20 Desember, 2009

Harus Penuhi Asumsi

Suara Merdeka, 19 Desember 2009

Menteri Pendidikan Nasional mengusulkan penggabungan Ujian Nasional (UN) dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Salah tujuannya adalah menciptakan efisiensi dalam pelaksanaan ujian. Namun usulan ini memperoleh reaksi pro dan kontra dari masyarakat. Agar pro dan kontra ini tidak berlarut-larut, Depdiknas sebaiknya tidak perlu lagi mewacanakan usulan tersebut. Kalau memang nanti diperlukan, kendala-kendalanya harus diatasi dari sekarang.

Menurut penulis, masih sangat sulit untuk merealisasikan ide tersebut. Pasalanya, suprastruktur pendidikan di Indonesia masih belum siap. Kita tahu, pelaksanaan UN masih diselimuti dengan berbagai persoalan, terutama menyangkut validitas hasil. UN yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi, tidak terlalu valid karena prosesnya kerap kali mendapat intervensi dari sekolah. Terkadang intervensi ini dianggap wajar oleh pimpinan sekolah karena tidak ingin mendapat predikat buruk bila ada anak didiknya yang tidak lulus. Bahkan, Kepala Dinas Pendidikan di daerah pun tidak ingin mendapatkan predikat buruk bila tingkat kelulusan UN di daerahnya rendah. Kalau validitasnya diragukan, maka tentu tidak layak bila hasil UN ini dijadikan sebagai penentu utama untuk memasuki dunia perguruan tinggi.

Selain validitas hasil UN, alasan lain yang menyulitkan penggabungan UN dengan SNMPTN adalah perbedaan tujuan antara UN dengan SNMPTN. UN dimaksudkan untuk mengevaluasi pencapaian siswa SLTA atau sederajat, sementara SNMPTN dimaksudkan untuk menyeleksi lulusan SLTA yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tentu saja, tingkat kesulitan soal-soal pada kedua ujian tersebut berbeda, dimana tingkat kesulitan UN lebih rendah dibanding SNMPTN. Karena itu, tidak wajar bila dua hal yang memiliki tujuan berbeda digabung menjadi satu. Kalaupun dimungkinkan, maka hasil penggabungan tersebut haruslah mencakup kedua tujuan yang diinginkan.

Berdasarkan analis di atas, penggabungan UN dengan SNMPTN dapat berlangsung optimal bila dipenuhi beberapa asumsi. Pertama, hasil UN dapat dijamin validitasnya. Artinya, hasil UN memang dapat menunjukkan kemampuan siswa dalam menguasai materi yang diujikan. Dengan demikian, siswa yang memiliki hasil UN tinggi, dapat dipastikan lebih pintar dibanding siswa yang memiliki hasil UN rendah. Kedua, standar kesulitan soal antara UN dan SNMPTN harulah sama. Dengan demikian, siswa yang berkeinginan untuk melanjutkan perguruan tinggi memang dapat dinilai kemampuannya berdasarkan hasil UN. Memang, PTN tetap perlu melakukan seleksi internal. Akan tetapi, seleksi tersebut tidak lagi menyangkut kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan emosional, seperti psikotes. Karena itu, bila Depdiknas ingin menggabung UN dengan SNMPTN, lebih baik berusaha keras untuk memenuhi dua asumsi di atas, ketimbang berwacana. []

17 Desember, 2009

Mengoptimalkan Pengelolaan Objek Wisata

Harian Jogja, 15 Desember 2009

Suatu keunggulan tersendiri bila terdapat objek wisata di suatu daerah. Pasalnya, keberadaan objek wisata tersebut dapat meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat, serta meningkatkan penerimaan pemerintah melalui pajak dan retribusi. Tak heran bila pemerintah, baik skala nasional maupun lokal, berlomba-lomba memperkenalkan objek wisata kepada para wisatawan, baik asing maupun domestik. Sebab, makin banyak kunjungan wisatawan ke wilayah tersebut, maka makin besar pula manfaat yang diperoleh.

Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memiliki keunggulan pariwisata. Daerah ini menawarkan berbagai macam objek wisata, seperti budaya, belanja, kuliner, dan lain-lain. Keanekaragaman objek wisata ini merupakan potensi untuk menarik para wisatawan agar mereka berkunjung ke daerah tersebut. Akan tetapi, potensi tersebut tidak mendatangkan manfaat yang optimal bila pemerintah tidak mengelola objek wisata dengan baik.

Pengeloaan ini diperlukan karena persaingan antar daerah dalam menarik wisatawan makin tinggi. Saat ini, wisatawan memiliki pilihan objek wisata yang makin banyak. Tentu saja, mereka akan mengunjungi daerah yang menawarkan jasa terbaik pada objek tertentu. Dulu, Yogyakarta dikenal paling unggul dalam objek wisata kebudayaan. Namun daerah-daerah lain juga mengembangkan wisata budaya untuk menarik para wisatawan. Karena itu, pemerintah perlu melakukan reformasi pengelolaan objek wisata agar jumlah wisatawan bisa meningkat dari tahun ke tahun.

Tahun 2010, pemerintah Kota Jogja menargetkan 2 juta wisatawan yang berkunjung ke objek-objek wisata yang terdapat di kota pelajar ini. Sebagaimana diketahui, objek wisata yang terkenal di Kota Jogja adalah Malioboro, Taman Sari, Keraton, dan Kebun Binatang Gembira Loka, dan Taman Pintar. Apakah target ini dapat tercapai? Bila mengamati kinerja pemerintah dalam mengelola objek wisata, muncul rasa pesimis akan tercapainya target ini. Satu contoh adalah pengelolaan kawasan Malioboro. Saat ini, Malioboro makin tidak bersahabat dengan para wisatawan, sebab estetika atau keindahannya makin berkurang.

Berkaca pada kondisi ini, pemerintah Kota Jogja harus melakukan reformasi pengelolaan objek wisata. Pertama, harus ada kesesuaian gerak antar instansi pemerintah. Tanggung jawab untuk menarik perhatian para wisatawan, tentu tidak hanya dibebankan pada dinas pariwisata, tapi juga dinas-dinas terkait, seperti perhubungan, kebersihan, dan lain-lain. Adanya koordinasi antar instansi akan menciptakan pengelolaan wisata yang efektif dan efisien.

Kedua, pemerintah perlu berkolaborasi dengan pihak swasta dalam mengelola objek wisata. Kita tahu, kerap kali masalah kekurangan anggaran dijadikan alasan bagi pemerintah untuk tidak mengelola objek wisata tertentu secara optimal. Padahal, objek wisata tersebut berpotensi mendatangkan manfaat ekonomi bagi pemerintah bila dikelola dengan baik. Untuk menyiasati masalah ini, pemerintah bisa mengajak swasta untuk mengelola objek wisata. Tentu saja, pemerintah perlu menerapkan aturan main yang menguntungkan kedua belah pihak.

Bila langkah-langkah ini dilakukan, pemerintah dan masyarakat Jogja pada umumnya dapat menikmati manfaat dari adanya berbagai objek wisata di kota pelajar ini.

10 Desember, 2009

Perbaikan Alokasi Anggaran

Harian Jogja, Selasa 8 Desember 2009

Rencana pemerintah menaikkan gaji pokok Pengawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 5% pada 2010, disinyalir akan berdampak positif bagi perekonomian terutama karena daya beli masyarakat meningkat. Namun kebijakan tersebut tetap perlu memperhatikan kemampuan anggaran pemerintah agar tidak mengorbankan pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

Pasalnya, alokasi anggaran pemerintah ditujukan untuk berbagai tujuan, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan lain-lain. Bila salah satu pos pengeluaran meningkat, sedangkan pendapatan tidak naik, akan mengakibatkan turunnya nominal anggaran pada pos pengeluaran lain. Karena itu, bila pemerintah ingin meningkatkan salah satu pos pengeluaran, langkah yang dapat ditempuh ada dua, yakni mengurangi nominal anggaran di pos pengeluaran lain dan/atau meningkatkan pendapatan. Selain dua cara tersebut, pemerintah juga dapat meningkatkan utang, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Hanya saja, cara ini kerap kali menimbulkan kontroversi di mata masyarakat, sehingga ada baiknya bila dihindari oleh pemerintah.

Dalam hal ini, bila pemerintah ingin menaikkan gaji PNS, maka pendapatan harus naik sebesar tambahan kenaikan gaji tersebut. Pun, pemerintah juga bisa mengurangi nominal anggaran di pos pengeluaran lain sebesar tambahan gaji tersebut. Bila kenaikan gaji ini ditanggung pemerintah pusat, sebenarnya persoalannya tidak terlalu rumit, sebab ada banyak pos pendapatan yang bisa ditingkatkan dan ada berbagai pos pengeluaran yang mungkin bisa dikurangi atau dihemat. Tentu saja, persoalan akan lebih rumit bila kenaikan gaji ini ditanggung pemerintah daerah (pemda) dalam APBD. Alasanya, sumber-sumber pendapatan daerah tidak terlalu banyak, serta tidak merata antar suatu daerah dengan lain. Selain itu, pos-pos pengeluaran dalam anggaran pemda tidak sebanyak anggaran pemerintah pusat, sehingga kemampuan untuk berhemat juga relatif rendah. Masalahnya, beban kenaikan gaji ini rencananya akan ditanggung pemda. Tentu saja, keadaan ini berpotensi menimbulkan masalah dalam anggaran pemda.

Kalau dicermati, pendapatan daerah lebih banyak tergantung dari anggaran pemerintah pusat, melalui Dana Alokasi Umum (DAU) atau dana transfer yang berjumlah sekitar 60% – 70% dari total pendapatan daerah. Adapun Pendapatan Asli Daerah (PAD), persentasenya masih relatif kecil, yakni sekitar 20%. Karena itu, bila APBD yang menanggung kenaikan gaji pegawai, maka salah satu solusinya adalah meningkatkan dana transfer pusat ke daerah. Namun dana transfer dari pusat ke daerah masih diselimuti dengan masalah rendahnya penyerapan anggaran. Hampir setiap tahun selalu ada sisa hasil anggaran atau dana yang tidak dialokasikan pemda dengan nominal yang cukup besar. Pada 2008, anggaran yang tidak dialokasikan mencapai Rp 45 triliun. Ironisnya, utang pemerintah pusat bertambah dengan nominal Rp 50 triliun pada tahun yang sama.

Ini berarti, kenaikan gaji pengawai sebetulnya bisa ditanggung oleh pemda bila alokasi anggaran yang berasal dari DAU bisa dioptimalkan. Kalaupun tambahan DAU diperlukan, makanya sifatnya hanya menutupi kekurangan dan jumlahnya tidak terlalu besar. Karena itu, selain diperlukan kenaikan dana transfer dari pusat ke daerah (kalau diperlukan), pemerintah daerah juga perlu menyusun anggaran dengan benar agar pengeluaran yang direncanakan tidak jauh berbeda dengan pengeluaran yang sebenarnya. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi dana-dana yang tidak terpakai setelah periode anggaran berjalan. []