11 Juni, 2008

Perang Melawan Inflasi

Seputar Indonesia, 11 Juni 2008
Salah satu masalah ekonomi yang sangat berbahaya bagi kesejahteraan masyarakat adalah inflasi. Sebab, inflasi yang dianggap sebagai kecenderungan naiknya harga barang-barang secara umum, berdampak pada menurunnya kesejahteraan. Karena itu, pengambil kebijakan mesti memerangi inflasi agar stabilitas ekonomi tercipta.
Tingginya harga komoditas energi dan bahan pangan serta dampak kenaikan harga BBM memberi tekanan pada inflasi pada tahun ini. Sampai Mei 2008, inflasi kumulatif sudah mencapai 5,38%, sementara target pemerintah dan BI sebelum revisi adalah 6,5%. Pasca harga BBM naik, target inflasi direvisi hingga berkisar 10,9% -11,2%. Tentunya, hilangnya atau turunnya kesejahteraan masyarakat karena daya beli turun akan membebani masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah.
Salah satu kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter untuk mengendalikan inflasi adalah menaikkan suku bunga. Kebijakan menaikkan suku bunga acuan (BI rate) dari 8,25% menjadi 8,5%, dimaksudkan agar penawaran uang berkurang karena masyarakat mendapat insentif lebih tinggi untuk menaruh dana di perbankan. Bila uang beredar berkurang, diharapkan nilai uang terhadap komoditas kembali stabil. Bagi BI, tercapainya stabilitas perekonomian memang menjadi tugas utamanya. Stabilitas ini tercermin pada tingkat inflasi terkendali. Keberhasilan mengendalikan inflasi merupakan indikator keberhasilan kinerja BI yang secara kasatmata bisa dirasakan dan diamati publik.
Namun, sejumlah pengamat menganggap langkah ini tidak tepat di tengah ancaman stagnasi ekonomi dan masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Di tengah kondisi ini, perekonomian butuh insentif lebih tinggi untuk keluar dari jurang stagnasi atau melambat pertumbuhan. Karena itu, boleh dibilang kebijakan mengendalikan inflasi bukan tanpa risiko. Instrumen BI seperti kenaikan suku bunga akan menimbulkan dampak negatif pada dunia usaha. Pada umumnya, perbankan akan merespons dengan menaikkan suku bunga kredit, sehingga biaya modal pelaku usaha meningkat. Peningkatan ini berkorelasi dengan tersendatnya penyaluran kredit baik produktif maupun konsumtif. Sehingga, para investor yang berniat berusaha memilih membatalkan rencana dan para investor yang sudah eksis mendapat kesulitan dalam mengakses pembiayaan perbankan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kondisi dunia usaha pasca kenaikan suku bunga. Ekspektasi dunia usaha terhadap suku bunga yang berpeluang meningkat di masa mendatang, bisa mengubah keinginan investor menanam modal di sektor riil. Sebaliknya, ekspektasi ini mengarahkan investor menyimpan uang di perbankan karena berharap bisa memperoleh tingkat pengembalian yang relatif tinggi ketimbang investasi di sektor riil.
Karena itu, mengendalikan inflasi belumlah cukup dengan menaikkan suku bunga saja. Lagi pula, penyebab inflasi bukan hanya berasal dari kebijakan moneter seperti meningkatnya jumlah uang beredar ataupun rendahnya suku bunga. Kebijakan ini harus diikuti dengan kebijakan memperbaiki aspek-aspek yang menimbulkan inflasi seperti tidak lancarnya distribusi dan praktek ekonomi biaya tinggi yang terkait dengan kenaikan harga BBM.
Langkah ini perlu dilakukan agar pelaku usaha memiliki ekspektasi pada inflasi yang akan menurun di masa mendatang. Pelaku usaha yang bergerak di sektor riil, perlu diyakinkan agar tetap menahan investasi dengan upaya lain pemerintah yakni memperbaiki iklim investasi. Perbaikan dan pembangunan infrastruktur, perizinan usaha, dan keamanan merupakan indikator yang lebih penting ketimbang suku bunga. Karena itu, pemerintah bisa meyakinkan investor, meski harus menaikkan suku bunga agar inflasi terkendali dan ekonomi tetap tumbuh.