30 Juli, 2009

Kabinet SBY-Boediono

Dimuat di Seputar Indonesia, Selasa 28 Juli 2009

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil perhitungan suara pemilihan presiden 2009. Hasilnya, SBY-Boediono menempati urutan pertama dengan perolehan suara 60,8 persen, sementara Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto menempati urutan kedua dan ketiga dengan perolehan suara masing-masing 26,79 persen dan 12,41 persen. Dengan hasil ini, SBY memenangkan pilpres dengan satu putaran saja. Kemenangan ini membuktikan legitimasi yang sangat besar dari rakyat untuk SBY-Boediono. Ini merupakan modal yang besar bagi SBY dalam memimpin bangsa ini 5 tahun ke depan.

Setelah terpilih, tugas presiden adalah menentukan orang-orang yang menduduki kursi kabinet. Dalam politik, penentuan menteri ini sangat penting sebab mereka lah yang nantinya menerjemahkan janji-janji presiden dalam bentuk program-program konkret. Dengan kata lain, keberhasilan SBY dalam memimpin bangsa ini selama 5 tahun ke depan sangat tergantung pada keberhasilan menteri-menterinya menerjemahkan visi dan misi yang disampaikan saat kampanye. Karena itu, wajar bila pemilihan menteri ditentukan sepenuhnya oleh presiden, di mana dapat dipilih orang yang tepat sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Namun, ternyata pembentukan kabinet tidak bisa tidak harus dikompromikan dengan partai-partai yang mengusungnya menjadi presiden. Kita tahu, SBY-Boediono didukung sejumlah partai politik yang lolos ke parlemen. Koalisi ini ditujukan untuk memenangkan pasangan SBY-Boediono, serta mendukung pemerintahan/eksekutif di parlemen sampai 2014 nanti. Bila pasangan ini menang, wajar bila kader-kader partai pendukung dimasukkan dalam kabinet, sebagai salah satu strategi presiden untuk tetap mengikat dukungan partai koalisi pemerintahan. Dukungan ini ditujukan untuk memudahkan disetujui kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering kali dihadang parlemen karena pertimbangan politik praktis. Bila pendukung pemerintah di parlemen lebih besar dibanding yang tidak mendukung, dipastikan lebih mudah bagi pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Namun kelemahannya, menteri yang berasal dari partai politik biasanya tidak menjalankan tugasnya secara optimal, karena dihadang berbagai kepentingan, terutama bila mereka menempati posisi yang memunculkan banyak vested interest, misalnya di bidang ekonomi. Posisi tersebut, seperti menteri keuangan, perindustrian, pertanian, perdagangan, serta meneg BUMN. Selain itu, posisi seperti menteri pertahanan juga seyogianya tidak diisi oleh partai politik, melainkan dari kalangan profesional yang kompeten di bidang tersebut. Kalau toh ada dari kalangan partai yang mumpuni pula, sebaiknya juga tetap diserahkan pada kalangan non-partai, sebab kepentingan politik praktis tidak boleh dimasukkan dalam pengambilan kebijakan di kementrian tersebut. Ini dimaksudkan untuk menghindari pencitraan politik dari golongan tertentu dengan pengambilan kebijakan-kebijakan yang populis, tapi mengabaikan rasionalitas kebijakan.

Karena itu, untuk urusan-urusan yang memunculkan vested interest yang besar, seyogianya diserahkan pada kalangan profesional yang kompeten, berintegritas, serta memiliki loyalitas. Kalangan profesional yang dipilih mestinya pula merupakan orang-orang yang punya pengetahuan politik, serta memiliki kemampuan negosiasi dan membentuk jaringan di parlemen. Sebab, kalangan profesional yang memiliki hubungan baik dengan anggota dewan, serta diakui keahliannya oleh publik, bisa mereduksi pertentangan antara kepentingan politik praktis dengan kepentingan kementrian itu sendiri dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan publik, bukan kepentingan golongan politik tertentu. []

21 Juli, 2009

Investasi dan Stabilitas Keamanan

Dimuat di Seputar Indonesia, 21 Juli 2009

Dalam teori ekonomi konvensional, salah satu cara menghitung pendapatan nasional adalah menjumlahkan sisi pengeluaran yang terdiri dari sektor konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor bersih. Dari keempat sektor tersebut, salah satu yang terpenting adalah investasi, sebab dampak yang dimunculkan dalam perekonomian relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Peningkatan investasi, terutama pada perusahaan padat karya, dapat secara cepat meningkatkan pula penyerapan tenaga kerja baik yang baru masuk pasar tenaga kerja maupun yang menjadi pengangguran. Karena itu, pangsa investasi terhadap Pendapatan Nasional Bruto semestinya lebih tinggi dibanding sektor lainnya.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi langsung, terutama di sektor padat karya, sangat diperlukan agar dapat menyerap tambahan tenaga kerja tiap tahun yang berjumlah 2 juta orang, serta angka pengangguran yang masih sebanyak 9 juta orang. Sumber investasi ini dapat berasal dari dalam ataupun luar negeri. Tentu saja, tidak perlu ada perlakuan khusus pada keduanya, sehingga masing-masing punya kesempatan untuk menggerakkan perekonomian bangsa.

Namun disadari bahwa meningkatkan investasi bukanlah pekerjaan mudah, sebab ditentukan oleh banyak faktor terutama suku bunga bank dan iklim investasi. Pertama, untuk meningkatkan investasi, lembaga keuangan terutama bank, berperan menyuplai likuiditas kepada (calon) pengusaha agar aktivitas produksi meningkat. Agar dunia usaha meningkatkan permintaan likuiditas, perbankan harus memberikan insentif, yakni penurunan suku bunga kredit. Makin rendah suku bunga kredit, makin besar insentif bagi (calon) pengusaha, demikian pula sebaliknya. Karena itu, bank harus menurunkan suku bunga kredit dari posisi yang selama ini masih berkisar 12 – 13 persen menjadi 8 – 10 persen. Lagi pula, Bank Indonesia sudah menurunkan BI rate hingga posisi saat ini menjadi 6,75 persen.

Kedua, iklim investasi punya peran utama dalam menentukan besar kecilnya investasi langsung. Bila suku bunga kredit sudah turun, belum tentu investasi dapat meningkat. Sebagaimana dalam teori ekonomi makro, hubungan antara suku bunga kredit dengan tingkat investasi bersifat tidak langsung. Antara suku bunga dengan tingkat investasi, terdapat faktor lain yang menentukan, yakni RoI (Return on Investment) atau tingkat pengembalian investasi. Bila suku bunga kredit turun, lalu RoI lebih tinggi dibanding suku bunga, maka investasi meningkat. Hal ini terjadi karena kalangan (calon) pengusaha lebih untung bila menanamkan dananya untuk melakukan kegiatan bisnis ketimbang menyimpan di bank. Sebaliknya, bila suku bunga kredit naik, lalu RoI lebih rendah dibanding suku bunga, maka investasi menurun karena kalangan (calon) pengusaha lebih senang menyimpan dananya di bank ketimbang melakukan investasi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi RoI adalah risiko berusaha. Risiko berusaha sangat tergantung pada kondisi keamanan dan politik suatu wilayah. Makin aman dan kondusif suatu wilayah, makin rendah risiko berusaha di wilayah tersebut, sehingga memberikan insentif yang lebih besar dalam berinvestasi. Kita tahu, Indonesia baru saja mengalami pengalaman memilukan berupa aksi teror (pemboman) di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Kejadian ini akan menjadi stigma negatif bagi Indonesia di mata investor, terutama investor asing. Karena itu, langkah penting yang wajib dilakukan pemerintah adalah menunjukkan kepada investor bahwa pemerintah bisa menguasai keadaan dan dapat memulihkannya seperti keadaan semula dalam waktu relatif singkat. Pemerintah harus segera menemukan pelaku teror, lalu mengadili sesuai hukum yang berlalu. Di bidang ekonomi, pemerintah perlu menjaga stabilitas indikator makro, terutama posisi nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Terjaganya posisi nilai tukar rupiah akan memberikan kepercayaan pada pelaku usaha asing untuk tetap memegang rupiah dan memiliki aset berdenominasi rupiah. Pun, yang terpenting, pemerintah perlu memberikan jaminan keamanan kepada investor-investor baik asing maupun domestik, agar aktivitas ekonominya dapat terus berjalan. []

11 Juli, 2009

Mengawal Jalannya Proses Perhitungan Suara

Dimuat di Seputar Indonesia, Sabtu 11 Juli 2009

Pesta demokrasi terbesar di negeri ini telah berlangsung 8 Juli kemarin. Meski masih terjadi banyak kekurangan, pemilihan presiden secara langsung ini berjalan dengan lancar dan tertib. Rakyat yang berusia 17 tahun ke atas, berbondong-bondong mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk memilih pemimpinnya. Inilah masa di mana rakyat menentukan kandidat terbaik yang akan memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Tentunya, sebagai bangsa yang baru satu dekade mengalami reformasi, kemajuan yang dicapai dalam demokratisasi ini patut disyukuri.

Namun perlu diketahui bahwa pemilihan umum presiden merupakan prosesi yang melibatkan banyak pihak, serta rawan terjadi kecurangan yang dilakukan pihak satu ke pihak lainnya. Pun, kerap kali panitia pelaksana pemilu pun belum siap secara utuh melaksanakan pesta rakyat ini sehingga pihak yang berkompetisi merasa dirugikan, seperti kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dipermasalahkan oleh sejumlah calon presiden. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, masa pencontrengan telah usai. Kalau pun DPT masih dipermasalahkan, tentu ada mekanisme yang telah disediakan untuk menyelesaikan masalah ini.

Kini, fokus perhatian beralih pada perhitungan suara yang diperoleh masing-masing calon. Setelah diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi, sejumlah lembaga survei melakukan perhitungan cepat, lalu memublikasikan hasilnya bertepatan dengan hari pencontrengan. Kita mafhum, penggunaan metode perhitungan cepat bukanlah hal yang patut ditolak. Pasalnya, belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, hasil perhitungan manual KPU hampir sama dengan hasil perhitungan cepat yang dilakukan lembaga survei. Pun, perhitungan cepat ini menggunakan metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Tapi, tetap saja yang dijadikan acuan resmi adalah hasil perhitungan manual KPU. Karena itu, setiap pihak yang berkepentingan harus menunggu hasil resmi yang dikeluarkan KPU. Selama masa tunggu tersebut, dibutuhkan ketenangan oleh masing-masing pihak, serta yang terpenting adalah mengawasi perhitungan suara manual yang dilakukan KPU.

Perhitungan suara manual inilah yang patut dikawal oleh pihak-pihak yang berkepentingan, sebab proses ini sering kali diwarnai kecurangan. Kita perlu belajar dari pemilu legislatif, di mana ditemukan berbagai pelanggaran dalam masa perhitungan suara manual, seperti indikasi penggelembungan suara, rusaknya segel kotak suara, dan lain-lain. Tentunya kejadian ini akan merugikan masyarakat dan pihak-pihak yang berkompetisi.

Karena itu dibutuhkan kerja sama dari setiap pihak dalam mengawal proses perhitungan suara dari tingkat TPS sampai tingkat nasional ini. Pihak-pihak yang berperan dalam mengawal proses tersebut adalah kader partai, simpatisan partai, petugas keamanan, KPU, dan masyarakat umum. Tentu masing-masing pihak memiliki peran yang diemban, di mana bila dijalankan dengan optimal, kecurangan dalam proses perhitungan suara dapat diminimalkan. []

01 Juli, 2009

Saling Adu Program Antar Kandidat

Dimuat di Seputar Indonesia, Rabu 1 Juli 2009

Program kerja para kandidat presiden dan wakil presiden merupakan turunan konkret dari visi. Dalam ilmu perencanaan pembangunan, visi ditempatkan pada urutan paling atas dan didefinisikan sebagai impian yang akan dicapai. Sementara itu, program ditempatkan dalam urutan bawah yang menunjukkan hal-hal konkret yang akan dilakukan sebagi turunan dari visi. Dari visi ke program, sebetulnya masih terdapat sejumlah perantara, berturut-turut seperti misi, tujuan, dan strategi.

Siapapun tahu, para calon presiden dan wakil presiden merupakan tokoh-tokoh yang ingin membaktikan dirinya untuk bangsa dan negara. Visi untuk menciptakan Indonesia maju dan sejahtera misalnya, masing-masing dimiliki para calon tersebut. Hanya saja, belumlah cukup bila hanya membuat visi karena masih sangat abstrak, sehingga masih perlu diturunkan. Selain itu, rakyat belum bisa menentukan pilihannya secara cerdas bila informasinya hanya berdasarkan visi, sebab apa yang terdapat pada visi merupakan impian yang sangat ideal. Pun, rakyat tidak bisa membedakan mana calon terbaik yang akan dipilih, sebab masing-masing menjanjikan visi yang hampir seragam.

Karena itu, bila masyarakat sudah mengetahui visi para calon, hal selanjutnya yang harus diketahui adalah bagaimana cara para calon untuk mencapai visi tersebut. Seperti dijelaskan sebelumnya, salah satu turunan visi yang tergolong urutan bawah dan bersifat konkret adalah program. Mengapa program harus diketahui? Kita tahu bersama bahwa bila para calon pemimpin memiliki visi yang sama, maka belum tentu mereka memiliki jalur yang sama untuk mencapainya. Pemilihan jalur inilah yang akan menentukan pilihan masyarakat karena dapat memberikan informasi mengenai kualitas calon.

Dari penyusunan jalan ini, setidaknya terdapat tiga pola yang dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih. Pertama, berada pada jalur benar (on the right track) dan cepat merealisasikan impiannya. Kedua, berada pada jalur benar, tapi lambat merealisasikan impiannya. Ketiga, tidak berada dalam jalur benar sehingga impiannya tidak terealisasi. Tentu saja, masyarakat menginginkan pola yang pertama, di mana pemimpin menciptakan jalur yang benar dan melaksanakannya secara cepat, agar masyarakat bisa segera memperoleh manfaat dari kepemimpinannya.

Dalam konteks inilah, program-program para capres perlu ditampilkan ke publik. Akan lebih baik bila program-program ini diadu satu sama lain, sehingga rakyat bisa menilai jalur terbaik yang dipilih masing-masing capres dalam merealisasikan impiannya. Dalam ranah yang lebih sederhana misalnya, untuk menuju Indonesia yang maju dan sejahtera, maka kemiskinan harus dikurangi sekecil mungkin. Tapi, bagaimana cara mengurangi kemiskinan? Tentu saja, masing-masing pasangan capres dan cawapres punya cara berbeda, yang nantinya terlihat pada program pengentasan kemiskinan. Dalam konteks inilah, program-program para capres perlu dibedah dan diadu satu sama lain, sehingga masyarakat bisa menentukan pemimpin yang terbaik dengan melihat cara-cara konkret masing-masing calon dalam menyelesaikan permasalahan bangsa.