakui, kader-kader partai pun banyak yang berkualitas. Tidak selamanya kader partai yang menjadi menteri gagal menjalankan tugasnya. Karena itu, pemilihan menteri dari kader partai yang benar-benar kompeten di bidang yang dibutuhkan, merupakan salah satu solusi. Di sini, partai pendukung pemerintah juga harus tahu diri. Kader-kader yang direkomendasikan haruslah merupakan orang yang ahli di bidang yang dibutuhkan, bukan karena pertimbangan tingkat kedudukan di partai tersebut. Sebab, belum tentu petinggi partai memiliki keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan di pos kementerian[]
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/267476/
Dukungan suara sekitar 60 persen kepada pasangan SBY-Boediono merupakan modal utama pemerintahan baru dalam menyusun dan melaksanakan berbagai program kerja selama 5 tahun ke depan. Dalam pelaksanaan program tersebut, para menteri memegang peran penting karena keberadaan mereka ditujukan untuk membantu presiden dalam merealisasikan janji-janji saat kampanye.
Bila menteri gagal menjalankan tugasnya, program kerja tidak akan berjalan optimal sehingga kecil kemungkinan target pemerintahan dapat tercapai. Di sisi lain, bila menteri sukses dalam menjalankan perannya, tentu peluang untuk mencapai target pemerintahan makin besar. Karena itu, para calon menteri yang akan mengisi pos kabinet haruslah orang tepat yang ditempatkan pada posisi yang tepat pula. Di sisi lain, meskipun seseorang ahli pada bidang tertentu, tapi tidak ditempatkan sesuai dengan kebutuhan pos kabinet yang akan diisi, besar kemungkinan yang akan diperoleh adalah kegagalan. Kasus pemilihan menteri pada periode sebelumnya menandakan masih adanya orang yang ditempatkan pada bidang tertentu yang bukan keahliannya. Akibatnya, tidak lama setelah pemerintahan baru berjalan, muncul reshuffle kabinet. Perubahan posisi kabinet ini tentu berpotensi memunculkan ketidakstabilan, bisa pada bidang ekonomi atau politik. Sebab, besar kemungkinan terjadi perubahan kebijakan sebagai akibat dari adanya pergantian menteri.
Karena itu, pertimbangan matang harus dikedepankan sebelum presiden menentukan orang-orang yang akan membantunya. Selain pertimbangan kalkulasi politik, tentu yang lebih utama adalah kompetensi. Hanya saja, realitas menunjukkan bahwa pertimbangan kalkulasi politik kelihatannya lebih dominan. Hal ini terlihat pada manuver politik SBY yang berniat menggandeng hampir seluruh partai pemenang pemilu legislatif, termasuk PDI-P dan Golkar. Kita tahu, Golkar dan PDI-P berpeluang menjadi partai oposisi. Hanya saja, SBY menginginkan agar kedua partai besar ini masuk dalam pemerintahan. Salah satu tawarannya adalah kursi kabinet.
Selain itu, tentu saja partai-partai pendukung pasangan SBY-Boediono diberikan kursi di kabinet. Boleh dibilang, kursi kabinet ini merupakan kompensasi atas dukungan dalam pemenangan pemilihan presiden, serta sebagai pengikat dukungan dalam menjalankan pemerintahan selama 5 tahun ke depan. Dukungan ini tampak di parlemen, di mana wakil-wakil dari partai pemerintah dan pendukungnya memberikan dukungan kepada keputusan-keputusan eksekutif yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Tidak bisa dimungkiri, transaksi politik demikian kerap terjadi dalam dinamika pemerintahan kita. Hanya saja, perlu diterapkan strategi khusus agar pengisian pos kabinet tetap mengedepankan kompetensi, bukan pertimbangan kalkulasi politik. Diakui, kader-kader partai pun banyak yang berkualitas. Tidak selamanya kader partai yang menjadi menteri gagal menjalankan tugasnya. Karena itu, pemilihan menteri dari kader partai yang benar-benar kompeten di bidang yang dibutuhkan, merupakan salah satu solusi. Di sini, partai pendukung pemerintah juga harus tahu diri. Kader-kader yang direkomendasikan haruslah merupakan orang yang ahli di bidang yang dibutuhkan, bukan karena pertimbangan tingkat kedudukan di partai tersebut. Sebab, belum tentu petinggi partai memiliki keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan di pos kementerian[]
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/267476/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar