Kompas Yogyakarta, Jumat 24 Agustus 2008
Meski 10 tahun berlalu, dampak krisis moneter di tahun 1997 masih dirasakan sampai saat ini. Bahkan, di ulang tahunnya yang ke- 10, marak diperbincangkan tentang potensi krisis menimpa kembali Indonesia.
Salah satu penyebab krisis 1997 adalah campur tangan asing khususnya para spekulan. Mereka mencari keuntungan dengan menempatkan dana yang super besar hingga mencapai ratusan miliar dollar Amerika Serikat dari satu negara ke negara lain, termasuk di Indonesia. Karena jumlahnya super besar, maka perekonomian yang tidak cukup kuat menahan keluarnya modal yang sifatnya jangka pendek akan terkena imbas berupa anjloknya nilai tukar, kemudian merembet pada sektor lain dan pada akhirnya terjadi krisis moneter.
Liberalisasi finansial menimbulkan dampak signifikan bagi perekonomian. Dengan terbukanya pasar uang dan modal bagi investor asing, sikap dan perilaku mereka akan berpengaruh pada perekonomian bangsa. Hal ini didukung oleh kekuatan modalnya cukup kuat untuk mendominasi pasar keuangan dan pasar modal, bahkan perbankan sebagai jantung perekonomian saat ini banyak dimanajeri dan dimiliki asing. Tentu saja, setiap saat bisa terjadi gejolak eksternal, seperti anjloknya pasar keuangan di AS, yang merembet ke negara Uni Eropa, Asia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, untuk pemulihannya, kita tetap tergantung pada perilaku ekonomi negara besar seperti AS, seperti sikap bank sentral AS menurunkan tingkat bunga diskonto berpengaruh pada membaiknya IHSG di Indonesia. Lalu, bagaimana agar perekonomian bisa bertahan dari gejolak eksternal?
Saat ini indikator makroekonomi Indonesia menunjukkan angka yang membaik. Pertumbuhan ekonomi yang terus membaik meski lambat dengan angka pada semester I 2007 sebesar 6,1 persen, inflasi tetap terjaga (6,5 persen), dan kurs terhadap dollar AS tetap stabil (Rp 9.300), cadangan devisa berkisar 53 miliar dollar AS, yang cukup tangguh menghadapi guncangan ekonomi. Namun, tentu tidak bisa berharap aman dari krisis hanya dengan fundamental ekonomi demikian. Sebab, ancaman eksternal seiring waktu berjalan terus bertambah dan berbahaya bagi perekonomian. Indonesia bisa bertahan dari gejolak krisis saat ini tapi bukan berarti beberapa tahun ke depan Indonesia akan bisa bertahan tanpa ada peningkatan dan perbaikan kualitas. Permasalahan internal bangsa yang tak kunjung beres, seperti maraknya korupsi, iklim investasi yang belum cukup mendukung, penyaluran kredit perbankan belum optimal meski suku bunga BI diturunkan terus turun, telah menjadi masalah klasik yang belum terpecahkan hingga saat ini.
Krisis mengajarkan kita bahwa perekonomian yang tumbuh pesat tanpa topangan dari dalam akan dengan mudah diporak-porandakan oleh gejolak eksternal. Topangan dari dalam salah satunya bisa berarti berkualitasnya pertumbuhan ekonomi. Untuk mampu bertahan dari terpaan gejolak eksternal, perekonomian nasional haruslah kuat dengan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor riil. Sektor yang dimaksud adalah yang menyerap banyak tenaga kerja seperti industri manufaktur dan pertanian. Dengan mengandalkan aktivitas rakyat untuk mendorong perekonomian, gejolak eksternal akan bisa diredam. Walaupun sektor finansial mengalami guncangan hebat, efeknya tidak sebesar dibanding tanpa topangan sektor riil, apalagi sampai menggoyahkan struktur perekonomian bangsa. Dengan demikian, tidak ada tawar-menawar lagi bagi pemerintah untuk tidak memerhatikan sektor riil, khususnya pertanian dan industri manufaktur, jika ingin tetap bertahan dari terpaan gejolak eksternal.
Meski 10 tahun berlalu, dampak krisis moneter di tahun 1997 masih dirasakan sampai saat ini. Bahkan, di ulang tahunnya yang ke- 10, marak diperbincangkan tentang potensi krisis menimpa kembali Indonesia.
Salah satu penyebab krisis 1997 adalah campur tangan asing khususnya para spekulan. Mereka mencari keuntungan dengan menempatkan dana yang super besar hingga mencapai ratusan miliar dollar Amerika Serikat dari satu negara ke negara lain, termasuk di Indonesia. Karena jumlahnya super besar, maka perekonomian yang tidak cukup kuat menahan keluarnya modal yang sifatnya jangka pendek akan terkena imbas berupa anjloknya nilai tukar, kemudian merembet pada sektor lain dan pada akhirnya terjadi krisis moneter.
Liberalisasi finansial menimbulkan dampak signifikan bagi perekonomian. Dengan terbukanya pasar uang dan modal bagi investor asing, sikap dan perilaku mereka akan berpengaruh pada perekonomian bangsa. Hal ini didukung oleh kekuatan modalnya cukup kuat untuk mendominasi pasar keuangan dan pasar modal, bahkan perbankan sebagai jantung perekonomian saat ini banyak dimanajeri dan dimiliki asing. Tentu saja, setiap saat bisa terjadi gejolak eksternal, seperti anjloknya pasar keuangan di AS, yang merembet ke negara Uni Eropa, Asia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, untuk pemulihannya, kita tetap tergantung pada perilaku ekonomi negara besar seperti AS, seperti sikap bank sentral AS menurunkan tingkat bunga diskonto berpengaruh pada membaiknya IHSG di Indonesia. Lalu, bagaimana agar perekonomian bisa bertahan dari gejolak eksternal?
Saat ini indikator makroekonomi Indonesia menunjukkan angka yang membaik. Pertumbuhan ekonomi yang terus membaik meski lambat dengan angka pada semester I 2007 sebesar 6,1 persen, inflasi tetap terjaga (6,5 persen), dan kurs terhadap dollar AS tetap stabil (Rp 9.300), cadangan devisa berkisar 53 miliar dollar AS, yang cukup tangguh menghadapi guncangan ekonomi. Namun, tentu tidak bisa berharap aman dari krisis hanya dengan fundamental ekonomi demikian. Sebab, ancaman eksternal seiring waktu berjalan terus bertambah dan berbahaya bagi perekonomian. Indonesia bisa bertahan dari gejolak krisis saat ini tapi bukan berarti beberapa tahun ke depan Indonesia akan bisa bertahan tanpa ada peningkatan dan perbaikan kualitas. Permasalahan internal bangsa yang tak kunjung beres, seperti maraknya korupsi, iklim investasi yang belum cukup mendukung, penyaluran kredit perbankan belum optimal meski suku bunga BI diturunkan terus turun, telah menjadi masalah klasik yang belum terpecahkan hingga saat ini.
Krisis mengajarkan kita bahwa perekonomian yang tumbuh pesat tanpa topangan dari dalam akan dengan mudah diporak-porandakan oleh gejolak eksternal. Topangan dari dalam salah satunya bisa berarti berkualitasnya pertumbuhan ekonomi. Untuk mampu bertahan dari terpaan gejolak eksternal, perekonomian nasional haruslah kuat dengan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor riil. Sektor yang dimaksud adalah yang menyerap banyak tenaga kerja seperti industri manufaktur dan pertanian. Dengan mengandalkan aktivitas rakyat untuk mendorong perekonomian, gejolak eksternal akan bisa diredam. Walaupun sektor finansial mengalami guncangan hebat, efeknya tidak sebesar dibanding tanpa topangan sektor riil, apalagi sampai menggoyahkan struktur perekonomian bangsa. Dengan demikian, tidak ada tawar-menawar lagi bagi pemerintah untuk tidak memerhatikan sektor riil, khususnya pertanian dan industri manufaktur, jika ingin tetap bertahan dari terpaan gejolak eksternal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar