Dimuat di Seputar Indonesia, Kamis 14 Mei 2009
Bagi yang menekuni ilmu ekonomi, tentu tidak asing lagi dengan hipotesis Simon Kuznets. Ekonom ini mengatakan, kenaikan pendapatan akan berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan sampai mencapai titik puncak. Bila pendapatan masih naik setelah titik puncak, kerusakan lingkungan akan berkurang. Dalam bentuk grafik, hipotesis ini digambarkan dengan kurva U terbalik atau inverted U.
Kita boleh sepakat atau tidak dengan hipotesis tersebut. Namun kenyataannya, kerusakan lingkungan memang merupakan fenomena yang dialami di negara-negara berkembang, yang notabene sedang gencar membangun. Pada kenyataannya, sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia, memang memiliki sumber daya alam melimpah dan tenaga kerja yang relatif banyak. Dengan menggunakan faktor produksi tersebut, negara berkembang berpacu untuk membangun perekonomiannya, meski kerap kali harus mengorbankan lingkungan.
Hal ini bisa dilihat pada aktivitas seperti penebangan hutan secara cepat, eksploitasi barang tambang, eksploitasi sumber daya laut, pencemaran lingkungan (terutama pencemaran industri dalam limbah publik), dan masih banyak lagi aktivitas lainnya yang merusak lingkungan. Tak heran bila kerap kali terjadi fenomena bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan yang paling parah adalah pemanasan global yang menyentuh hajat hidup orang banyak.
Dengan menilik permasalahan di atas, sebagian besar ternyata merupakan aktivitas ekonomi, baik yang dilakukan pemerintah, industri maupun masyarakat. Aktivitas ini dilakukan terutama untuk mencapai kemakmuran, meski harus mengorbankan lingkungan. Namun hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi mengingat kerusakan lingkungan bisa mengancam keselamatan umat manusia. Selain itu, aktivitas ekonomi pun tidak akan berlanjut lagi bila lingkungan mengalami kerusakan. Sebab, tidak mungkin produksi bisa jalan bila lingkungan (sumber daya alam) sudah habis.
Satu-satunya paradigma pembangunan yang bisa menyelamatkan lingkungan adalah paradigma pembangunan berkelanjutan. Paradigma ini menempatkan lingkungan bukan sebagai objek yang dieksploitasi sebesar-besarnya atau dihabiskan sekaligus, melainkan sesuatu yang harus terus ada, sehingga kemakmuran pun tetap berlanjut. Memang ini bukan paradigma baru, tapi tetap saja belum diimplementasikan di negeri ini.
Di dalam konstitusi, memang sudah disebutkan bahwa pembangunan harus berlanjut dengan wawasan lingkungan. Di tambah lagi dengan berbagai peraturan seperti peraturan kehutanan, tata ruang, dan lain-lain. Dengan kata lain, kelestarian lingkungan yang tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi, sebetulnya sudah ada aturannya. Namun persoalannya, pelaksanaan di masing-masing departemen teknislah yang bermasalah. Masih kerap ditemui pejabat negara yang tidak tahan godaan suap bila berhadapan dengan kepentingan pengusaha. Inilah tugas berat yang harus diselesaikan bagi siapa pun presiden yang terpilih. []
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/238273/
Bagi yang menekuni ilmu ekonomi, tentu tidak asing lagi dengan hipotesis Simon Kuznets. Ekonom ini mengatakan, kenaikan pendapatan akan berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan sampai mencapai titik puncak. Bila pendapatan masih naik setelah titik puncak, kerusakan lingkungan akan berkurang. Dalam bentuk grafik, hipotesis ini digambarkan dengan kurva U terbalik atau inverted U.
Kita boleh sepakat atau tidak dengan hipotesis tersebut. Namun kenyataannya, kerusakan lingkungan memang merupakan fenomena yang dialami di negara-negara berkembang, yang notabene sedang gencar membangun. Pada kenyataannya, sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia, memang memiliki sumber daya alam melimpah dan tenaga kerja yang relatif banyak. Dengan menggunakan faktor produksi tersebut, negara berkembang berpacu untuk membangun perekonomiannya, meski kerap kali harus mengorbankan lingkungan.
Hal ini bisa dilihat pada aktivitas seperti penebangan hutan secara cepat, eksploitasi barang tambang, eksploitasi sumber daya laut, pencemaran lingkungan (terutama pencemaran industri dalam limbah publik), dan masih banyak lagi aktivitas lainnya yang merusak lingkungan. Tak heran bila kerap kali terjadi fenomena bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan yang paling parah adalah pemanasan global yang menyentuh hajat hidup orang banyak.
Dengan menilik permasalahan di atas, sebagian besar ternyata merupakan aktivitas ekonomi, baik yang dilakukan pemerintah, industri maupun masyarakat. Aktivitas ini dilakukan terutama untuk mencapai kemakmuran, meski harus mengorbankan lingkungan. Namun hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi mengingat kerusakan lingkungan bisa mengancam keselamatan umat manusia. Selain itu, aktivitas ekonomi pun tidak akan berlanjut lagi bila lingkungan mengalami kerusakan. Sebab, tidak mungkin produksi bisa jalan bila lingkungan (sumber daya alam) sudah habis.
Satu-satunya paradigma pembangunan yang bisa menyelamatkan lingkungan adalah paradigma pembangunan berkelanjutan. Paradigma ini menempatkan lingkungan bukan sebagai objek yang dieksploitasi sebesar-besarnya atau dihabiskan sekaligus, melainkan sesuatu yang harus terus ada, sehingga kemakmuran pun tetap berlanjut. Memang ini bukan paradigma baru, tapi tetap saja belum diimplementasikan di negeri ini.
Di dalam konstitusi, memang sudah disebutkan bahwa pembangunan harus berlanjut dengan wawasan lingkungan. Di tambah lagi dengan berbagai peraturan seperti peraturan kehutanan, tata ruang, dan lain-lain. Dengan kata lain, kelestarian lingkungan yang tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi, sebetulnya sudah ada aturannya. Namun persoalannya, pelaksanaan di masing-masing departemen teknislah yang bermasalah. Masih kerap ditemui pejabat negara yang tidak tahan godaan suap bila berhadapan dengan kepentingan pengusaha. Inilah tugas berat yang harus diselesaikan bagi siapa pun presiden yang terpilih. []
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/238273/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar