Pemerintah berencana melakukan pembatasan jumlah BBM bersubsidi. Pasalnya, menurut BHP Migas, kebutuhan BBM bersubsidi pada 2010 mencapai 40,1 – 40,5 juta kiloliter. Padahal, asumsi jumlah BBM bersubsidi dalam APBN-P 2010 hanya 36,5 juta kiloliter. Apabila pemerintah memenuhi permintaan tersebut, kebutuhan anggaran pengeluaran akan membengkak, sehingga menjadikan APBN rentan.
Dalam APBN-P 2010, anggaran subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp 89,29 triliun atau 1,5% PDB, dimana angka ini meningkat signifikan dari APBN 2010 yang hanya ditetapkan sebesar Rp 68,72 triliun atau 1,1% PDB. Bila pemerintah menambah jumlah subsidi BBM yang dibutuhkan masyarakat, tentu anggaran yang diperlukan akan lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang akan dialokasikan dalam APBN-P 2010. Defisit anggaran akan bertambah, sehingga meningkatkan utang pemerintah. Inilah kelemahan dari pengalokasian anggaran yang besar untuk subsidi, yang tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan.
Selain itu, dalam teori ekonomi publik, subsidi akan menimbulkan hilangnya kesejahteraan atau welfare loss, sebagaimana juga terjadi dalam pengenaan pajak. Makin besar subsidi yang diberikan pemerintah, makin tinggi welfare loss. Ini karena subsidi menciptakan distorsi harga, dimana harga yang terbentuk tidak mencerminkan interaksi antara permintaan dan penawaran di pasar. Bila pemerintah mencabut subsidi, lalu diserahkan pada harga pasar, tentu tidak terjadi welfare loss.
Namun subsidi tidak hanya boleh dilihat dari sisi kerugiannya, tapi juga keuntungannya. Ini karena BBM digunakan oleh hampir seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin. Kebutuhan BBM sangat erat dengan kehidupan rakyat tiap hari, sehingga bila harga BBM tinggi, rakyat yang berdaya beli rendah mengalami kesulitan. Rakyat ini berasal dari kalangan ekonomi lemah, dimana data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin per Maret 2009 mencapai 32,5 juta jiwa. Tak bisa dimungkiri, golongan ini memang pantas memperoleh subsidi. Selain itu, tingginya harga BBM juga menimbulkan efek lanjutan, dimana akan meningkatkan harga barang dan jasa yang terkait dengan penggunaan BBM. Telah umum diketahui, BBM adalah input yang digunakan dalam proses produksi, sehingga kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi yang akhirnya meningkatkan harga barang dan jasa. Konsekuensinya, pendapatan riil masyarakat turun. Jadi, subsidi BBM sebetulnya dimaknai sebagai penyelamatan terhadap orang miskin, yakni orang yang berdaya beli rendah.
Hanya saja, persoalan klasiknya adalah ketidakmampuan membatasi orang lain yang bukan sasaran dalam memperoleh subsidi, yakni orang yang tidak membutuhkan bantuan. Sampai saat ini, belum ada realisasi mekanisme yang paling berhasil dalam menjalankan subsidi BBM yang tepat sasaran. Oleh karena itu, menurut penulis, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk menjalankan kebijakan subsidi. Pertama, apapun skemanya, yang menjadi catatan penting adalah perlu implementasi yang serius di lapangan. Skema yang tepat belum tentu menghasilkan realisasi yang sesuai harapan. Dalam hal subsidi BBM, kunci untuk implementasi subsidi ada di tangan para petugas SPBU. Hal ini karena petugas SPBU lah yang menjadi kunci untuk membatasi orang – orang yang memang bukan sasaran untuk memperoleh subsidi.
Kedua, dalam jangka panjang, pemerintah harus meningkatkan penerimaan, baik dari pajak maupun non pajak guna membiayai subsidi BBM. Ini karena pemerintah wajib membantu rakyat yang tidak mampu secara ekonomi melalui instrumen anggaran. Makin banyak rakyat yang tidak mampu, makin tinggi kebutuhan subsidi BBM. Ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah
Dalam APBN-P 2010, anggaran subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp 89,29 triliun atau 1,5% PDB, dimana angka ini meningkat signifikan dari APBN 2010 yang hanya ditetapkan sebesar Rp 68,72 triliun atau 1,1% PDB. Bila pemerintah menambah jumlah subsidi BBM yang dibutuhkan masyarakat, tentu anggaran yang diperlukan akan lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang akan dialokasikan dalam APBN-P 2010. Defisit anggaran akan bertambah, sehingga meningkatkan utang pemerintah. Inilah kelemahan dari pengalokasian anggaran yang besar untuk subsidi, yang tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan.
Selain itu, dalam teori ekonomi publik, subsidi akan menimbulkan hilangnya kesejahteraan atau welfare loss, sebagaimana juga terjadi dalam pengenaan pajak. Makin besar subsidi yang diberikan pemerintah, makin tinggi welfare loss. Ini karena subsidi menciptakan distorsi harga, dimana harga yang terbentuk tidak mencerminkan interaksi antara permintaan dan penawaran di pasar. Bila pemerintah mencabut subsidi, lalu diserahkan pada harga pasar, tentu tidak terjadi welfare loss.
Namun subsidi tidak hanya boleh dilihat dari sisi kerugiannya, tapi juga keuntungannya. Ini karena BBM digunakan oleh hampir seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin. Kebutuhan BBM sangat erat dengan kehidupan rakyat tiap hari, sehingga bila harga BBM tinggi, rakyat yang berdaya beli rendah mengalami kesulitan. Rakyat ini berasal dari kalangan ekonomi lemah, dimana data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin per Maret 2009 mencapai 32,5 juta jiwa. Tak bisa dimungkiri, golongan ini memang pantas memperoleh subsidi. Selain itu, tingginya harga BBM juga menimbulkan efek lanjutan, dimana akan meningkatkan harga barang dan jasa yang terkait dengan penggunaan BBM. Telah umum diketahui, BBM adalah input yang digunakan dalam proses produksi, sehingga kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi yang akhirnya meningkatkan harga barang dan jasa. Konsekuensinya, pendapatan riil masyarakat turun. Jadi, subsidi BBM sebetulnya dimaknai sebagai penyelamatan terhadap orang miskin, yakni orang yang berdaya beli rendah.
Hanya saja, persoalan klasiknya adalah ketidakmampuan membatasi orang lain yang bukan sasaran dalam memperoleh subsidi, yakni orang yang tidak membutuhkan bantuan. Sampai saat ini, belum ada realisasi mekanisme yang paling berhasil dalam menjalankan subsidi BBM yang tepat sasaran. Oleh karena itu, menurut penulis, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk menjalankan kebijakan subsidi. Pertama, apapun skemanya, yang menjadi catatan penting adalah perlu implementasi yang serius di lapangan. Skema yang tepat belum tentu menghasilkan realisasi yang sesuai harapan. Dalam hal subsidi BBM, kunci untuk implementasi subsidi ada di tangan para petugas SPBU. Hal ini karena petugas SPBU lah yang menjadi kunci untuk membatasi orang – orang yang memang bukan sasaran untuk memperoleh subsidi.
Kedua, dalam jangka panjang, pemerintah harus meningkatkan penerimaan, baik dari pajak maupun non pajak guna membiayai subsidi BBM. Ini karena pemerintah wajib membantu rakyat yang tidak mampu secara ekonomi melalui instrumen anggaran. Makin banyak rakyat yang tidak mampu, makin tinggi kebutuhan subsidi BBM. Ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar