11 Oktober, 2016

Menciptakan Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru

Dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2016 lalu, Presiden Jokowi menyampaikan perlu percepatan pembangunan nasional untuk memutus rantai kemiskinan, pengangguran, serta ketimpangan dan kesenjangan sosial. Menurut Presiden, permasalahan ini sudah ada sejak lama, tetapi belum terselesaikan hingga sekarang.

Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan pada Maret 2016 sebesar 10,86 % dengan jumlah penduduk miskin 28,01 juta orang. Angka ini turun dibanding 10 tahun lalu, dimana tingkat kemiskinan sebesar 17,75 % dan jumlah penduduk miskin sekitar 39,3 juta orang pada Maret 2006. Sementara tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2016 sebesar 5,5 % dengan jumlah penganggur sekitar 7,02 juta orang. Angka ini juga turun dibanding 10 tahun lalu, dimana tingkat pengangguran terbuka sebesar 10,45 % dan jumlah penganggur sekitar 11,1 juta orang pada Februari 2006. Data ini menunjukkan penurunan persentase dan jumlah penduduk miskin dan menganggur selama kurun waktu 10 tahun, meski beberapa kalangan menilai pencapaian ini belum memuaskan. 

Yang menarik dicermati adalah permasalahan ketimpangan pengeluaran yang diukur dengan koefisien gini. Berdasarkan data BPS, Koefisien Gini pada September 2015 sebesar 0,40. Angka ini justru lebih tinggi dibanding beberapa tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2010 hanya sebesar 0,38 lalu meningkat hingga Maret 2015 sebesar 0,41. Ini menunjukkan makin buruknya ketimpangan pengeluaran selama periode 2010 – Maret 2015, meskipun sudah mulai membaik pada Periode Maret 2015 hingga September 2015.

Kemajuan perekonomian antar wilayah juga timpang. Berdasarkan data BPS, Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2015 disumbangkan oleh Jawa (58,2%), Sumatera (22,2%), Kalimantan (8,15%), Sulawesi 5,9%), dan wilayah lainnya (5,43%). Lebih dari setengah “kue” ekonomi Indonesia dihasilkan dan dinikmati penduduk di Jawa. Upaya pemerintah untuk memperbesar porsi luar Jawa nampaknya belum berhasil. Terbukti, kondisi sekarang lebih buruk dibanding tahun 2007, dimana sumbangan Jawa lebih kecil yakni 57,9%.  

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi ketimpangan. Dalam Nawacita, terdapat agenda membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah – daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Pembangunan bukan lagi Jawa sentris, tapi Indonesia sentris. Salah satu upaya pemerintah adalah membangun infrastruktur secara massif di luar Jawa yang menjangkau desa-desa, daerah pinggiran, dan wilayah perbatasan. Upaya lain yang sangat penting adalah menciptakan pusat – pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa.

KEK Sebagai Pusat Pertumbuhan Baru di Luar Jawa
Penciptaan pusat – pusat pertumbuhan ekonomi baru tercermin dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VI. Kebijakan ini bertujuan untuk memacu perekonomian di wilayah pinggiran melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Bentuk kebijakannya adalah pemberian fasilitas dan kemudahan untuk investasi di KEK yang diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus. Dengan fasilitas ini, KEK diharapkan dapat menarik investasi dan menjadi penggerak ekonomi di wilayah pinggiran.

Sesuai UU No. 39 Tahun 2009, KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum NKRI yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK menjadi “khusus” karena adanya fasilitas dan kemudahan yang komprehensif untuk investor, meliputi fasilitas fiskal (perpajakan, kepabeanan, dan cukai) dan non-fiskal (kemudahan pertanahan, keimigrasian, ketenagakerjaan, perizinan, dan lalu lintas barang). Selain itu, Pemerintah memprioritaskan dukungan infrastruktur konektivitas di luar KEK, seperti pelabuhan, jalan, rel kereta api, dan bandara, serta penyediaan energi seperti listrik dan gas. Infrastuktur konektivitas yang memadai akan menjadikan biaya logistik lebih murah. Adanya fasilitas dan kemudahan yang komprehensif serta dukungan infrastruktur konektivitas tersebut akan meningkatkan daya saing investor di KEK.

Berdasarkan data Sekretariat Dewan Nasional KEK, saat ini telah ditetapkan 10 KEK di Indonesia, meliputi Sei Mangkei di Sumatera Utara, Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan, Tanjung Kelayang di Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Maloy Batuta Trans Kalimantan di Kalimantan Timur, Palu di Sulawesi Tengah, Bitung di Sulawesi Utara, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Morotai di Maluku Utara, dan Sorong di Papua Barat. Dengan persebaran 10 KEK di setiap pulau besar di Indonesia ini, utamanya di luar Jawa, keberhasilan KEK tentu akan berdampak langsung pada peningkatan perekonomian wilayah dan memajukan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Perekonomian wilayah di luar Jawa akan tumbuh lebih cepat serta lebih banyak penduduk yang akan menikmati “kue” ekonomi.  

Namun disadari dampak signifikan KEK belum dirasakan saat ini mengingat pengembangannya masih relatif baru. Dari 10 KEK, hanya Sei Mangkei dan Tanjung Lesung yang sudah beroperasi dan siap menerima investor, sedangkan 8 KEK lainnya masih dibangun. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pengembang KEK masih harus bekerja keras untuk memastikan peningkatan investasi di 2 KEK yang sudah beroperasi, serta memastikan agar 8 KEK bisa dibangun dan dioperasikan sesuai target. Untuk itu, Pemerintah sebaiknya memfokuskan sumber daya untuk menyukseskan KEK yang sudah ada daripada membentuk KEK baru. Alasannya sederhana, meski KEK diprioritaskan, tetap saja anggaran Pemerintah terbatas untuk mendukung infrastruktur konektivitas KEK. Selain itu, dikhawatirkan pemerintah tidak fokus menyelesaikan permasalahan spesifik di setiap KEK sehingga berpotensi menghambat kemajuan KEK.       

Kita tentu berharap dengan keberhasilan KEK ini bisa berkontribusi dalam memutus rantai kemiskinan, pengangguran, serta ketimpangan dan kesenjangan sosial. []

Menjaga Pertumbuhan Ekonomi

Pemerintah baru-baru ini menyatakan asumsi target pertumbuhan ekonomi tahun 2016 akan direvisi dari 5,2% menjadi 5,1%. Padahal pada Juli lalu, Pemerintah telah merevisi asumsi target pertumbuhan ekonomi dari 5,3% (APBN 2016) menjadi 5,2% (APBN Perubahan 2016).

Beberapa lembaga memproyeksi adanya perlambatan ekonomi. Dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada Agustus 2016, BI menurunkan target pertumbuhan ekonomi dari 5%-5,4% menjadi 4,9%-5,3%. Jika diambil nilai tengah, pertumbuhan turun dari 5,2% menjadi 5,1%. Menurut BI, penurunan proyeksi disebabkan pemangkasan belanja pemerintah, tekanan ekonomi global, dan investasi swasta yang masih proses pemulihan. Sementara dalam laporan ekonomi kuartalan pada Maret dan Juni 2016, Bank Dunia mematok proyeksi pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,1%.

Bila melihat ke belakang, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan. Data BPS menunjukkan penurunan pertumbuhan dari tahun 2011 (6,5%), 2012 (6,23%), 2013 (5,78%), 2014 (5,02%), dan 2015 (4,79%). Pemerintah dan BI menilai tahun 2015 sebagai titik terendah perlambatan ekonomi sehingga di tahun 2016 dan ke depan, ekonomi mulai bangkit. Pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi di atas 5%. 

Pelemahan Ekonomi Global
Kondisi ekonomi global yang diperkirakan mulai pulih tahun ini sejak krisis keuangan global tujuh tahun lalu tampaknya belum terjadi. Dalam Laporan Global Economic Prospect pada Juni 2016, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun 2016 mengalami penurunan dari 2,9% (prediksi Januari 2016) menjadi 2,4% (prediksi Juni 2016). Proyeksi ini berdasarkan beberapa kondisi seperti melambatnya pertumbuhan di negara-negara maju, harga komoditas yang tetap rendah, lemahnya perdagangan global, dan arus modal yang berkurang.

Pelemahan ekonomi global ini memicu pelemahan nilai ekspor Indonesia ke sejumlah negara tujuan ekspor utama, seperti Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan India. Berdasarkan data BPS, pada periode Januari – Juli 2016, nilai ekspor Indonesia ke empat negara tujuan utama yang pangsanya sekitar 40% dari total nilai ekspor Indonesia, masing-masing mengalami penurunan, yaitu Tiongkok (-9,6%), Jepang (-6,2%), Amerika Serikat (-1,5%), dan India (-30%) dibanding periode yang sama tahun 2015. Pada periode Januari – Juli 2016, akumulasi nilai ekspor Indonesia sebesar USD 79,08 miliar atau turun 12% dibanding periode yang sama tahun 2015. Meski terjadi penurunan ekspor, neraca perdagangan masih surplus sebesar USD 4,1 miliar untuk akumulasi periode Januari – Juli 2016. Namun angka surplus ini turun sekitar 30% dibanding periode yang sama tahun 2015.   

Pemotongan Belanja
APBN memainkan peran penting dalam menstimulus perekonomian melalui investasi dan konsumsi pemerintah. Di tengah melambatnya kinerja perdagangan internasional yang disebabkan pelemahan ekonomi global, peran APBN mestinya dapat ditingkatkan. Ironisnya, Pemerintah memotong belanja Rp. 133,8 triliun untuk menjaga kredibilitas APBN akibat dari kemungkinan melesetnya target penerimaan pajak sebesar Rp. 219 triliun.    

Revisi target pendapatan dan belanja sebenarnya telah dilakukan di APBN-P 2016. Pendapatan turun dari Rp 1.822,5 triliun menjadi Rp. 1.786,2 triliun atau berkurang Rp. 36,3 triliun, sedangkan belanja turun dari Rp. 2.095,7 triliun menjadi 2.082,9 triliun atau berkurang Rp. 12,8 triliun. Karena pengurangan pendapatan lebih besar dari belanja, maka defisit naik dari Rp. 273,1 triliun (2,15% PDB) menjadi Rp. 296,7 triliun (2,35% PDB) atau bertambah Rp. 23,6 triliun. Revisi APBN-P masih diwarnai optimisme sehingga target pendapatan hanya berkurang sedikit. Lebih rinci, pengurangan pendapatan terdiri dari pajak Rp. 7,5 triliun dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp. 28,8 triliun. Besaran pengurangan pajak ini jauh lebih rendah dibanding proyeksi shortfall pajak yang belakangan baru disampaikan Pemerintah.  

Menjaga Pertumbuhan
Pemotongan belanja berpotensi berdampak pada penurunan pendapatan nasional. Meski pemotongan belanja tidak menyentuh program prioritas, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, tapi pasti berpengaruh ke pelaku usaha dan rumah tangga. Pemotongan belanja yang sifatnya konsumtif seperti perjalanan dinas dan konsinyering di hotel akan mengurangi permintaan terhadap transportasi dan hotel yang notabene terkait dengan banyak aktivitas ekonomi lain. Bahkan belanja infrastruktur yang dianggap prioritas pun akan diseleksi sangat ketat, sehingga beberapa proyek akan dikurangi volume-nya atau ditunda.


Diperlukan upaya ekstra keras Pemerintah untuk menjaga pertumbuhan agar tidak melambat di tengah pelemahan ekonomi global dan keterbatasan anggaran. Pertama, penyerapan anggaran yang tersedia harus dimaksimalkan dan diprioritaskan untuk belanja yang produktif dan bernilai tambah tinggi bagi perekonomian. Kedua, memastikan pendapatan tidak semakin meleset dari target, di antaranya program Tax Amnesty harus berhasil. Ketiga, segera mengatasi penurunan neraca perdagangan, di antaranya dengan mengoptimalkan pemasaran ke negara alternatif tujuan ekspor sehingga tidak lagi tergantung pada Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, dan India. Keempat, pelaku usaha membutuhkan iklim investasi yang kondusif untuk memulai bisnis. Berbagai paket kebijakan meliputi deregulasi dan pemberian fasilitas/insentif harus dikawal Pemerintah dan dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku usaha sehingga dapat meningkatkan investasi. []