21 April, 2010

Aparat sebagai Pelayan

Seputar Indonesia, 20 April 2010

Telah umum diketahui, aparatur atau aparat negara merupakan pelayan rakyat. Gaji yang dibayarkan kepada aparat beserta fasilitas-fasilitas yang menyertainya didanai oleh uang rakyat melalui pajak. Karena itu, sebagai pelayan rakyat, sudah seharusnya sikap yang ditunjukkan oleh aparat pemerintah kepada rakyat, layaknya seorang pelayan terhadap tuannya. Bukan sebaliknya, dimana aparat seolah-oleh menjadi tuan, sementara rakyat dianggap sebagai pelayan yang kerap diperlakukan secara tidak adil.

Namun kerusuhan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok pada 14 April yang lalu menunjukkan suatu ironi, dimana rakyat diperlakukan secara tidak adil oleh aparat. Aparat, dalam hal ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), memperlakukan warga pengajian di makam Mbah Priok dengan anarkis dan tak berprikemanusiaan. Yang disayangkan, reaksi warga terhadap perlakuan aparat cukup berlebihan, sehingga mengakibatkan tewasnya 3 orang Satpol PP. Kerugian ini bertambah dengan hilangnya sejumlah peralatan Satpol PP, seperti 24 unit truk, 43 unit mobil Panther, 14 unit mobil KIA, 2 unit mobil kijang, 1 unit motor, dan sejumlah peralatan lainnya. Tentu saja, kerugian tersebut pada akhirnya dibebankan lagi kepada rakyat melalui pungutan pajak.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat tentu bukan ini kali ini saja. Kadang rakyat bereaksi keras terhadap tindakan aparat, kadang juga rakyat pasrah. Memang kecil kemungkinan muncul kerusuhan bila rakyat pasrah. Sementara bila rakyat melawan, biasanya akan berdampak negatif bagi ketertiban, bahkan tak jarang ada korban jiwa, sebagaimana kerusuhan di Koja kemarin. Berkaca pada hal tersebut, tentu aparat harus bersikap bijaksana bila menghadapi kondisi tersebut, baik saat rakyat pasrah maupun melawan.

Saat rakyat pasrah, barangkali rakyat memang bersalah atau melanggar aturan, sehingga tidak akan melawan bila ditertibkan. Akan tetapi, bisa pula rakyat tidak melawan karena mereka lemah, meski berada di pihak yang benar. Posisi rakyat demikian kerap dimanfaatkan oleh aparat dengan berbuat tidak adil demi keuntungan pemerintah atau pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah perlunya kepedulian aparat terhadap warga yang lemah tersebut, dengan memberikan hak-hak yang patut dimilikinya. Adapun mengenai rakyat yang memang melanggar aturan, tentu tetap harus mendapatkan perlindungan dari negara.

Sementara itu, saat rakyat melawan aparat, berarti rakyat merasa benar dan mereka memang memiliki kekuatan untuk melawan. Bila aparat bertindak keras, reaksi yang muncul dari rakyat bisa jadi lebih keras lagi. Dalam hal ini, aparat tidak bisa mengedepankan kekuatan fisik atau kekerasan, tapi lebih pada dialog untuk mencapai kesepakatan. Tak bisa dimungkiri, penyelesaian persoalan harus mengedepankan kompromi, sebab setiap pihak merasa benar. Kesepakatan yang dicapai dengan dialog tentu saja harus bisa diterima oleh kedua belah pihak. Yang terpenting pula, perlunya setiap pihak patuh pada kesepakatan tersebut.

Hal ini hanya bisa dilaksanakan bila aparat pemerintah memegang prinsip bahwa rakyat adalah pihak yang harus mereka layani. Pelayanan terbaik kepada rakyat menandakan bahwa aparat mengerti tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan yang insentif dari pelaksanaan tugas tersebut didanai oleh uang rakyat itu sendiri. []

01 April, 2010

Pembangunan, Lingkungan, dan Teknologi

Seputar Indonesia, 30 Maret 2010

Perbincangan mengenai pentingya menjaga kelestarian lingkungan memang sedang marak saat ini. Pasalnya, seiring dengan meningkatnya kemakmuran masyarakat, ternyata terjadi pula peningkatan kerusakan lingkungan hidup. Akan tetapi, secara teoritis, masyarakat yang semakin makmur juga akan berupaya menjaga kelestarian lingkungan.

Hal inilah yang digambarkan oleh Simon Kuznets dalam kurva U terbalik, dimana pendapatan di sumbu horisontal dan kerusakan lingkungan di sumbu vertikal. Kenaikan pendapatan dari posisi nol akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Sampai pada tingkat tertentu, peningkatakan pendapatan justru menurunkan tingkat kerusakan lingkungan.

Hubungan positif antara pendapatan dan kerusakan lingkungan dapat dijelaskan secara sederhana. Telah umum diketahui, sumber daya alam merupakan salah satu faktor produksi. Secara teoritis, peningkatan jumlah output selalu dibarengi dengan peningkatakan input, salah satunya adalah sumber daya alam. Nah, semakin tinggi jumlah output, makin tinggi pula eksploitasi terhadap sumber daya alam. Lingkungan akan terkena dampak negatif bila para pelaku ekonomi hanya berpikir untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari eksploitasi sumber daya alam.

Namun sampai pada tingkat pendapatan tertentu, masyarakat akan merasakan dampak negatif dari kerusakan lingkungan. Karena itu, muncul kesadaran untuk menjaga kelesatarian lingkungan. Tingkat kemakmuran yang tinggi akan memicu investasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga produksi akan tetap bertumbuh meski penggunaan faktor produksi lain diminimalkan. Adapun pendapatan yang terus meningkat, juga dapat digunakan untuk melakukan perawatan terhadap lingkungan sebagai kompensasi atas eksploitasi yang dilakukan.

Berkaca pada analisis di atas, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah perlunya muncul kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sekaligus meningkatkan investasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga seiring dengan peningkatan produksi. Hal yang penting pula diperhatikan adalah perlunya menciptakan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Telah umum diketahui, aktivitas produksi pastinya akan memunculkan residu, yakni energi yang tidak terbuang dari proses produksi. Residu inilah yang menjadi polusi, yang tidak hanya mencemari lingkungan tapi juga berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan manusia di sekitarnya.

Keberadaan teknologi yang ramah lingkungan seyogiaya dapat meminimalkan residu yang terjadi dari aktivitas produksi, serta mendesain agar residu tersebut tidak berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Nah, tentu saja investasi terhadap teknologi yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan bila memang kita berniat untuk meningkatkan aktivitas produksi, sekaligus tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Dalam konteks yang lebih makro, tentu saja Indonesia tidak perlu menunggu sampai menjadi negara maju, lalu baru peduli terhadap lingkungan. Pasalnya, bila memang perusahaan-perusahaan di Indonesia mampu mendesain teknologi produksi yang ramah lingkungan, tentu kerusakan lingkungan bisa diminimalkan. Begitupun, saat mulai melakukan suatu aktivitas produksi, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penegakannya merupakan langkah awal untuk tetap menjaga kualitas lingkungan hidup.[]