04 April, 2012

Perencanaan dan Penganggaran yang Berkualitas


Pada era desentralisasi, pemerintah daerah memiliki tugas yang lebih besar untuk memacu perekonomian di daerahnya. Selain itu, pemerintah daerah juga memperoleh sumber daya finansial yang lebih besar dari pusat dan hak yang lebih luas untuk menggali pendapatan di daerah masing-masing. Sumber daya ini digunakan untuk mewujudkan kesejehateraan rakyat. 

Dalam literatur ekonomika publik, pemerintah menjalankan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Eksternalitas dan kepekaan preferensi merupakan dua kriteria yang menentukan level pemerintahan yang menjalankan fungsi tersebut. Dengan menggunakan kriteria ini, pendekatan Musgravian menyimpulkan bahwa fungsi stabilisasi disentralisasikan, sedangkan fungsi alokasi dan distribusi didesentralisasikan (Parhah, 2004).

Di Indonesia, fungsi alokasi sudah didesentralisasikan. Rata-rata sekitar 30 persen belanja APBN tiap tahunnya ditransfer ke daerah. Wajar jika setiap pemerintah daerah, baik level provinsi maupun kabupaten/kota, mengalami peningkatan yang signifikan pada pos pendapatan mereka. Di lain sisi, belanja pemerintah daerah juga meningkat tajam seiring dengan bertambahnya tugas-tugas yang diemban.

Sayangnya, banyak kalangan menilai pemerintah daerah belum optimal dalam pengelolaan keuangan daerah. Bahkan, sejumlah kabupaten/kota di Aceh hampir mengalami kebangkrutan. Persoalan ini disebabkan oleh terlalu gemuknya birokrasi, mismanajemen, dan tekanan politik lokal. Pemerintah daerah tidak mampu mengelola belanja daerah, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan hingga pelaksanaan, dengan efektif dan efisien. Di sisi lain, pemerintah daerah juga tidak mampu mencapai target PAD (Pendapatan Asli Daerah) untuk mendanai belanjanya.  

Buruknya pengelolaan keuangan akan berimbas pada rendahnya kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang disediakan. Pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan di sektor publik, yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah, dalam bentuk penyediaan barang dan atau jasa sesuai kebutuhan masyarakat berdasarkan aturan-aturan hukum yang berlaku (Larasati, 2008). Jika pelayanan publik belum optimal, kesejahteraan rakyat akan sulit terwujud. Misal, jika pemerintah gagal menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, hak rakyat untuk hidup sehat dan terpelajar tidak akan pernah diperoleh. Akibatnya, kesejahteraan semakin sulit dicapai.

Oleh karena itu, kunci pelayanan publik yang baik bersumber pada pengelolaan keuangan daerah yang baik pula. Di Sulsel sendiri, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masih memiliki pekerjaan yang belum selesai. Menurut Ekonom Senior Bank Dunia, Gregorius DV Pattinasarany, Pemprov dan Pemkab/Pemkot se-Sulsel masih perlu memacu seluruh potensi yang dimiliki dengan pola penggunaan belanja yang efektif dan efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran sehingga alokasi belanja publik untuk mencapai target pembangunan menjadi optimal (FAJAR, 2/2).

Perencanaan dan Penganggaran Berdasarkan Data
Untuk melakukan perencanaan dan penganggaran yang bermutu, dibutuhkan kapasitas yang mumpuni dari aparat daerah yang berkecimpung di bidang tersebut. Hanya saja, saat ini masih dipertanyakan mengenai kapasitas aparat daerah dalam melakukan perencanaan dan penganggaran seiring dengan berlangsungnya desentralisasi. Padahal, menurut Lindaman dan Thurmaier (2002), positif atau negatifnya dampak desentralisasi sangat tergantung pada kemampuan pemerintah daerah dalam memanfaatkan kewenangan dan kapasitas anggarannya.

Kegiatan perencanaan dan penganggaran yang bermutu tidak hanya mensyaratkan kapasitas pemerintah, tapi juga ketersediaan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2004 menekankan bahwa perencanaan pembangunan harus didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dan informasi itu di antaranya adalah: penyelenggaraan pemerintah daerah; organisasi dan tata laksana pemerintah daerah; keuangan daerah; potensi sumber daya daerah; produk hukum daerah; kependudukan; informasi dasar kewilayahan; dan informasi lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintah dareah.

Namun perencanaan dan penganggaran di daerah seringkali tidak dilandasi oleh informasi yang lengkap dan terpercaya. Memang, minimnya ketersediaan data merupakan salah satu persoalan dalam perencanaan dan penganggaran di negara berkembang (Orbeta, 2006). Sementara itu, Carino, Corpuz, dan Manasan (2004) menyatakan bahwa minimnya data ekonomi dan data lain yang relevan di level provinsi dan kabupaten/kota merupakan hambatan utama dalam perencanaan dan penganggaran daerah yang efektif. Studi ini merekomendasikan pentingnya memperkuat data untuk digunakan dalam perencanaan dan penganggaran.

Kegiatan perencanaan yang dibarengi dengan penganggaran memang mensyaratkan tersedianya data yang lengkap dan terpercaya. Dengan data, pemerintah dapat melakukan penentuan prioritas belanja dengan tepat. Besarnya anggaran yang dialokasikan harus berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan penilaian subjektif pemerintah. Misal, bila pemerintah ingin menentukan besarnya peningkatan belanja kesehatan, terlebih dahulu harus dihitung besarnya kebutuhan yang sesungguhnya.

Jadi, kualitas perencanaan dan penganggaran dapat ditingkatkan melalui dua hal, yakni dengan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah yang berkecimpung di bidang perencanaan dan penganggaran, serta dengan memperkuat basis data yang lengkap dan terpercaya. Jika dua hal ini dipenuhi, belanja publik akan teralokasi dengan efektif dan efisien, sehingga berimbas pada terwujudnya kesejahteraan rakyat. [] 


NB; Ditulis pada Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar