Seputar Indonesia, Selasa 10 November 2009
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang diuji. Dugaan kasus korupsi yang menimpa dua pimpinan nonaktif telah mencederai semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun kita sepakat bahwa praktik-praktik korupsi harus terus menerus diberantas hingga akhirnya ”lenyap” di bumi pertiwi ini. Selain itu, kewenangan KPK semestinya tidak dikurangi hanya karena kasus yang menimpa sejumlah pimpinannya.
Memang sudah menjadi tugas lembaga penegak hukum, terutama KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk memberantas korupsi di Indonesia. Namun tampaknya lembaga tersebut kurang bersinergi dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terutama terlihat pada perseturuan antara kepolisian dan kejaksaan berhadapan dengan KPK. Akibatnya, rakyat awam berpandangan bahwa lembaga-lembaga tersebut saling berhadap-hadapan untuk melemahkan satu sama lain.
Padahal, justru yang terjadi adalah perseturuan antar pejabat teras di masing-masing lembaga. Mereka memiliki kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan institusinya. Tentu kita bingung dengan fenomena yang berkembang di media saat ini, di mana pejabat di masing-masing lembaga terutama kepolisian dan KPK menyatakan bahwa mereka bertindak sesuai dengan kewenangan masing-masing. Mereka pun menganggap bahwa lembaga lain melakukan praktik korupsi. Kapolri, dalam rapat kerja dengan DPR, mengatakan bahwa sejumlah pimpinan terlibat korupsi. Di sisi lain, pimpinan nonaktif KPK mengatakan tidak menerima uang dari siapa pun. Sebaliknya, KPK meyakini bahwa ada petinggi Polri yang terlibat dalam praktik korupsi. Bila KPK dan Kepolisian, serta Kejaksaan saling berseteru maka bagaimana nasibnya pemberantasan korupsi di Indonesia?
Meski berpotensi melemahkan semangat dan aksi pemberantasan korupsi, kita perlu tahu bahwa pimpinan KPK saat ini tetap menjalankan tugasnya, sehingga pemberantasan korupsi tetap berlanjut. Presiden telah bertindak tepat dengan mengganti pimpinan KPK yang diduga terlibat kasus pidana, yaitu Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, dan Antasari Azhar. Para pimpinan nonaktif ini diganti oleh Tumpak H Panggabean, Mas Achmad Santosa, dan Waluyo. Adanya pimpinan baru ini tentu memunculkan optimisme bahwa KPK tetap memiliki taring untuk melakukan pemberantasan korupsi. Hanya saja, munculnya kasus ini berpotensi menjadi awal untuk mengerdilkan KPK, terutama bila para pimpinannya yang terlibat kasus tersebut memang terbukti bersalah. Adanya kewenangan berlebihan yang diberikan kepada KPK dinilai sebagai penyebab munculnya penyalahgunaan wewenang. Karena itu, ada tuntutan untuk mengurangi kewenangan KPK.
Memang kita tahu bahwa kekuasaan yang berlebihan berpeluang besar menjerumuskan orang yang mengembangnya pada penyalahgunaan. Barangkali hal ini memang terjadi pada pimpinan KPK. Namun, mengurangi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi tentu bukanlah langkah yang tepat. Bagaimanapun, korupsi masih kita anggap sebagai kejahatan luar biasa dan menjadi musuh bersama, sehingga dibutuhkan lembaga yang kuat untuk memberantasnya. Justru, yang perlu dilakukan adalah bersama-sama mengawasi kinerja KPK. LSM, mahasiswa, dan rakyat secara umum harus bertindak bila memang ada indikasi bahwa pimpinan KPK tidak bekerja sebagaimana mestinya. []
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang diuji. Dugaan kasus korupsi yang menimpa dua pimpinan nonaktif telah mencederai semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun kita sepakat bahwa praktik-praktik korupsi harus terus menerus diberantas hingga akhirnya ”lenyap” di bumi pertiwi ini. Selain itu, kewenangan KPK semestinya tidak dikurangi hanya karena kasus yang menimpa sejumlah pimpinannya.
Memang sudah menjadi tugas lembaga penegak hukum, terutama KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk memberantas korupsi di Indonesia. Namun tampaknya lembaga tersebut kurang bersinergi dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terutama terlihat pada perseturuan antara kepolisian dan kejaksaan berhadapan dengan KPK. Akibatnya, rakyat awam berpandangan bahwa lembaga-lembaga tersebut saling berhadap-hadapan untuk melemahkan satu sama lain.
Padahal, justru yang terjadi adalah perseturuan antar pejabat teras di masing-masing lembaga. Mereka memiliki kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan institusinya. Tentu kita bingung dengan fenomena yang berkembang di media saat ini, di mana pejabat di masing-masing lembaga terutama kepolisian dan KPK menyatakan bahwa mereka bertindak sesuai dengan kewenangan masing-masing. Mereka pun menganggap bahwa lembaga lain melakukan praktik korupsi. Kapolri, dalam rapat kerja dengan DPR, mengatakan bahwa sejumlah pimpinan terlibat korupsi. Di sisi lain, pimpinan nonaktif KPK mengatakan tidak menerima uang dari siapa pun. Sebaliknya, KPK meyakini bahwa ada petinggi Polri yang terlibat dalam praktik korupsi. Bila KPK dan Kepolisian, serta Kejaksaan saling berseteru maka bagaimana nasibnya pemberantasan korupsi di Indonesia?
Meski berpotensi melemahkan semangat dan aksi pemberantasan korupsi, kita perlu tahu bahwa pimpinan KPK saat ini tetap menjalankan tugasnya, sehingga pemberantasan korupsi tetap berlanjut. Presiden telah bertindak tepat dengan mengganti pimpinan KPK yang diduga terlibat kasus pidana, yaitu Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, dan Antasari Azhar. Para pimpinan nonaktif ini diganti oleh Tumpak H Panggabean, Mas Achmad Santosa, dan Waluyo. Adanya pimpinan baru ini tentu memunculkan optimisme bahwa KPK tetap memiliki taring untuk melakukan pemberantasan korupsi. Hanya saja, munculnya kasus ini berpotensi menjadi awal untuk mengerdilkan KPK, terutama bila para pimpinannya yang terlibat kasus tersebut memang terbukti bersalah. Adanya kewenangan berlebihan yang diberikan kepada KPK dinilai sebagai penyebab munculnya penyalahgunaan wewenang. Karena itu, ada tuntutan untuk mengurangi kewenangan KPK.
Memang kita tahu bahwa kekuasaan yang berlebihan berpeluang besar menjerumuskan orang yang mengembangnya pada penyalahgunaan. Barangkali hal ini memang terjadi pada pimpinan KPK. Namun, mengurangi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi tentu bukanlah langkah yang tepat. Bagaimanapun, korupsi masih kita anggap sebagai kejahatan luar biasa dan menjadi musuh bersama, sehingga dibutuhkan lembaga yang kuat untuk memberantasnya. Justru, yang perlu dilakukan adalah bersama-sama mengawasi kinerja KPK. LSM, mahasiswa, dan rakyat secara umum harus bertindak bila memang ada indikasi bahwa pimpinan KPK tidak bekerja sebagaimana mestinya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar