23 Januari, 2008

Pertumbuhan Ekonomi Meleset

Seputar Indonesia, Rabu 21 November 2007
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen tahun ini nampaknya tidak tercapai. Penurunan pertumbuhan ekonomi disinyalir karena tidak tercapainya target pertumbuhan investasi sebesar 12,3 persen. Padahal, pencapaian tingkat investasi tersebut berpengaruh signifikan pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi.

Penurunan investasi ditenggarai oleh kurang bergairahnya sektor riil. Investor baik asing maupun domestik masih lebih tertarik berinvestasi di sektor keuangan dibanding sektor riil. Salah satu buktinya, dana yang parkir di BI dalam bentuk instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia) semakin bertambah dan diperkirakan akan mencapai Rp 300 triliun. Padahal, jika dana sebesar itu diinvestasikan ke sektor riil, maka tenaga kerja yang terserap tentu sangat besar, serta bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Salah satu konsekuensi turunnya pertumbuhan ekonomi adalah berkurangnya daya serap tenaga kerja. Setiap satu persen pertumbuhan diasumsikan menyerap sekitar 300 ribu-350 ribu tenaga kerja baru. Berarti, capaian pertumbuhan berkisar 6,2 persen hanya bisa menyerap sekitar 2 juta orang dari sekitar 2,1 juta pencari kerja baru. Selebihnya, yakni 100 ribu tenaga kerja baru akan bernasib sama dengan sekitar 10 juta lebih pengangguran saat ini.

Peningkatan angka pengangguran dari tahun ke tahun merupakan pertanda kegagalan kebijakan makro pemerintah. Data BPS menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2001 terdapat sekitar 8 juta jiwa, 2002 (9,3 juta jiwa), 2003 (9,5 juta jiwa), 2004 (10,3 juta jiwa), dan tahun 2006 (10,9 juta jiwa). Jadi, sedikit keliru jika menganggap kebijakan ekonomi pemerintah selama ini berhasil jika ditinjau secara makro, sementara angka pengangguran dan kemiskinan mengalami tren peningkatan.

Memang, berbagai kebijakan untuk mendorong investasi telah dilakukan, termasuk menurunkan BI rate ke tingkat relatif rendah dengan harapan bisa menstimulus peningkatan signifikan kredit investasi. Namun, nampaknya tujuan tersebut masih sulit terjadi. Kenyataan sebaliknya, tingkat tabungan meningkat jauh lebih tinggi dibanding penyaluran kredit, di mana dana pihak ketiga di perbankan saat ini mencapai sekitar Rp 1.400 triliun, sementara penyaluran kredit sekitar Rp 950 triliun. Dana perbankan yang berlebih ini kemudian di parkir di BI dalam bentuk SBI.

Penurunan tingkat investasi juga ditenggarai ekspektasi lesunya perekonomian karena tingginya harga minyak dunia yang masih menyentuh level di atas USD 96 per barel. Perekonomian akan terkena imbas biaya tinggi karena harga energi meningkat, sehingga produksi barang dalam proses industrialisasi nasional berkurang. Ditambah lagi dengan menurunnya tingkat ekspor beberapa produk non-migas karena permintaan beberapa negara tujuan ekspor menurun. Sementara, pertumbuhan sektor-sektor yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja seperti pertanian dan manufaktur ikut melambat. Sektor pertanian diperkiran hanya tumbuh 2-3 persen, sedangkan sektor manufaktur tumbuh 5-7 persen hingga akhir tahun 2007.

Menuru penulis, langkah jangka pendek pemerintah mengantisipasi gejolak harga minyak dengan subsidi, sudah sangat tepat. Ini dimaksudkan agar perekonomian dalam negeri tidak mengalami kelesuan, sehingga kapisitas produksi barang pun terjaga. Kalaupun ada sedikit gejolak, maka masalah itu bisa diatasi dengan efisiensi. Selain itu, penciptaan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang didorong investasi riil juga sangat penting. Saat ini, pertumbuhan masih dominan dorongan konsumsi, sehingga pengaruhnya pada perluasan kesempatan kerja sedikit. Akibatnya, di saat pertumbuhan ekonomi turun sedikit, kesempatan kerja yang tercipta pun tidak mampu menyerap jumlah angkatan kerja. Nampaknya, ini menjadi tugas berat pemerintah.

Resesi AS dan Ekonomi Kita

Seputar Indonesia, Jumat 25 Januari 2008
Kekhawatiran terjadinya resesi di Amerika Serikat (AS) yang akan berdampak negatif pada perekonomian Indonesia memang perlu dicermati. Pasalnya, keberadaan AS dengan perekonomian paling besar di dunia turut mempengaruhi kondisi ekonomi negara lain khususnya yang menjalin kerja sama ekonomi. Karena itu, tiap negara harus mengantisipasi dan mempersiapkan strategi agar dampak negatif bila ekonomi AS mengalami resesi bisa diminimalisir.
Perekonomian AS memang berpeluang besar mengalami resesi setelah ditimpa beberapa fenomena ekonomi seperti krisis kredit macet perumahan, kenaikan harga minyak mentah, dan jatuhnya harga saham di pasar modal AS. Akibatnya, tanda-tanda menuju resesi makin jelas dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa kuartal terakhir. Bahkan, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tahun ini sebesar 2,8% telah dikoreksi menjadi 2,2%. Untuk mencegah perekonomian makin buruk, reaksi Bank Sentral AS dengan menurunkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,5% (lebih awal dari yang dijadwalkan), memberi sinyal kuat kalau perekonomian AS sudah berada di ujung tanduk. Ini menandakan ancaman resesi benar-benar sudah di depan mata, serta nantinya mengakibatkan perlambatan ekonomi dunia, serta perekonomian negara lain.
Bagi Indonesia, AS merupakan mitra ekonomi utama khususnya dalam hubungan perdagangan. Data Januari-November 2007 menunjukkan total ekspor non-migas Indonesia ke AS mencapai USD 10.307,3 juta, terbesar kedua setelah Jepang. Karena itu, perlambatan ekonomi AS akan mempengaruhi volume perdagangan, dengan kata lain, akan menekan pertumbuhan ekspor Indonesia. Dampaknya sudah bisa dilihat dengan pertumbuhan ekspor ke AS pada 2007 hanya sebesar 5%, padahal biasanya angka pertumbuhan mencapai 10%.
Penurunan pertumbuhan ekspor secara langsung berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, sumbangan ekspor relatif tinggi ketimbang pertumbuhan konsumsi dan investasi. Apalagi dengan meningkatnya harga produk-produk ekspor di pasar internasional seperti kelapa sawit, batu bara, karet, dan beberapa produk primer lainnya. Peningkatan harga produk primer ini masih terkait dengan kenaikan harga minyak mentah, yang memaksa konsumen menggunakan sumber energi alternatif. Namun, perlu ditekankan lagi bahwa sumbangan ekspor pada pertumbuhan lebih disebabkan oleh kenaikan harga di pasar internasional ketimbang kenaikan volume ekspor. Karena itu, perlu dilakukan kebijakan strategis agar optimalisasi keuntungan bisa tercapai dengan meningkatkan volume produksi seiring dengan kenaikan harga produk-produk primer di pasar internasional.
Agar dampak gejolak eksternal bisa diminimalisir, pemerintah perlu mewaspadai dan menyiapkan strategi yang tepat khususnya bila ekonomi AS mengalami resesi. Memang, pencapaian indikator makro ekonomi yang dicapai pada 2007 relatif baik ketimbang tahun sebelumnya, seperti pertumbuhan ekonomi di level 6,3%, cadangan devisa USD 55 miliar, kurs rupiah stabil di level 9.100 per US dollar. Namun, tentunya pencapaian tersebut belum cukup kuat membentengi perekonomian nasional dari gejolak eksternal. Pemerintah masih perlu melakukan langkah-langkah antisipatif jangka pendek agar pengaruh negatifnya bisa diminimalisir. Sementara itu, fundamental ekonomi nasional harus dikuatkan dengan memosisikan rakyat sebagai pendorong utama kemajuan ekonomi, salah satunya dengan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor riil, yaitu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Dengan mengandalkan aktivitas ekonomi rakyat sebagai penopang perekonomian, maka pengaruh gejolak eksternal khususnya pada sektor finansial tidak berimbas negatif pada sektor riil.

19 Januari, 2008

Jadi Indikator Kemajuan Bangsa

Kompas Yogyakarta, 15 Desember 2006
Tak bisa dimungkiri perempuan sering kali menjadi obyek kekerasan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Berbagai kejadian telah menyadarkan kita betapa banyak perempuan menjadi korban kekerasan.
Hampir tiap hari kita mendengar berita perkosaan terhadap perempuan baik itu di televisi maupun surat kabar. Para tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri, khususnya yang ilegal, banyak dari mereka mendapat perlakuan kasar dari majikan, atau orang- orang yang memfasilitasi kerja ke luar negeri kerap kali memperlakukan TKW dengan tidak senonoh. Perempuan dijadikan obyek kekerasan, termasuk yang dilakukan oleh laki-laki yang memperturutkan nafsu syahwat.
Kejadian-kejadian yang menimpa perempuan seperti di atas mengindikasikan ketidakberhasilan pemerintah memberikan perlindungan kepada perempuan. Lalu, di mana kinerja menteri yang khusus memberdayakan perempuan? Bukankah perempuan dari dulu sampai sekarang masih termarjinalkan. Ironis, ketika isu poligami mencuat, pemerintah dengan gesit berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 berkaitan dengan perkawinan dan perceraian oleh pegawai negeri sipil (PNS) yang akan diperlakukan secara umum.
Berbeda dengan isu perkosaan, pelecehan seksual, pengeksploitasian yang hampir tiap hari terjadi, sama sekali tidak bisa dikurangi malah kejadian-kejadian ini bertambah seiring berjalan waktu. Usaha-usaha pemerintah hanya di permukaan saja dan tak bisa menyentuh akar permasalahan, yakni penciptaan hukum dan aparat penegak yang konsisten memberantas kekerasan terhadap perempuan. Tanpa hal tersebut, apa yang dilakukan pemerintah sama halnya dengan berwacana, sebaliknya kekerasan pun berkembang biak di masyarakat.
Memang tidak bisa dimungkiri banyak perempuan telah mencapai prestasi dan karier yang mantap. Mereka yang berpendidikan dan punya keterampilan yang memadai akan mampu berkompetisi dan bertahan dari ancaman kekerasan.
Namun, jumlah ini relatif sedikit jika dibandingkan dengan perempuan yang hidup tertindas. Mereka tidak punya pendidikan dan keterampilan yang memadai, yang menjadikannnya harus tersingkir dari arena kehidupan yang lebih baik. Mereka yang jumlahnya banyak inilah menjadi obyek kekerasan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Mereka amat mudah dibodohi dan diperdaya untuk memenuhi tuntutan yang menjerumuskan ke arah perbudakan.
Sangat mungkin dengan kondisi perempuan seperti ini yang memberi wajah kebobrokan bangsa ini. Seperti yang diucapkan Jawaharlal Nehru, "Kamu dapat menilai suatu bangsa melalui status perempuan bangsa tersebut." Tampak bahwa status perempuan merupakan salah satu indikator buat bangsa yang dikatakan maju atau terbelakang. Penulis pun menilai, posisi perempuan yang membentuk generasi berpengaruh besar dengan generasi yang akan dibentuknya. Jika status kaum perempuan terbelakang, perempuan menjadi komoditas, perempuan diperbudak, bukan tidak mungkin generasi yang dibentuknya itu akan terbelakang pula, jauh dari ajaran moralitas dan etika, dan jiwanya tumbuh dalam suasana ketakkondusifan.
Nah, apakah kita ingin melihat bangsa ini diisi oleh generasi demikian? Pertanyaan yang harus direnungi dan dijawab dengan tindakan.

11 Januari, 2008

Pertumbuhan dan Pengangguran

Seputar Indonesia, 14 Januari 2008
Tercapainya pertumbuhan ekonomi di level 6,3% pada 2007, menepis dugaan beberapa kalangan yang meragukan target tersebut bisa dicapai pemerintah. Pesimisme ini memang beralasan, sebab diperkirakan pertumbuhan investasi sebagai salah satu pendorong pertumbuhan yang ditargetkan sebesar 12,3 % tidak tercapai.
Pertumbuhan memang masih menyisakan pesimisme, sebab peningkatan kapasitas produksi barang dan jasa nasional hanya menciptakan lapangan kerja yang relatif sedikit ketimbang tenaga kerja yang mestinya terserap. Apalagi bila dihadapkan dengan target pemerintah menurunkan angka pengangguran pada 2009 menjadi 5,1% dari total angkatan kerja yang per Agustus 2007 mencapai 109,94 juta jiwa. Beberapa kalangan menilai, pertumbuhan yang dicapai pada 2007 memang kurang berkualitas, sebab setiap satu persen pertumbuhan, perekonomian hanya mampu menyerap tidak lebih dari 225.000 tenaga kerja. Sementara itu, tiap tahun terdapat tambahan angkatan kerja sekitar 2 juta jiwa. Artinya, bila kualitas dan tingkat pertumbuhan tetap sama, maka tiap tahun pengangguran akan bertambah sekitar 200 ribu – 300 ribu jiwa. Idealnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai 7-8 persen per tahun, dan bisa menyerap sebanyak 300 ribu – 350 ribu tenaga kerja per satu persen pertumbuhan.
Kualitas pertumbuhan bisa diamati pada struktur Produk Domestik Bruto (PDB) dengan mengamati unsur pembentuknya yaitu sektor lapangan usaha dan pengeluaran. Dari sisi sektor lapangan usaha, pertumbuhan PDB terutama didorong oleh sektor non-tradable, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, bangunan, dan jasa-jasa. Sementara itu, sektor industri manufaktur, pertanian, pertambangan yang notabene menyerap relatif banyak tenaga kerja ketimbang sektor non-tradable, hanya sedikit berkontribusi pada pertumbuhan.
Di sisi lain, proporsi sektor pengeluaran yang terdiri dari konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor neto juga tidak luput dari masalah. Sumbangan sektor konsumsi pada PDB masih mendominasi sebesar 62%. Sementara itu, sektor investasi yang diharapkan efektif membuka lapangan kerja hanya berkontribusi sebesar 24% terhadap PDB. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja keras pemerintah di tahun-tahun mendatang untuk menggairahkan iklim investasi agar proporsi pembentuk PDB ini tidak timpang. Sehingga kapasitas produksi domestik bisa meningkat signifikan serta tenaga kerja terserap lebih banyak setiap satu persen pertumbuhan.
Kebijakan pro pengurangan jumlah penganggur harus ditempuh karena kita berpacu dengan banyaknya tambahan tenaga kerja tiap tahun. Tantangan ini memang menjadi ciri khas perekonomian yang surplus tenaga kerja, yaitu perekonomian yang kapasitas produksinya belum mampu menampung seluruh angkatan kerja. Surplus tenaga kerja memang kadangkala menjadi penghambat, tapi bisa juga menjadi pendorong perekonomian. Kondisi ini tergantung beberapa faktor di antaranya, iklim usaha yang kondusif dan tenaga kerja yang berkualitas.
Oleh karena itu, pemerintah harus lebih konkrit mengatasi pengangguran, salah satunya dengan fokus mengembangkan sektor usaha yang menyerap banyak tenaga kerja, yakni usaha kecil. Data 6 tahun terakhir menunjukkan, usaha kecil mencapai rata-rata 99% dari total usaha sebesar 48,9% juta tahun 2006. Sementara itu, jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 91% dari jumlah tenaga kerja seluruhnya.

04 Januari, 2008

Harga Minyak USD 100

Seputar Indonesia, 7 Januari 2008
Prediksi harga minyak mentah dunia akan menembus level psikologis akhirnya terbukti juga. Dalam penutupan perdagangan di pasar saham Amerika Serikat, kamis 3/1, harga minyak berada di posisi USD 100 per barel, meski akhirnya sedikit turun lagi ke posisi USD 99 per barel pada perdagangan hari selanjutnya.
Fluktuasi harga minyak nampaknya tidak lagi disebabkan oleh faktor obyektif. Artinya, adanya interaksi antara penawaran dengan permintaan, di mana permintaan meningkat lebih tinggi ketimbang penawaran, tidak lagi menjadi penyebab utama tembusnya harga minyak pada level psikologis saat ini. Pada awalnya, meningkatnya permintaan minyak yang tidak dibarengi dengan cukupnya ketersediaan minyak memang mengakibatkan naiknya harga. Akan tetapi, seiring peningkatan produksi dari negara-negara penghasil minyak, krisis penawaran nampaknya bukan lagi masalah serius.
Bencana ekonomi ini lebih disebabkan oleh faktor subyektif, yaitu terjadinya krisis geopolitik di negara penghasil minyak dan sentimen negatif pasar. Ketegangan di beberapa negara penghasil minyak seperti Nigeria (produsen minyak terbesar di Afrika), serta ketidakstabilan politik di Pakistan mengakibatkan kepanikan di pasar saham, khususunya di AS. Kesempatan ini dijadikan arena spekulasi terhadap harga komoditas minyak sehingga investor bisa saja mempermainkan harga untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Fenomena yang terjadi di bursa saham AS, serta ketegangan di beberapa negara penghasil minyak tentu saja berimplikasi negatif pada negara-negara dependen minyak, termasuk Indonesia. Bagi negara-negara net exportir, kenaikan ini menghasilkan keuntungan nomplok (windfall profit), karena selisih biaya produksi dengan harga jual di pasar makin meningkat. Sementara, bagi negara-negara net importir kenaikan ini merupakan bencana eksternal yang menimbulkan dampak negatif pada perekonomian.
Bagi Indonesia, kenaikan ini merupakan bencana besar karena kita tergolong negara net importir. Dampak pada perekonomian terutama berkenaan dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), baik pada pos penerimaan maupun pengeluaran. Bila harga meningkat, maka penerimaan dari produksi minyak yang diekspor juga meningkat. Sementara itu, pengeluaran juga meningkat karena harus membayar impor minyak hasil olahan (BBM) yang tentu saja ikut melonjak naik. Nah, untuk menjaga agar harga BBM yang sampai ke masyarakat tidak naik, maka pemerintah tentu saja harus mengeluarkan dana subsidi yang super besar. Idealnya, biaya subsidi ini bisa ditutupi dengan keuntungan yang didapatkan dari ekspor minyak.
Dengan demikian, sebagai net importir, nampaknya beban yang akan dibawa perekonomian Indonesia selama tahun 2008 makin besar. Subsidi minyak yang dibiayai APBN meningkat signifikan, sementara dana yang tersedia tidak cukup menalangi. Tindakan pengamanan APBN yang telah ditetapkan bulan November 2007 kemarin, memang diharapkan akan menyelamatkan APBN dan mengurangi dampaknya pada perekonomian. Namun, sebenarnya kata kunci agar terhindar dari bencana eksternal ini adalah meningkatkan produksi minyak minimal sampai pada level keseimbangan antara biaya subisidi dengan keuntungan ekspor. Oleh karena itu, pemerintah harus fokus untuk meningkatkan lifting (volume siap jual) minyak dengan mengandalkan segenap potensi baik domestik maupun asing. Sebab, pelajaran tahun kemarin, target produksi nasional sebesar 950.000 barel per hari, hanya tercapai 899.000 barel per hari. Sementara target 2008, produksi minyak sebesar 1,034 barel per hari. Target ini hanya bisa dicapai dengan kerja sama dan komitmen dari pemerintah dan swasta untuk meningkatkan produksi minyak.