30 November, 2010

Lemahnya Penegakan Aturan

Dimuat di Harian Jogja, 30 November 2010

Penganiayaan terhadap TKI kembali terjadi. Sumiati, TKI yang bekerja di Arab Saudi, mendapatkan perlakuan kejam dari majikannya yang melebihi batas kemanusiaan. Ini bukan kali pertama TKI memperoleh perlakuan demikian. Penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan yang dialami oleh TKI kerap kali terjadi.

Namun sampai saat ini persoalan tersebut belum dapat diatasi. Kebijakan pemerintah ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan TKI. Meski yang kerap disalahkan adalah para majikan yang melakukan penganiayaan, tapi tentu ini juga tidak terlepas dari lemahnya tata kelembagaan dalam penyaluran TKI. Jumlah TKI Indonesia pada 2010 mencapai 2,9 juta jiwa. Sekitar 45% bekerja di Malaysia, dan 35% di Arab Saudi. Menurut Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), lebih dari 20% TKI bermasalah pada 2009. Menurut penulis, munculnya masalah ini tidak terlepas dari tidak diterapkannya aturan dalam pengiriman TKI ke luar negeri.

Banyak masalah-masalah TKI di luar negeri ternyata bermula dari proses awalnya. Misal kasus Sumiati, TKI yang bekerja di Arab Saudi, ada indikasi berangkat ke luar negeri ketika masih di bawah umur, yakni kurang dari 18 tahun. Ini menandakan bahwa sejak berangkatnya pun, TKI sudah bermasalah. Barangkali persyaratan lainnya bisa jadi juga tidak terpenuhi karena dengan mudahnya bisa dimanipulasi oleh lembaga yang mengirimnya.

Dengan demikian, diterapkannya aturan atau tata kelembagaan dalam pengiriman TKI diyakini mampu meminimalkan kerugian yang bisa dialami oleh TKI. Paling tidak bila TKI tersebut lulus dari syarat-syarat yang telah ditentukan pemerintah, mereka berarti sudah memiliki kesiapan untuk menjadi TKI. Sehingga bila nantinya bermasalah dengan majikan, mereka sudah memiliki strategi atau cara menghadapinya. Berbeda bila TKI tersebut memang tidak memenuhi syarat, maka kemungkinan tidak bisa berbuat apa-apa bila nantinya bermasalah dengan majikan.

Karena itu, bila pemerintah ingin melindungi TKI, perhatiannya tidak selalu dengan berunding dengan negara tujuan TKI tersebut. Namun, yang paling penting adalah menegakkan aturan dalam pengiriman TKI. Kalau sudah sesuai aturan, tentu persoalannya tidak lagi di pihak kita, tapi di pihak negara yang menjadi tujuan TKI.

Pemerintah perlu menertibkan berbagai lembaga atau perusahaan yang mengirim TKI, yang kerap kali tidak mengindahkan aturan. Bila terbukti bersalah, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas. Pasalnya, lembaga tersebut juga kerap kali mengiming-imingi para calon pekerja untuk bekerja di luar negeri. Tentu ada keuntungan yang bisa diperoleh dari proses tersebut. Makin banyak yang menggunakan jasa lembaga tersebut, makin tinggi keuntungannya.

Bila persyaratan TKI diterapkan secara ketat, memang akan mengurangi jumlah TKI yang bisa bekerja di luar negeri. Ini memang konsekuensi yang harus ditanggung. Jadi pemerintah tidak bisa lepas tangan dengan kewajibannya untuk menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya kepada warga yang belum memperoleh pekerjaan secara layak. Dorongan untuk bekerja di luar negeri, apalagi secara ilegal, tentu tidak akan dilakukan bila di dalam negeri sudah memperoleh pekerjaan yang layak.[]

2 komentar:

  1. mas..untuk tahu tulisan kita dimuat di sindo,, ada link nya gak mas buat mengetahui itu........

    BalasHapus
  2. silakan lihat web sindo di alamat www.seputar-indonesia.com. klik sub opini. entar bisa lihat di sana. (siapapun anda, saya mau minta maaf karena lama banget baru saya jawab)

    BalasHapus