Di awal tahun 2012, selama sekitar satu bulan saya menetap di Makassar.
Setelah sekian lama tidak bersua dengan kota ini, karena harus merantau ke kota
lain untuk menuntut ilmu, akhirnya bisa kembali. Memang rencana awal akan
menetap untuk waktu yang lama, tapi karena satu dan lain hal, akhirnya saya
harus hijrah kembali ke kota lain.
Selama satu bulan tersebut, saya mengamati salah satu aspek kehidupan
masyarakat kota Makassar. Dibandingkan dengan lima tahun lalu, sebelum saya
hijrah, keadaan kota ini sudah jauh berbeda. Salah satu yang berbeda dan sangat
mengesankan bagi saya adalah perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Bahkan,
kemajuan ini bisa dilihat secara kasat mata, tanpa harus membuka data
statistik. Kita dapat melihat banyaknya gedung-gedung yang tinggi yang sedang
atau telah dibangun, serta kendaraan roda empat dan roda dua yang memadati
jalan-jalan raya. Dua hal ini bisa dijadikan indikasi awal makin majunya
ekonomi di
suatu wilayah.
Pengamatan secara kasat mata ini memang selaras dengan data statistik. BPS
mencatat pertumbuhan ekonomi Makassar antara 2007 sampai 2009 berturut-turut
8,1 persen, 10,5 persen, dan 9,2 persen. Berdasarkan harga berlaku, PDRB
Makassar di tahun yang sama berturut-turut Rp 20, 8 triliun, Rp 26, 1 triliun,
dan Rp 31,3 triliun. Sementara itu, pendapatan per kapita berdasarkan harga
berlaku pada tahun yang sama berturut-turut Rp 16,87 juta, Rp 20,79 juta, Rp
24,58 juta. Namun bila harga konstan yang jadi patokan, pendapatan per kapita pada
tahun tersebut berturut-turut Rp 9,92 juta, Rp 10,8 juta, dan Rp 11,63 juta.
Dengan melihat data ini, tingkat kesejahteraan di Makassar melampaui kota-kota
lain di Sulawesi Selatan. Bandingkan dengan Parepare, dimana pada tahun yang
sama, hanya mencapai pendapatan per kapita berdasarkan harga konstan
berturut-turut Rp 5,4 juta, Rp 5,6 juta, dan Rp 5,88 juta. Padahal, Parepare juga
tergolong sebagai kota yang maju di Sulawesi Selatan.
Kemajuan ekonomi juga semestinya berimplikasi pada peningkatan Indeks Pembangunan
Manusia. Konsep pembangunan yang umum diterima saat ini adalah pembangunan yang
dapat
memperluas pilihan. Dengan kata lain, salah satu
indikator kesejahteraan adalah ketika manusia mampu menetapkan pilihan.
Kesejahteraan berbanding lurus dengan kemampuan memilih. Misalnya, orang yang
sejahtera dapat memilih dalam penggunaan kendaraan, seperti sepeda, motor,
mobil, dll. Orang yang tidak sejahtera, bisa jadi hanya mampu menggunakan
sepeda, tapi tidak mampu menggunakan motor atau mobil.
Memang sulit untuk mengukur indikator kesejahteraan seperti yang dikemukan
tersebut. Akan tetapi, sejumlah ekonom yang dimotori oleh Amartya Sen telah
mengembangkan pengukuran kesejahteraan yang lebih komprehensif, yang saat ini
dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini mengukur pencapaian
pembangunan dengan menggunakan tiga dimensi, yakni pendapatan, pendidikan, dan
kesehatan. Yang baru dari konsep ini adalah dimasukkannya pendidikan dan kesehatan sebagai indikator keberhasilan
pembangunan. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin
terjadinya perbaikan yang signifikan di bidang pendidikan dan kesehatan. Pengukuran
ini juga mengakui betapa pentingnya manusia dalam pembangunan. Manusia yang
sehat dan terdidik seharusnya dijadikan sebagai salah satu sasaran
pembangunan. Pun, dengan
kualitas manusia yang demikian, akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi
yang tinggi.
Lantas, seperti apa kondisi IPM di Makassar? Selama tahun 2006-2009, boleh
saja pemerintah Makassar berbangga karena IPM meningkat dengan nilai
berturut-turut 76.87, 77.33, 77.92, dan 78.24. Peningkatan ini patut diapresiasi sebab menandakan adanya
perbaikan kualitas manusia di Makassar. Barangkali
perbaikan ini disebabkan oleh program-program pelayanan kesehatan dan pendidikan
yang menjangkau masyarakat. Selama saya di Makassar, yang cukup intens saya
baca di media adalah political action
dari Walikota Makassar untuk menggalakkan budaya membaca untuk warga Makassar.
Pemerintah memfasilitas perpustakaan di kampung-kampung, dan secara aktif
berkampanye untuk menumbuhkan budaya membaca. Yah, memang ini hanya salah satu
upaya dari pemerintah Makassar yang bisa berdampak pada perbaikan pada salah
satu komponen IPM, yakni angka melek huruf. Tentu ada upaya-upaya lain yang
telah atau sedang dilakukan guna meningkatkan kualitas manusia warga Makassar.
Makassar Tak Luput dari Banjir
dan Macet
Sebagaimana kota yang ekonominya sedang menggeliat, Makassar tidak luput
dari persoalan. Bahkan, persoalan ini makin bertambah dari waktu ke waktu bila
tidak segera diantisipasi oleh pemerintah. Di awal tahun 2012 ini, intensitas
hujan meningkat di kota ini. Sejumlah wilayah perkampungan masyarakat terkena banjir. Untungnya, banjir belum menggenangi jalan-jalan utama.
Drainase yang buruk merupakan salah satu penyebab banjir. Ditambah lagi dengan
kurangnya daerah resapan. Daerah resapan makin berkurang karena digunakan untuk
pembangunan gedung-gedung perkantoran dan perbelanjaan, serta pemukiman.
Sementara itu, kemacetan di jalan-jalan utama makin sering terjadi,
terutama pada pagi dan sore hari. Jumlah kendaraan roda empat dan roda dua
makin bertambah, sementara perluasan jalan cenderung konstan. Akibatnya,
kemacetan tidak bisa dihindarkan. Kemacetan ini terutama sering saya amati di Jl. A.P Pettarani dan Jl. Bawakaraeng. Jika
pemerintah serius ingin mengantisipasi kemacetan, maka salah satu langkah yang
bisa ditempuh adalah menyediakan moda transportasi publik yang nyaman dan
murah. Harapannya, warga Makassar akan berpindah ke transportasi publik, sehingga
jumlah kendaraan pribadi yang diutilisasi semakin berkurang. Hasilnya,
kemacetan pun dapat
diatasi.
Dua persoalan ini harus menjadi perhatian serius pemerintah seiring dengan
menggeliatnya ekonomi di kota ini. Hal ini juga sejalan dengan visi untuk menjadikan Makassar sebagai kota dunia. Visi pemerintah
ini tentu bukan angan-angan
kosong. Makassar punya potensi untuk itu. Akan tetapi, tidak cukup
hanya memiliki visi, tapi juga harus
dibarengi dengan rencana strategis dan konkrit. Kalau pemerintah salah strategi, bisa jadi Makassar akan bernasib sama dengan Jakarta.
Memang di satu sisi ekonomi tumbuh mengesankan, tapi di sisi lain muncul
persoalan, seperti banjir, kemacetan, serta masalah sosial lain. Karena
itu, persoalan tersebut
harus diantisipasi oleh pemerintah
sejak dini. Tata kota harus
dirancang sedemikian rupa agar pembangunan gedung dan pemukiman tidak menggangu
keseimbangan lingkungan. Begitupun dengan aspek transportasi, dimana
ketersediaan transportasi publik yang nyaman dan murah harus dipikirkan dari
sekarang agar jalan-jalan tidak dominan dipadati oleh kendaraan pribadi. []
NB:
Tulisan terinspirasi
dari diskusi dengan seorang sahabat, Nurul Hiqmah (Mahasiswi Fakultas Teknik
Unhas)
wah trimakasih sangat membantu. punya gak data PDRB kabupaten sulsel 2012?
BalasHapus