09 Februari, 2009

Gerakan Separatis RMS

Seputar Indonesia, rabu 4 Juli 2007

Peringatan Hari Keluarga Nasional ke-IV yang berlangsung tanggal 29 Juni 2007 di Ambon ditandai dengan kejadian memalukan, sekelompok orang yang menamakan dirinya anggota RMS memasuki lapangan saat acara berlangsung.

Kejadian memalukan ini tak ubahnya seperti “tamparan” khususnya bagi presiden SBY, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Apalagi dengan kedatangan tamu-tamu asing, yang turut menyaksikan aksi kelompok separatis ini.

Namun sungguh mengherankan, mengapa orang-orang tak diundang ini bisa masuk di lapangan, sambil turut ambil dalam acara pesta kesenian. Ini indikasi kegagalan aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya, sebab pada awalnya mereka memang bukan undangan panitia, tapi mengapa bisa masuk tanpa penjagaan ketat aparat? Tentu saja, pihak aparat keamanan mesti introspeksi diri atas kelemahan ini agar tidak terulang lagi.
Kita tak boleh menafikan keberadaan anggota RMS (Republik Maluku Selatan) sebagai gerakan separatis, yang masih saja berjuang untuk meraih kemerdekaan atau berpisah dari keutuhan NKRI. Kehadirannya di depan presiden SBY mungkin hanya sekedar simbol kalau mereka tetap ada sampai saat ini, meski pada realitasnya kelompok ini lemah. Akan tetapi, yang menarik dari anggota ini adalah pengorbanan diri mereka, ditangkap dan dipukuli aparat keamanan untuk hanya sekedar menunjukkan eksistensi gerakannya.

Namun meski saat ini lemah, tapi keberadaan mereka tentu tak bisa disepelekan. Kelompok ini bisa memperbesar diri jika tidak dikontrol atau diawasi aparat. Pemerintah Indonesia melalui aparat mesti memerangi setuntas-tuntasnya kalau memang gerakan ini tidak bisa damai dengan pemerintah dan menghentikan gerakannya. Ketegasan ini penting sebab dikhawatirkan nantinya RMS terus menguatkan gerakannya, apalagi kalau ditunggangi pihak luar yang nantinya akan menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI.
Mungkin masih kental di ingatan kita tentang Gerakan Aceh Merdeka, di mana pada awalnya pemerintah tidak terlalu peduli dengan keberadaan GAM. Namun, setelah GAM memproklamirkan kemerdekaan Aceh, pemerintah baru bereaksi. Tentu saja, perang besar tidak bisa dihindari sebab GAM sudah cukup kuat, meskipun pada akhirnya kalah dari TNI. Meski bisa diselesaikan dengan damai, GAM setidaknya bisa dijadikan contoh bagi pemerintah RI agar bertindak tegas dengan gerakan separatisme tidak hanya saat dia sudah kuat, melainkan sejak ada benih-benih gerakan kemerdekaan, gerakan itu harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.

Di sinilah peran BIN (Badan Intelijen Negara) dan TNI sebagai alat yang digunakan pemerintah Indonesia untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan seperti ini. Tentu saja, suasana di Ambon masih memiliki potensi untuk bergejolak jika tidak diantisipasi dengan cepat dan tuntas. Pemerintah khususnya pejabat daerah mesti sensitif, pasalnya seperti kita ketahui, Ambon merupakan kota yang dulunya terjadi konflik separatis.

Kejadian ini bisa jadi refleksi bagi aparat keamanan untuk memperketat penjagaan apalagi jika dihadiri oleh presiden dan tamu asing di daerah-daerah berunsur konflik. Selanjutnya terhadap kelompok RMS ini, aparat khususnya BIN menyelidiki lebih jauh terkait dengan keberadaan mereka. Jangan sampai pemerintah kecolongan dan pada akhirnya terjadi konflik lagi diakibatkan keterlibatan gerakan RMS ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar