Seputar Indonesia, 18 Juni 2008
Industri (pelaku) pertelevisian tampaknya belum menyadari sepenuhnya tanggung jawabnya sebagai sarana pendidikan masyarakat. Saat ini, masih banyak siaran-siaran TV yang lebih mengedepankan permintaan pasar, meski menafikan tanggung jawabnya. Fenomena ini tentu memicu implikasi serius pada masyarakat yang menjadi konsumennya.
Namun, benarkah pelaku pertelevisian lebih mengedepankan permintaan pasar untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya? Lantas, masih relevankah peran media khususnya sektor pertelevisian sebagai sarana pendidikan masyarakat?
Memang sudah karakteristik manusia, bahwa segala sesuatu yang unik dan menuai larangan moral akan tergerak untuk dicoba-coba. Sehingga, tak heran bila selalu muncul permintaan terhadap substansi siaran TV yang menampilkan unsur-unsur tersebut. Ini dilihat pelaku pertelevisian sebagai peluang untuk memenuhi permintaan pasar. Uniknya, karena acara tersebut memang “disukai” masyarakat, maka berbondong-bondonglah pelaku pertelevisian menyiarkan substansi siaran yang sama. Makin variatif acara yang ditawarkan, maka bertambah pula permintaan masyarakat terhadap tontonan tersebut. Ini menandakan, awalnya permintaan menciptakan penawaran, tapi selanjutnya penawaran yang menciptakan permintaan. Karena itu, agar dampak negatifnya pada masyarakat bisa dikurangi, maka perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Munculnya siaran-siaran yang tidak mendidik merupakan tantangan bagi para pendidik baik orang tua ataupun guru. Karena itu, mesti diberikan perhatian khusus pada generasi-generasi muda agar tidak terjebak dalam tontonan tersebut. Keteladanan adalah senjata pertama yang harus ditunjukkan para pendidik, lalu pengawasan yang ketat. Karena masih banyak tontonan mendidik, maka para pendidik tidak perlu bingung, dengan kata lain tinggal memilih tontonan yang mendidik.
Bahkan, sekuat mungkin untuk mengurangi konsumsi tontonan TV pada diri sendiri dan anak-anak, sebab berdasarkan sejumlah penelitian, menonton TV memunculkan dampak negatif pada kesehatan otak. Pada dasarnya, aktivitas tersebut akan mengubah otak jadi pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis, dan merusak kecerdasan spasial pada otak sebelah kanan. Lebih dikhawatirkan lagi, aktivitas ini akan menyedot waktu yang seharusnya digunakan untuk aktivitas-aktivitas lain yang lebih bermanfaat.
Bagi dunia pertelevisian, tantangannya adalah menghasilkan tontonan-tontonan yang berkualitas. Di satu sisi, memang pelaku pertelevisian harus berkorban karena belum tentu tontonan berkualitas atau paling tidak jauh dari kandungan kekerasan dan unsur porno, bisa memperoleh pujian dari sisi kuantitas. Namun, sebetulnya masih banyak pilihan siaran TV yang memiliki rating tinggi tanpa menafikan unsur kekerasan dan unsur porno. Karena itu, tantangan ini sebetulnya bermuara pada kreativitas pelaku pertelevisian untuk menghasilkan tontonan-tontonan yang mendidik masyarakat. Dengan kondisi ini, tentunya masih relevan bila menganggap TV sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat, yang senantiasa menyediakan tontonan berkualitas, serta jauh dari unsur-unsur kekerasan dan porno
Industri (pelaku) pertelevisian tampaknya belum menyadari sepenuhnya tanggung jawabnya sebagai sarana pendidikan masyarakat. Saat ini, masih banyak siaran-siaran TV yang lebih mengedepankan permintaan pasar, meski menafikan tanggung jawabnya. Fenomena ini tentu memicu implikasi serius pada masyarakat yang menjadi konsumennya.
Namun, benarkah pelaku pertelevisian lebih mengedepankan permintaan pasar untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya? Lantas, masih relevankah peran media khususnya sektor pertelevisian sebagai sarana pendidikan masyarakat?
Memang sudah karakteristik manusia, bahwa segala sesuatu yang unik dan menuai larangan moral akan tergerak untuk dicoba-coba. Sehingga, tak heran bila selalu muncul permintaan terhadap substansi siaran TV yang menampilkan unsur-unsur tersebut. Ini dilihat pelaku pertelevisian sebagai peluang untuk memenuhi permintaan pasar. Uniknya, karena acara tersebut memang “disukai” masyarakat, maka berbondong-bondonglah pelaku pertelevisian menyiarkan substansi siaran yang sama. Makin variatif acara yang ditawarkan, maka bertambah pula permintaan masyarakat terhadap tontonan tersebut. Ini menandakan, awalnya permintaan menciptakan penawaran, tapi selanjutnya penawaran yang menciptakan permintaan. Karena itu, agar dampak negatifnya pada masyarakat bisa dikurangi, maka perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Munculnya siaran-siaran yang tidak mendidik merupakan tantangan bagi para pendidik baik orang tua ataupun guru. Karena itu, mesti diberikan perhatian khusus pada generasi-generasi muda agar tidak terjebak dalam tontonan tersebut. Keteladanan adalah senjata pertama yang harus ditunjukkan para pendidik, lalu pengawasan yang ketat. Karena masih banyak tontonan mendidik, maka para pendidik tidak perlu bingung, dengan kata lain tinggal memilih tontonan yang mendidik.
Bahkan, sekuat mungkin untuk mengurangi konsumsi tontonan TV pada diri sendiri dan anak-anak, sebab berdasarkan sejumlah penelitian, menonton TV memunculkan dampak negatif pada kesehatan otak. Pada dasarnya, aktivitas tersebut akan mengubah otak jadi pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis, dan merusak kecerdasan spasial pada otak sebelah kanan. Lebih dikhawatirkan lagi, aktivitas ini akan menyedot waktu yang seharusnya digunakan untuk aktivitas-aktivitas lain yang lebih bermanfaat.
Bagi dunia pertelevisian, tantangannya adalah menghasilkan tontonan-tontonan yang berkualitas. Di satu sisi, memang pelaku pertelevisian harus berkorban karena belum tentu tontonan berkualitas atau paling tidak jauh dari kandungan kekerasan dan unsur porno, bisa memperoleh pujian dari sisi kuantitas. Namun, sebetulnya masih banyak pilihan siaran TV yang memiliki rating tinggi tanpa menafikan unsur kekerasan dan unsur porno. Karena itu, tantangan ini sebetulnya bermuara pada kreativitas pelaku pertelevisian untuk menghasilkan tontonan-tontonan yang mendidik masyarakat. Dengan kondisi ini, tentunya masih relevan bila menganggap TV sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat, yang senantiasa menyediakan tontonan berkualitas, serta jauh dari unsur-unsur kekerasan dan porno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar