04 April, 2012

Pemekaran, Kepentingan Politik, dan Kesejahteraan


Perebutan posisi ketua pansus pemekaran daerah Luwu Tengah menarik dicermati. Dalam pemilihan tersebut, terdapat dua calon ketua pansus yang masing-masing merepresentasikan bakal calon gubernur Sulawesi Selatan pada pemilukada 2013 mendatang. Yang menarik dicermati, masing-masing kubu ingin menarik simpati rakyat di wilayah Luwu Raya, terutama di daerah yang dimekarkan, agar memperoleh dukungan pada Pilgub mendatang. Tampak jelas, aroma politis mewarnai proses pemekaran luwu tengah ini. Padahal, sangat disayangkan bila proses pemekaran ditunggangi dengan kepentingan politik.

Tujuan utama pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembentukan DOB dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari suatu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Ini berarti bahwa pemekaran merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Juga memungkinkan untuk dilakukan penghapusan daerah dengan menggabungkannya ke daerah lain jika dianggap daerah tersebut gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun opsi terakhir ini masih sebatas wacana.

Pemekaran wilayah memang berpotensi meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Pelayanan publik yang makin baik merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesejahteraan. Litvack dkk (1988) mengatakan bahwa makin dekat pengambil kebijakan dengan rakyat, makin efisien pula kebijakan penyediaan layanan publik. Bila kewenangan terkait pelayanan publik (rakyat) diputuskan di level pemerintahan yang tinggi (pusat), kemungkinan besar kebijakan tersebut tidak efisien dan juga tidak tepat sasaran. Pasalnya, pengambil kebijakan di level pusat tidak memiliki informasi yang lengkap dan kredibel mengenai jenis dan kuantitas kebutuhan di masing-masing daerah. Di Indonesia, sejak 2001, sebagian besar kewenangan menyangkut pelayanan publik telah diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, yakni pada level kabupaten/kota.

Namun sejak desentralisasi berlaku hingga saat ini, fenomena pembentukan DOB seiring waktu semakin bertambah. Selama 10 tahun terakhir, jumlahnya naik sebesar 205 DOB, terdiri atas 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Alasan utama yang dikemukakan oleh pendukung pemekaran adalah mendesaknya kebutuhan untuk memperbaiki layanan publik dan memeratakan hasil pembangunan ke segenap rakyat.   

Rakyat yang menuntut pemekaran memang biasanya terdapat di daerah yang memiliki wilayah yang cukup luas. Pasalnya, seringkali pemerintah kab/kota atau provinsi dengan wilayah yang luas tersebut tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memberikan pelayanan publik secara memuaskan kepada seluruh rakyatnya. Akibatnya muncul tuntutan untuk membentuk pemerintahan baru yang lebih mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Harapannya, tuntutan akan tersedianya layanan publik yang memadai dapat terpenuhi, sehingga kesejahteraan rakyatpun semakin membaik. Bila banyak bermunculan tuntutan untuk mendirikan pemerintahan baru yang otonom, baik di level provinsi maupun level kabupaten/kota, bisa jadi ini menunjukkan gagalnya manajemen pelayanan publik pemerintah.

Namun bila taat aturan, tentu tidak mudah untuk membentuk daerah baru yang terpisah dari daerah induk. UU No. 32 Tahun 2004 menggariskan sejumlah persyaratan yang meliputi teknis, administratif, dan fisik. Bila segala persyaratan dipenuhi, maka memang selayaknya daerah tersebut menjadi DOB. Akan tetapi, sebaiknya tidak dipaksakan mekar bila daerah tidak mampu memenuhi semua persyaratan tersebut. Kenyataannya, pertimbangan politik lebih utama. Kepentingan politik sejumlah oknum lokal untuk berkuasa seringkali menjadi pendorong utama bagi pemekaran daerah. Bahkan, syarat-syarat yang mestinya dipenuhi, dimanipulasi sedemikian rupa agar tampak legal. Tak jarang pula, pemekaran darah diwarnai dengan kongkalingkong antar pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.  

Perilaku tidak taat aturan dalam proses pemekaran menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana kinerja dareah hasil pemekaran tersebut? Pada dasarnya, kinerja sebagian besar DOB tidak sesuai dengan harapan saat pembentukannya. Bukan kesejahteraan yang diperoleh rakyat, tapi justru dampak negatif, seperti melambatnya aktivitas ekonomi dan minimnya anggaran yang pro rakyat miskin. Pun, pelayanan publik yang makin baik tak kunjung datang. Kajian Bappenas menyimpulkan bahwa selama lima tahun berjalan (2001-2005), posisi daerah induk dan kontrol selalu lebih baik dari daerah otonom baru dalam aspek-aspek yang meliputi ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik, dan aparatur pemerintahan.

Pertanyaannya, mengapa janji kesejahteraan tidak kunjung datang setelah pemekaran? Kita tahu bahwa proses akan menentukan hasil. Prinsipnya, bila prosesnya dilalui dengan benar, maka kemungkinan besar akan memperoleh hasil sesuai yang diharapkan. Begitupun yang terjadi pada kasus pemekaran daerah. Selama ini, pembentukan sebagian besar DOB tidak dilandasi dengan pemenuhan persyaratan teknis, administratif, dan fisik. Namun yang lebih dominan adalah pertimbangan politik. Wajar jika muncul dukungan yang kuat untuk menghentikan sementara (moratorium) pemekaran. Sampai saat ini, pemerintah pusat memang menerapkan moratorium tersebut. Kebijakan ini patut diapresiasi mengingat urgensi untuk mengerem laju pemekaran yang nyatanya tidak membuahkan hasil sesuai yang diharapkan.[]

NB; Ditulis pada Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar