25 November, 2010

Tanggap "Bencana Mental" Aparat Penegak Hukum

Dimuat di Seputar Indonesia, 25 November 2010

Memang bangsa Indonesia sedang berduka karena berbagai bencana alam sedang menimpanya. Banjir di Wasior, Tsunami di Mentawai, dan Erupsi Gunung Merapi telah menelan ratusan atau bahkan ribuan korban jiwa. Tak terhitung pula kerugian materi yang dialami oleh mereka yang terkena dampak bencana. Kita makin berduka karena di tengah pemberitaan bencana oleh media, terselip pula berita tentang bobroknya mental para penegak hukum di negeri ini.

Mental para penegak hukum yang bobrok tersebut memang bukanlah isu baru. Keluarganya Gayus Tambunan dan beberapa tahanan lainnya secara ilegal dari rumah tahanan hanya secuil kasus di antara banyaknya kasus yang timbul karena penegak hukum di negeri ini tidak menjalankan amanahnya. Lantas apa dampaknya bagi rakyat Indonesia?

Memang dampak bencana alam sangat kasat mata. Simpati dan empati orang yang tidak kena bencana akan muncul seketika bila menyaksikan penderitaan para korban. Mereka pun akan mengulurkan berbagai bantuan sesaat yang diharapkan dapat meringangkan beban para korban. Tapi tidak demikian halnya dengan “bencana” mental yang dilakoni oleh para pejabat negara, termasuk para penegak hukum. Ketika para penegak hukum tersebut lalai, atau bahkan bertolak belakang dengan tugas dan tanggung jawabnya, mungkin kita tidak mampu menyaksikan secara kasat mata dampaknya terhadap rakyat. Namun bila ditelisik lebih dalam, akan ditemukan fakta bahwa bobroknya mental para penegak hukum tersebut juga berdampak besar terhadap kehidupan rakyat.

Tidak tegaknya keadilan berarti telah terjadi kedzaliman. Para penjahat, termasuk para koruptor, merupakan orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Para pejabat yang koruptor pada prinsipnya telah merampas hak rakyat untuk hidup lebih baik. Karena itu, mereka sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan akibat perbuatannya. Tapi apa jadinya bila para penegak hukum tidak amanah? Ini berarti bahwa mereka telah mendzalimi rakyatnya sendiri.

Sesungguhnya perilaku para penegak hukum tersebut menandakan telah terjadi “bencana” mental yang tidak kalah besar dampaknya dengan bencana alam. Kita pun harus tanggap terhadap bencana tersebut. Pertanyaannya, bagaimana menghadapinya? Menurut penulis, ada dua momentum yang harus diperhatikan. Pertama, dalam kondisi darurat seperti saat ini, aksi tanggap adalah dengan memberikan sanksi yang seberat-beratnya terhadap oknum penegak hukum yang menyimpang dari tugas dan tanggung jawabnya. Diharapkan, sanksi ini dapat memberikan efek jera, terutama kepada penegak hukum lain yang belum melakukan tindakan menyimpang. Kedua, sambil menjalankan tanggap darurat, tetap perlu dilakukan upaya yang berorientasi jangka panjang dengan menyiapkan sistem hukum yang tepat dan calon penegak hukum yang amanah. Langkah ini memang membutuhkan waktu yang cukup panjang, dan hanya bisa dilakukan secara bertahap. Salah satu bagian penting dari sistem tersebut adalah adanya sistem insentif dan disinsentif yang tepat. Sistem ini tidak akan berjalan dengan baik bila tidak ditunjang oleh sumber daya manusia yang amanah. Mereka inilah yang perlu disiapkan sejak awal, terutama saat masih menjalani pendidikan. []

1 komentar:

  1. mas..untuk tahu tulisan kita dimuat gak di seputar indonesia, yang tema mahasiswa,gimana ya caranya?nuwun

    BalasHapus