16 Agustus, 2009

Meminimalisasi Potensi Terorisme

Dimuat di Seputar Indonesia, Sabtu, 15 Agustus 2009

Indonesia tergolong negara yang sering menjadi sasaran aksi terorisme. Dapat dilihat, sudah beberapa kali terjadi aksi terorisme yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan nyawa. Sampai saat ini, sasaran teroris yang terakhir kali adalah Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott. Besar kemungkinan akan ada aksi-aksi berikutnya di masa yang akan datang. Uniknya, pihak yang melancarkan aksi teror ini tidak pernah secara eksplisit menyatakan motif di balik aksi mereka. Hal inilah yang menjadikan pekerjaan pemerintah relatif lebih sulit, sebab untuk menekan potensi terorisme, mau tak mau langkah pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut.

Kita tahu, setiap aksi terorisme disertai oleh alasan yang kuat, sebab aksi ini disertai dengan pengorbanan materi dan nyawa. Jadi, mustahil bila aksi ini hanya iseng-iseng dari kelompok tertentu. Menurut analisis penulis, terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi. Hal ini berwujud pada kebencian terhadap pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan. Begitu penting arti ideologi dalam kehidupan mereka, sehingga nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Parahnya, gerakan ini bukan hanya berskala nasional, tapi sudah berskala internasional. Misalnya, kebencian Usama Bin Laden, yang mengaku mewakili umat Islam, terhadap Amerika Serikat (AS) mendorongnya untuk mengumandangkan perang bagi apapun dan siapapun yang berbau AS. Perang ini dilancarkan ke seluruh dunia melalui jaringan-jaringan yang tersebar di sejumlah negara.

Sejumlah pihak berpendapat Noordin M Top cs yang melakukan aksinya di Indonesia, merupakan jaringan dari Usama Bin Laden. Dengan kata lain, bila Noordin M Top melakukan aksinya di Indonesia, bisa diprediksi bahwa yang menjadi sasaran adalah apapun dan siapapun yang berbau AS, sebab aksi ini dilandasi oleh kebencian terhadap AS. Kasus pengeboman di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott dapat menguatkan argument tersebut. Bila demikian halnya, maka tugas pemerintah adalah memperketat keamanan, terutama yang menyangkut sasaran aksi terorisme ini.

Selain dorongan ideologi, aksi terorisme dapat pula terjadi karena alasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri hidup. Kita tahu, modus operandi dari aksi-aksi terorisme adalah bom bunuh diri. Orang-orang yang melakukan aksi bom bunuh diri, terlebih dahulu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang membenarkan aksi tersebut. Peranan orang yang melakukan bom bunuh diri ini sangatlah penting, sebab merekalah yang berkorban paling besar. Bila jaringan ini tidak bisa merekrut orang-orang yang bersedia melakukan aksi tersebut, niscaya eksistensinya akan lenyap. Namun, alasan ekonomi ini tidak selalu berbentuk tekanan yang dialami oleh pelaku, terutama yang melakukan bunuh diri, melainkan dapat pula berupa kesedihan terhadap masihnya banyak orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini dianggap sebagai kegagalan pemerintah, yang menganut sistem ekonomi, yang tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera. Latar belakang tersebut merupakan salah satu alasan gerakan teroris berbalik melawan pihak-pihak yang menyebabkan ketertindasan rakyat.

Diakui, kita tidak bisa meredam potensi yang pertama, tapi kita tetap bisa meredam potensi yang kedua. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ini memang menjadi tugas berat pemerintah, untuk mengangkat 32,5 juta rakyat Indonesia yag hidup di bawah garis kemiskinan menuju kehidupan yang layak. Namun tetap diakui, terorisme belum tentu selesai bila urusan ekonomi sudah terpenuhi, tapi paling tidak salah satu potensinya nsudah diminimalkan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar