Seputar Indonesia, 27 Agustus 2008
Akhir-akhir ini, kita amati banyak fenomena yang menunjukkan buruknya perilaku para politisi. Padahal, sosok politisi merupakan pemimpin yang semestinya menjadi teladan bagi rakyat. Dengan demikian, rakyat bisa menaruh harapan besar pada para politisi agar memperjuangkan hak-hak yang dimilikinya. Efek sampingnya, dukungan politik pada politisi tersebut bisa lebih kuat seiring dengan sikap positif yang dilakukan. Bila ditelisik lebih dalam, kenyataan yang terjadi ternyata berbeda. Politisi menunjukkan perilaku negatif baik dalam menjalankan tugasnya sebagai politisi maupun sebagai pribadi.
Salah satu kasus terbaru adalah korupsi berjamaah yang dilakukan anggota dewan yang “terhormat”. Ternyata, banyak anggota dewan yang diduga kuat terlibat kasus aliran dana BI, termasuk mantan anggota dewan yang kini menjadi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu. Kasus ini hanya salah satu dari berbagai macam kasus yang menimpa para wakil rakyat. Pada hakikatnya, para politisi tersebut telah membohongi diri sendiri dan rakyat, serta melanggar peraturan dan kode etik yang telah tetapkan.
Bila anggota dewan berperilaku demikian, maka mungkinkah rakyat bisa menikmati manfaat dari demokrasi? Jawabnya, tidak. Di alam demokrasi, rakyat memang punya peluang besar untuk menentukan kemajuan berupa kesejahteraan dan kemakmuran dengan cara menentukan pemimpin yang terbaik yang akan memberikan manfaat bagi diri dan kelompoknya. Akan tetapi, manfaat itu datang bila yang dipilihnya adalah orang-orang yang tepat, serta tidak mengingkari janji-janji yang diutarakan saat berkampanye.
Rakyat juga punya wewenang untuk menentukan para wakilnya yang akan duduk di parlemen. Perwakilan rakyat inilah yang berfungsi mengontrol jalannya pemerintahan, serta memperjuangkan hak-hak rakyat. Nah, di lembaga perwakilan ini, kerap kali ditemukan perilaku-perilaku negatif anggota dewan, termasuk praktif korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti yang disebutkan di awal. Pun, perilaku politisi yang tidak duduk di parlemen kerap juga menunjukkan perilaku buruk termasuk memperebutkan kekuasaan di tubuh partai.
Diakui, munculnya politisi semacam ini seakan menjadi sebuah sistem. Artinya, para politisi serasa mendapat insentif atau dorongan untuk melakukan praktik-praktik tersebut, sebab bila menghindarinya, terdapat sanksi sosial dari sesama anggota dewan. Tak heran bila muncul fenomena korupsi berjamaah di Parlemen. Nah, hal semacam ini tidak boleh dibiarkan karena rakyatlah yang menanggung penderitaannya. Di sisi lain, rakyat juga tidak boleh tinggal diam, dengan arti menyerahkan sepenuhnya kepada anggota dewan.
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk melawan para politisi tersebut? Semuanya berpulang ke rakyat. Rakyat memilih presiden dan wakil presiden, serta memilih anggota dewan. Oleh karena itu, rakyat masih bisa melakukan perlawanan kepada politisi-politisi, bila memang tidak mampu menjalankan amanah dari pemilihnya. Di alam demokrasi, rakyat memiliki beberapa hak, yakni memilih, mengontrol, menurunkan pemimpin atau politisi. Hak ini harus dilaksanakan sebaik-baiknya oleh rakyat agar manfaat dari berdemokrasi di negara kita benar-benar dinikmati kembali oleh rakyat. Sebab, sebentar lagi, kita akan menghadapi proses penentuan pemimpin yang hanya berlangsung sekali dalam 5 tahun. Kita harus gunakan momentum ini sebaik-baiknya
Akhir-akhir ini, kita amati banyak fenomena yang menunjukkan buruknya perilaku para politisi. Padahal, sosok politisi merupakan pemimpin yang semestinya menjadi teladan bagi rakyat. Dengan demikian, rakyat bisa menaruh harapan besar pada para politisi agar memperjuangkan hak-hak yang dimilikinya. Efek sampingnya, dukungan politik pada politisi tersebut bisa lebih kuat seiring dengan sikap positif yang dilakukan. Bila ditelisik lebih dalam, kenyataan yang terjadi ternyata berbeda. Politisi menunjukkan perilaku negatif baik dalam menjalankan tugasnya sebagai politisi maupun sebagai pribadi.
Salah satu kasus terbaru adalah korupsi berjamaah yang dilakukan anggota dewan yang “terhormat”. Ternyata, banyak anggota dewan yang diduga kuat terlibat kasus aliran dana BI, termasuk mantan anggota dewan yang kini menjadi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu. Kasus ini hanya salah satu dari berbagai macam kasus yang menimpa para wakil rakyat. Pada hakikatnya, para politisi tersebut telah membohongi diri sendiri dan rakyat, serta melanggar peraturan dan kode etik yang telah tetapkan.
Bila anggota dewan berperilaku demikian, maka mungkinkah rakyat bisa menikmati manfaat dari demokrasi? Jawabnya, tidak. Di alam demokrasi, rakyat memang punya peluang besar untuk menentukan kemajuan berupa kesejahteraan dan kemakmuran dengan cara menentukan pemimpin yang terbaik yang akan memberikan manfaat bagi diri dan kelompoknya. Akan tetapi, manfaat itu datang bila yang dipilihnya adalah orang-orang yang tepat, serta tidak mengingkari janji-janji yang diutarakan saat berkampanye.
Rakyat juga punya wewenang untuk menentukan para wakilnya yang akan duduk di parlemen. Perwakilan rakyat inilah yang berfungsi mengontrol jalannya pemerintahan, serta memperjuangkan hak-hak rakyat. Nah, di lembaga perwakilan ini, kerap kali ditemukan perilaku-perilaku negatif anggota dewan, termasuk praktif korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti yang disebutkan di awal. Pun, perilaku politisi yang tidak duduk di parlemen kerap juga menunjukkan perilaku buruk termasuk memperebutkan kekuasaan di tubuh partai.
Diakui, munculnya politisi semacam ini seakan menjadi sebuah sistem. Artinya, para politisi serasa mendapat insentif atau dorongan untuk melakukan praktik-praktik tersebut, sebab bila menghindarinya, terdapat sanksi sosial dari sesama anggota dewan. Tak heran bila muncul fenomena korupsi berjamaah di Parlemen. Nah, hal semacam ini tidak boleh dibiarkan karena rakyatlah yang menanggung penderitaannya. Di sisi lain, rakyat juga tidak boleh tinggal diam, dengan arti menyerahkan sepenuhnya kepada anggota dewan.
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk melawan para politisi tersebut? Semuanya berpulang ke rakyat. Rakyat memilih presiden dan wakil presiden, serta memilih anggota dewan. Oleh karena itu, rakyat masih bisa melakukan perlawanan kepada politisi-politisi, bila memang tidak mampu menjalankan amanah dari pemilihnya. Di alam demokrasi, rakyat memiliki beberapa hak, yakni memilih, mengontrol, menurunkan pemimpin atau politisi. Hak ini harus dilaksanakan sebaik-baiknya oleh rakyat agar manfaat dari berdemokrasi di negara kita benar-benar dinikmati kembali oleh rakyat. Sebab, sebentar lagi, kita akan menghadapi proses penentuan pemimpin yang hanya berlangsung sekali dalam 5 tahun. Kita harus gunakan momentum ini sebaik-baiknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar