20 Februari, 2009

Hikmah Ponari

Dimuat di Seputar Indonesia pada Jumat 20 Februari 2009

Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan berita kesaktian seorang anak yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Lebih mengejutkan lagi karena anak ini menggunakan batu kecil yang dianggap sebagai sumber kesaktian. Adalah Ponari yang dianggap sudah cukup banyak menyembuhkan orang-orang yang menerima jasanya. Tak heran bila warga berbondong-bondong ke kediaman Ponari untuk meminta pengobatan. Saking banyaknya, warga harus antri bahkan berbuntut pada meninggalnya empat orang warga yang mungkin tak mampu lagi berdesak-desakan menanti dukun cilik ini. Polisi pun tidak bisa mengantisipasi membludaknya warga di sekitar rumah Ponari.

Terdapat dua hal yang mungkin merupakan penyebab di balik fenomena ini. Pertama, karena pelayanan kesehatan bagi warga miskin sangat sulit diakses, sehingga warga mencari pengobatan alternatif yang cenderung lebih murah. Kedua, masyarakat relatif lebih percaya pada hal-hal yang mistis ketimbang mengedepankan rasio berkenaan dengan cara menyembuhkan penyakitnya. Bila yang kedua dipakai, maka tanpa memandang kaya atau miskin, warga tetap akan berobat pada Ponari. Namun bila kecenderungan pertama yang terjadi, warga yang berobat ke Ponari hanya warga yang memang secara ekonomi tidak mampu sehingga mencari alternatif pengobatan lain yang lebih murah.

Tanpa bermaksud memilih yang paling benar di antara dua penyebab tersebut, penulis menganggap bahwa di balik fenomena ini, ada banyak hikmah yang dapat kita petik. Pertama, bagi yang sehat, wajiblah bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat tersebut, sambil menjaga kesehatan. Bayangkan, warga yang sakit tersebut rela melakukan apapun demi memperoleh kesembuhan, bahkan berbuat syirik sekalipun. Namun bila sakit, tetap harus yakin bahwa sehat itu adalah milik Allah, sehingga betapa pun penyakit yang menimpa, kiranya jangan sampai menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya, apalagi kesaktian batu yang dimilikinya oleh dukun kecil Ponari yang dianggap bisa menyembuhkan.

Kedua, masalah sulitnya akses kesehatan yang murah dan berkualitas merupakan masalah struktural yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu, pemerintah tidak boleh berdiam diri terhadap fenomena ini. Pelayanan kesehatan, terutama bagi warga miskin, mesti ditingkatkan dengan berbagai program-program seperti subsidi biaya kesehatan, dan lain-lain. Kesehatan merupakan barang publik yang harus diakses oleh semua orang, dan pemerintah berkewajiban menyediakan barang publik tersebut. []

10 Februari, 2009

Paket Stimulus dan PHK

Seputar Indonesia, Selasa 10 Februari 2009

Dampak krisis finansial global yang berimbas pada sektor riil mulai dirasakan. Setidaknya ini dapat diamati pada gencarnya perusahaan-perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada sejumlah karyawan. PHK dianggap solusi di saat perusahaan menghadapi penurunan permintaan sebagai imbas lemahnya daya beli konsumen. Bila permintaan berkurang, wajar bila perusahaan mengurangi jumlah tenaga kerja yang disesuaikan dengan berkurangnya permintaan produk. Namun di sisi lain, PHK akan menambah angka pengangguran baru.

Pengangguran merupakan salah satu masalah ekonomi yang sangat pelik, di samping masalah kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Dalam teori ekonomi konvensional, pengangguran menjadi satu topik khusus yang dibahas secara mendalam, termasuk cara mengatasinya. Berdasarkan teori, pengangguran dapat dikurangi dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk mendorong pertumbuhan, Ekonom John Maynard Keynes mengatakan bahwa terhadap 4 variabel yang mesti diperhatikan yakni konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan pendapatan ekspor neto.

Memang data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia yang menurun. Pada Agustus 2008 mencapai 8,39% atau 9,39 juta orang dari total angkatan kerja, turun dibanding Agustus tahun 2007 sebesar 9,11% atau 10,01 juta orang dari angkatan kerja. Namun angka ini masih jauh dari target presiden SBY, yang berjanji akan menurunkan angka pengangguran ke level 5,1% pada tahun 2009. Lagi pula, diakui BPS, angka pengangguran yang dirilis pada Januari 2009 ini belum terpengaruh krisis global. Karena itu, pada 2009 ini, kemungkinan besar terjadi peningkatan angka pengangguran.

Dengan angka pengangguran demikian, serta PHK yang diprediksi terjadi dalam skala masif pada 2009, pemerintah perlu mengoptimalkan peran yang diembannya. Dalam kondisi sekarang, kita tak bisa berharap banyak pada investor swasta karena alasan ekonomi yang belum kondusif. Pun, pendapatan dari ekspor menurun karena permintaan produk dari luar negeri berkurang. Memang konsumsi masyarakat masih menjanjikan, tapi ini juga sangat rentan dari gejolak harga yang bisa terjadi kapan pun. Karena itu, instrumen yang paling cocok di masa krisis ini adalah pengeluaran pemerintah (Government Spending) dalam bentuk stimulus fiskal.

Pemerintah berencana mengeluarkan stimulus fiskal sejumlah Rp 71,3 triliun atau 1,4% dari PDB pada 2009. Paket stimulus ini ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, daya saing usaha dan ekspor, dan peningkatan belanja infrastruktur padat karya. Namun yang jadi masalah saat ini adalah lambannya paket stimulus ini diimplementasikan. Padahal, dunia usaha memerlukan bantuan ini secepatnya agar tetap mampu bertahan dari kesulitan bisnis saat ini. Bagi dunia usaha, pemerintahan menjanjikan pembebasan bea masuk, fasilitas PPh badan, fasilitas PPN, fasilitas PPh pasal 21 untuk karyawan, potongan tarif listrik untuk industri, penurunan harga solar, pembiayaan UMKM melalui KUR dan jaminan ekspor. Pemerintah harus segera merealisasikan paket ini agar ancaman PHK dapat dikurangi. Kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi?

09 Februari, 2009

Kerja Sama RI - Rusia

Seputar Indonesia, Rabu 12 September 2007

Hubungan Indonesia-Rusia memasuki babak baru. setelah lama merenggang, hubungan kedua negara kembali membaik dengan adanya kerja sama bilateral yang dijalin dalam berbagai bidang. Kunjungan singkat presiden federasi Rusia Vladimir Putin ke Indonesia menandai kedekatan kembali hubungan kedua negara.

Secara historis, Rusia (dulu Uni Soviet) pernah berhubungan dekat dengan bangsa Indonesia saat Soekarno berkuasa. Rusia menjadi kekuatan di belakang perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Kedekatan kedua negara ini merenggang setelah Orde Baru berkuasa.

Rusia memang tidak sekuat dulu, yang secara terang-terangan mengimbangi kekuatan AS. Tetapi seiring perkembangan, Rusia kini kembali mengambil posisi sebagai negara kuat. Dalam bidang ekonomi, Rusia menjadi raksasa ekonomi ke depana dunia, dengan julah PDB riil USD 1,7 triliun dan pendapatan per kapita USD 12.000 per tahun. Rusia juga didukung oleh jumlah penduduk yang besar, sumber daya manusia yang berkualitas, serta sumber daya alam, khususnya energi yang melimpah.

Sebelumnya, kerja sama RI-Rusia hanya dalam bidang militer. Rusia berperan dalam memasok persenjataan bagi Indonesia. Kerja sama militer Indonesia dengan Rusia sudah berjalan beberapa tahun lalu. Terakhir, pada bulan Desember 2006, RI-Rusia kembali menandatangani perjanjian baru. Indonesia akan membeli persenjataan Rusia senilai USD 1 miliar selama 2007-2010. Namun setelah kunjungan Putin, kersama RI-Rusia bertambah delapan bidang seperti yang disepakati pejabat kedua negara, antara lain bidang keuangan, lingkungan hidup, promosi investasi, pemeriksaan keuangan, terorisme, olahraga, budaya, dan pinjaman pemerintahan.

Indonesia sebagai mitra harus cerdas memetik manfaat dari kerja sama bilateral ini. Seluruh potensi serta sumber daya baik manusia maupun alam mesti dioptimalkan agar pengelolaannya bisa menuai manfaat. Dari segi keunggulan, Rusia memiliki teknologi, sedangkan Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah. Kombinasi keduanya tentu memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak. Komitmen Rusia untuk menjadi investor setia, sebagai Jepang dan Korea Selatan, memang baru sekedar harapan. Akan tetap, kewajiban pemerintah Indonesia untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif serta menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang selama ini menghambat investasi, seperti regulasi tenaga kerja, keamanan, dan hambatan lain.

Rusia juga merupakan salah satu negara tujuan ekspor Indonesia. Data BPS menunjukkan, nilai ekspor Indonesia ke Rusia pada 2006 sebesar USD 100,8 juta, meningkat dari USD 85,7 juta pada tahun sebelumnya. Adapun impor dari Rusia 2006 tercatat USD 61,07 juta atau naik dari USD 57,7 juta pada tahun sebelumnya. Ekspor terbesar Indonesia di antaranya minyak sawit mentah (CPO), teh, margarin, dan tembakau. Sementara Indonesia mengimpor besi dan baja, pupuk kimia, dan bubur kertas. Diharapkan, setelah kerja sama ini, volume perdagangan RI-Rusia bisa meningkat menjadi USD 1 miliar. Dengan demikian, volume perdagangan yang tinggi akan menguntungkan, asalkan ketimpangan neraca perdagangan bisa diatasi. []

Tantangan Industri Pertelevisian

Seputar Indonesia, 18 Juni 2008

Industri (pelaku) pertelevisian tampaknya belum menyadari sepenuhnya tanggung jawabnya sebagai sarana pendidikan masyarakat. Saat ini, masih banyak siaran-siaran TV yang lebih mengedepankan permintaan pasar, meski menafikan tanggung jawabnya. Fenomena ini tentu memicu implikasi serius pada masyarakat yang menjadi konsumennya.
Namun, benarkah pelaku pertelevisian lebih mengedepankan permintaan pasar untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya? Lantas, masih relevankah peran media khususnya sektor pertelevisian sebagai sarana pendidikan masyarakat?

Memang sudah karakteristik manusia, bahwa segala sesuatu yang unik dan menuai larangan moral akan tergerak untuk dicoba-coba. Sehingga, tak heran bila selalu muncul permintaan terhadap substansi siaran TV yang menampilkan unsur-unsur tersebut. Ini dilihat pelaku pertelevisian sebagai peluang untuk memenuhi permintaan pasar. Uniknya, karena acara tersebut memang “disukai” masyarakat, maka berbondong-bondonglah pelaku pertelevisian menyiarkan substansi siaran yang sama. Makin variatif acara yang ditawarkan, maka bertambah pula permintaan masyarakat terhadap tontonan tersebut. Ini menandakan, awalnya permintaan menciptakan penawaran, tapi selanjutnya penawaran yang menciptakan permintaan. Karena itu, agar dampak negatifnya pada masyarakat bisa dikurangi, maka perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian baik dari sisi permintaan maupun penawaran.

Munculnya siaran-siaran yang tidak mendidik merupakan tantangan bagi para pendidik baik orang tua ataupun guru. Karena itu, mesti diberikan perhatian khusus pada generasi-generasi muda agar tidak terjebak dalam tontonan tersebut. Keteladanan adalah senjata pertama yang harus ditunjukkan para pendidik, lalu pengawasan yang ketat. Karena masih banyak tontonan mendidik, maka para pendidik tidak perlu bingung, dengan kata lain tinggal memilih tontonan yang mendidik.

Bahkan, sekuat mungkin untuk mengurangi konsumsi tontonan TV pada diri sendiri dan anak-anak, sebab berdasarkan sejumlah penelitian, menonton TV memunculkan dampak negatif pada kesehatan otak. Pada dasarnya, aktivitas tersebut akan mengubah otak jadi pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis, dan merusak kecerdasan spasial pada otak sebelah kanan. Lebih dikhawatirkan lagi, aktivitas ini akan menyedot waktu yang seharusnya digunakan untuk aktivitas-aktivitas lain yang lebih bermanfaat.

Bagi dunia pertelevisian, tantangannya adalah menghasilkan tontonan-tontonan yang berkualitas. Di satu sisi, memang pelaku pertelevisian harus berkorban karena belum tentu tontonan berkualitas atau paling tidak jauh dari kandungan kekerasan dan unsur porno, bisa memperoleh pujian dari sisi kuantitas. Namun, sebetulnya masih banyak pilihan siaran TV yang memiliki rating tinggi tanpa menafikan unsur kekerasan dan unsur porno. Karena itu, tantangan ini sebetulnya bermuara pada kreativitas pelaku pertelevisian untuk menghasilkan tontonan-tontonan yang mendidik masyarakat. Dengan kondisi ini, tentunya masih relevan bila menganggap TV sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat, yang senantiasa menyediakan tontonan berkualitas, serta jauh dari unsur-unsur kekerasan dan porno

Perlawanan Rakyat pada Politisi

Seputar Indonesia, 27 Agustus 2008

Akhir-akhir ini, kita amati banyak fenomena yang menunjukkan buruknya perilaku para politisi. Padahal, sosok politisi merupakan pemimpin yang semestinya menjadi teladan bagi rakyat. Dengan demikian, rakyat bisa menaruh harapan besar pada para politisi agar memperjuangkan hak-hak yang dimilikinya. Efek sampingnya, dukungan politik pada politisi tersebut bisa lebih kuat seiring dengan sikap positif yang dilakukan. Bila ditelisik lebih dalam, kenyataan yang terjadi ternyata berbeda. Politisi menunjukkan perilaku negatif baik dalam menjalankan tugasnya sebagai politisi maupun sebagai pribadi.

Salah satu kasus terbaru adalah korupsi berjamaah yang dilakukan anggota dewan yang “terhormat”. Ternyata, banyak anggota dewan yang diduga kuat terlibat kasus aliran dana BI, termasuk mantan anggota dewan yang kini menjadi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu. Kasus ini hanya salah satu dari berbagai macam kasus yang menimpa para wakil rakyat. Pada hakikatnya, para politisi tersebut telah membohongi diri sendiri dan rakyat, serta melanggar peraturan dan kode etik yang telah tetapkan.

Bila anggota dewan berperilaku demikian, maka mungkinkah rakyat bisa menikmati manfaat dari demokrasi? Jawabnya, tidak. Di alam demokrasi, rakyat memang punya peluang besar untuk menentukan kemajuan berupa kesejahteraan dan kemakmuran dengan cara menentukan pemimpin yang terbaik yang akan memberikan manfaat bagi diri dan kelompoknya. Akan tetapi, manfaat itu datang bila yang dipilihnya adalah orang-orang yang tepat, serta tidak mengingkari janji-janji yang diutarakan saat berkampanye.

Rakyat juga punya wewenang untuk menentukan para wakilnya yang akan duduk di parlemen. Perwakilan rakyat inilah yang berfungsi mengontrol jalannya pemerintahan, serta memperjuangkan hak-hak rakyat. Nah, di lembaga perwakilan ini, kerap kali ditemukan perilaku-perilaku negatif anggota dewan, termasuk praktif korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti yang disebutkan di awal. Pun, perilaku politisi yang tidak duduk di parlemen kerap juga menunjukkan perilaku buruk termasuk memperebutkan kekuasaan di tubuh partai.

Diakui, munculnya politisi semacam ini seakan menjadi sebuah sistem. Artinya, para politisi serasa mendapat insentif atau dorongan untuk melakukan praktik-praktik tersebut, sebab bila menghindarinya, terdapat sanksi sosial dari sesama anggota dewan. Tak heran bila muncul fenomena korupsi berjamaah di Parlemen. Nah, hal semacam ini tidak boleh dibiarkan karena rakyatlah yang menanggung penderitaannya. Di sisi lain, rakyat juga tidak boleh tinggal diam, dengan arti menyerahkan sepenuhnya kepada anggota dewan.

Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk melawan para politisi tersebut? Semuanya berpulang ke rakyat. Rakyat memilih presiden dan wakil presiden, serta memilih anggota dewan. Oleh karena itu, rakyat masih bisa melakukan perlawanan kepada politisi-politisi, bila memang tidak mampu menjalankan amanah dari pemilihnya. Di alam demokrasi, rakyat memiliki beberapa hak, yakni memilih, mengontrol, menurunkan pemimpin atau politisi. Hak ini harus dilaksanakan sebaik-baiknya oleh rakyat agar manfaat dari berdemokrasi di negara kita benar-benar dinikmati kembali oleh rakyat. Sebab, sebentar lagi, kita akan menghadapi proses penentuan pemimpin yang hanya berlangsung sekali dalam 5 tahun. Kita harus gunakan momentum ini sebaik-baiknya

Liberalisasi Finansial

Seputar Indonesia, Sabtu 25 Agustus 2007

Isu yang hangat diperbincangkan dalam sepekan terakhir adalah mengenai liberalisasi finansial. Jatuhnya harga saham AS yang merembet ke pasar saham Eropa, ikut berdampak pada melemahnya IHSG, meski saat ini sudah membaik. Perekonomian dunia yang semakin menyatu berakibat pada signifikannya pengaruh gejolak ekonomi di negara yang ekonominya besar seperti AS, pada negara-negara lain yang menerapkan sistem liberal dalam perekonomiannya. Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan liberalisasi finansial. Tak heran jika jatuhnya harga saham di pasar saham AS, juga berakibat turunnya IHSG. Bukan hanya pasar saham di Indonesia, negara lain di Asia, juga Eropa yang menerapkan liberalisasi finansial, ikut merasakan dampak “lesunya” perekonomian global ini.

Deregulasi tahun 1980-an merupakan awal dari liberalisasi ekonomi di Indonesia. saat itu, kran investasi dibuka selebar-lebarnya agar modal asing bisa masuk. Akan tetapi, kesempatan ini dimanfaatkan oleh spekulan untuk meraup keuntungan, sebab dengan instrumen investasi portofolio jangka pendek, mereka leluasa menempatkan dana seperti lebih leluasanya keluar. Selain itu, ada pula paket kebijakan Oktober 1980 yang berisi izin mendirikan bank-bank dengan sangat mudah. Deregulasi berarti menggantikan atau bisa saja menghapus aturan-aturan sebelumnya diganti dengan aturan baru.

Perekonomian Indonesia memang mesti punya fundamental kuat sebelum menerapkan liberalisasi finansial. Kita bisa mencontoh perekonomian China dan India, yang saat ini menjadi raksasa baru ekonomi dunia.

Strategi apa yang diterapkan China dan India? China dan India menerapkan pembatasan terhadap investasi portofolio jangka pendek, mereka menetapkan aturan agar investor melakukan investasi langsung yang bisa menyerap tenaga kerja. Setelah mereka memiliki fundamental ekonomi yang kuat, seperti pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkualitas, inflasi terkendali, serta cadangan devisa yang kuat, maka mereka baru membuka sedikit demi sedikit kran investasi portofolio, bahkan untuk investasi jangka pendek pun tidak ada kekhawatiran.

Kekuatan inilah yang mesti dibangun oleh Indonesia, dengan segera melakukan perubahan paradigma kebijakan yang menganggap kalau liberalisasi finansial sebebas-bebasnya akan berdampak baik bagi fundamental ekonomi. Belajarlah dari pengalaman negara lain. []

Gerakan Separatis RMS

Seputar Indonesia, rabu 4 Juli 2007

Peringatan Hari Keluarga Nasional ke-IV yang berlangsung tanggal 29 Juni 2007 di Ambon ditandai dengan kejadian memalukan, sekelompok orang yang menamakan dirinya anggota RMS memasuki lapangan saat acara berlangsung.

Kejadian memalukan ini tak ubahnya seperti “tamparan” khususnya bagi presiden SBY, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Apalagi dengan kedatangan tamu-tamu asing, yang turut menyaksikan aksi kelompok separatis ini.

Namun sungguh mengherankan, mengapa orang-orang tak diundang ini bisa masuk di lapangan, sambil turut ambil dalam acara pesta kesenian. Ini indikasi kegagalan aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya, sebab pada awalnya mereka memang bukan undangan panitia, tapi mengapa bisa masuk tanpa penjagaan ketat aparat? Tentu saja, pihak aparat keamanan mesti introspeksi diri atas kelemahan ini agar tidak terulang lagi.
Kita tak boleh menafikan keberadaan anggota RMS (Republik Maluku Selatan) sebagai gerakan separatis, yang masih saja berjuang untuk meraih kemerdekaan atau berpisah dari keutuhan NKRI. Kehadirannya di depan presiden SBY mungkin hanya sekedar simbol kalau mereka tetap ada sampai saat ini, meski pada realitasnya kelompok ini lemah. Akan tetapi, yang menarik dari anggota ini adalah pengorbanan diri mereka, ditangkap dan dipukuli aparat keamanan untuk hanya sekedar menunjukkan eksistensi gerakannya.

Namun meski saat ini lemah, tapi keberadaan mereka tentu tak bisa disepelekan. Kelompok ini bisa memperbesar diri jika tidak dikontrol atau diawasi aparat. Pemerintah Indonesia melalui aparat mesti memerangi setuntas-tuntasnya kalau memang gerakan ini tidak bisa damai dengan pemerintah dan menghentikan gerakannya. Ketegasan ini penting sebab dikhawatirkan nantinya RMS terus menguatkan gerakannya, apalagi kalau ditunggangi pihak luar yang nantinya akan menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI.
Mungkin masih kental di ingatan kita tentang Gerakan Aceh Merdeka, di mana pada awalnya pemerintah tidak terlalu peduli dengan keberadaan GAM. Namun, setelah GAM memproklamirkan kemerdekaan Aceh, pemerintah baru bereaksi. Tentu saja, perang besar tidak bisa dihindari sebab GAM sudah cukup kuat, meskipun pada akhirnya kalah dari TNI. Meski bisa diselesaikan dengan damai, GAM setidaknya bisa dijadikan contoh bagi pemerintah RI agar bertindak tegas dengan gerakan separatisme tidak hanya saat dia sudah kuat, melainkan sejak ada benih-benih gerakan kemerdekaan, gerakan itu harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.

Di sinilah peran BIN (Badan Intelijen Negara) dan TNI sebagai alat yang digunakan pemerintah Indonesia untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan seperti ini. Tentu saja, suasana di Ambon masih memiliki potensi untuk bergejolak jika tidak diantisipasi dengan cepat dan tuntas. Pemerintah khususnya pejabat daerah mesti sensitif, pasalnya seperti kita ketahui, Ambon merupakan kota yang dulunya terjadi konflik separatis.

Kejadian ini bisa jadi refleksi bagi aparat keamanan untuk memperketat penjagaan apalagi jika dihadiri oleh presiden dan tamu asing di daerah-daerah berunsur konflik. Selanjutnya terhadap kelompok RMS ini, aparat khususnya BIN menyelidiki lebih jauh terkait dengan keberadaan mereka. Jangan sampai pemerintah kecolongan dan pada akhirnya terjadi konflik lagi diakibatkan keterlibatan gerakan RMS ini.

Penguatan Ekonomi Bangsa

Kompas Yogyakarta, Jumat 24 Agustus 2008

Meski 10 tahun berlalu, dampak krisis moneter di tahun 1997 masih dirasakan sampai saat ini. Bahkan, di ulang tahunnya yang ke- 10, marak diperbincangkan tentang potensi krisis menimpa kembali Indonesia.

Salah satu penyebab krisis 1997 adalah campur tangan asing khususnya para spekulan. Mereka mencari keuntungan dengan menempatkan dana yang super besar hingga mencapai ratusan miliar dollar Amerika Serikat dari satu negara ke negara lain, termasuk di Indonesia. Karena jumlahnya super besar, maka perekonomian yang tidak cukup kuat menahan keluarnya modal yang sifatnya jangka pendek akan terkena imbas berupa anjloknya nilai tukar, kemudian merembet pada sektor lain dan pada akhirnya terjadi krisis moneter.

Liberalisasi finansial menimbulkan dampak signifikan bagi perekonomian. Dengan terbukanya pasar uang dan modal bagi investor asing, sikap dan perilaku mereka akan berpengaruh pada perekonomian bangsa. Hal ini didukung oleh kekuatan modalnya cukup kuat untuk mendominasi pasar keuangan dan pasar modal, bahkan perbankan sebagai jantung perekonomian saat ini banyak dimanajeri dan dimiliki asing. Tentu saja, setiap saat bisa terjadi gejolak eksternal, seperti anjloknya pasar keuangan di AS, yang merembet ke negara Uni Eropa, Asia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, untuk pemulihannya, kita tetap tergantung pada perilaku ekonomi negara besar seperti AS, seperti sikap bank sentral AS menurunkan tingkat bunga diskonto berpengaruh pada membaiknya IHSG di Indonesia. Lalu, bagaimana agar perekonomian bisa bertahan dari gejolak eksternal?

Saat ini indikator makroekonomi Indonesia menunjukkan angka yang membaik. Pertumbuhan ekonomi yang terus membaik meski lambat dengan angka pada semester I 2007 sebesar 6,1 persen, inflasi tetap terjaga (6,5 persen), dan kurs terhadap dollar AS tetap stabil (Rp 9.300), cadangan devisa berkisar 53 miliar dollar AS, yang cukup tangguh menghadapi guncangan ekonomi. Namun, tentu tidak bisa berharap aman dari krisis hanya dengan fundamental ekonomi demikian. Sebab, ancaman eksternal seiring waktu berjalan terus bertambah dan berbahaya bagi perekonomian. Indonesia bisa bertahan dari gejolak krisis saat ini tapi bukan berarti beberapa tahun ke depan Indonesia akan bisa bertahan tanpa ada peningkatan dan perbaikan kualitas. Permasalahan internal bangsa yang tak kunjung beres, seperti maraknya korupsi, iklim investasi yang belum cukup mendukung, penyaluran kredit perbankan belum optimal meski suku bunga BI diturunkan terus turun, telah menjadi masalah klasik yang belum terpecahkan hingga saat ini.

Krisis mengajarkan kita bahwa perekonomian yang tumbuh pesat tanpa topangan dari dalam akan dengan mudah diporak-porandakan oleh gejolak eksternal. Topangan dari dalam salah satunya bisa berarti berkualitasnya pertumbuhan ekonomi. Untuk mampu bertahan dari terpaan gejolak eksternal, perekonomian nasional haruslah kuat dengan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor riil. Sektor yang dimaksud adalah yang menyerap banyak tenaga kerja seperti industri manufaktur dan pertanian. Dengan mengandalkan aktivitas rakyat untuk mendorong perekonomian, gejolak eksternal akan bisa diredam. Walaupun sektor finansial mengalami guncangan hebat, efeknya tidak sebesar dibanding tanpa topangan sektor riil, apalagi sampai menggoyahkan struktur perekonomian bangsa. Dengan demikian, tidak ada tawar-menawar lagi bagi pemerintah untuk tidak memerhatikan sektor riil, khususnya pertanian dan industri manufaktur, jika ingin tetap bertahan dari terpaan gejolak eksternal.