Harian Jogja, Selasa 19 Januari 2010
Perdagangan bebas yang diberlakukan mulai 1 Januari 2010 telah memunculkan protes dari sejumlah pihak, terutama kalangan pengusaha. Pemberlakuan perdagangan bebas dinilai akan memberatkan pengusaha domestik, sebab produk mereka belum bisa bersaing dengan produk buatan China. Dalam rangka untuk melindungi industri domestik, tentu saja pemerintah tidak boleh tinggal diam. Namun pelaku usaha juga tidak boleh menunggu perlindungan pemerintah saja, melainkan harus berupaya meningkatkan daya saing produknya.
Pada dasarnya, munculnya perdagangan bebas ditujukan untuk meningkatkan arus barang dan jasa. Secara teoritis, perdagangan bebas ditandai oleh nihilnya hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif. Namun dalam dunia praktis, yang dianggap sebagai hambatan perdagangan hanya menyangkut tarif. Oleh karena itu, perdagangan bebas dapat dimaknai sebagai penghapusan tarif impor atau bea masuk barang dan jasa. Penghapusan tarif dinilai dapat menurunkan harga jual, sehingga konsumen dapat memperoleh barang dengan harga yang relatif murah. Hal ini dapat merangsang konsumen untuk meningkatkan konsumsi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nasional bagi negara eksportir.
Meski perdagangan bebas dapat menguntungkan bagi tiap negara yang terlibat, tapi terdapat asumsi yang mesti dipenuhi sebelum tujuan ini tercapai. Asumsi tersebut adalah adanya daya saing yang mumpuni antara pihak-pihak yang berdagang. Bila salah satu pihak berdaya saing tinggi, sedangkan pihak lainnya kurang berdaya saing, maka akan terjadi ketimpangan. Peningkatan arus barang dan jasa hanya terjadi pada negara yang memiliki daya saing tinggi, sementara negara yang berdaya saing rendah, hanya menjadi konsumen atau pasar. Oleh karena itu, suatu negara yang memutuskan akan mengadakan perdagangan bebas harus terlebih dahulu memiliki daya saing yang tidak kalah dengan negara lain.
Berangkat dari konsep ini, kita dapat menganalisis persoalan yang terjadi di Indonesia pasca diberlakukannya zona perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Pada umumnya, pengusaha domestik menyadari ketidakmampuannya bersaing dengan pengusaha China. Salah satu bukti kuantitatifnya adalah defisit perdagangan Indonesia dengan China yang mencapai USD 3,61 miliar pada 2008. Oleh karena itu, dikhawatirkan industri domestik akan melemah pasca diberlakukannya perdagangan bebas, dimana pengusaha domestik tidak menjadi tuan di negeri sendiri, tapi justru menjadi penonton. Namun tampaknya pemerintah tetap menaruh perhatian dalam melindungi industri domestik yang memang belum bisa bersaing. Langkah ini dilakukan dengan diadakannya penyesuaian tarif pada produk-produk yang belum bisa bersaing, perbaikan infrastruktur, pengadaan regulasi yang mendukung aktivitas produksi, dan lain-lain.
Namun pelaku usaha, khususnya bidang UMKM, juga tidak boleh hanya berharap datangnya bantuan pemerintah. Pelaku usaha juga harus berupaya keras untuk meningkatkan daya saing. Menurut penulis, terdapat sejumlah langkah yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing. Pertama, terus menerus memacu inovasi dan kreativitas. Kekuatan dari suatu produk adalah diferensiasi, yaitu adanya keunikan yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya keunikan, maka konsumen akan tertarik untuk membelinya. Sementara itu, pesaing belum tentu mampu untuk menciptakan produk yang sejenis. Oleh karena itu, adanya inovasi dan kreativitas akan menghasilkan produk yang diminati oleh konsumen. Kedua, menguatkan permodalan. Kerap kali suatu usaha tidak mencapai skala ekonomis hanya karena alasan ketidakcukupan modal. Suatu usaha yang mencapai skala ekonomis menunjukkan kondisi dimana biaya rata-rata mencapai titik minimum. Biasanya, pelaku usaha yang memiliki modal yang kuat, dapat mencapai skala ekonomis, sehingga harga per unit barang bisa lebih murah dibanding kondisi yang tidak mencapai skala ekonomis. Para pelaku usaha yang belum mencapai skala ekonomis karena alasan modal, tentu mesti memanfaatkan berbagai fasilitas pendanaan yang saat ini sudah digalakkan oleh pemerintah melalui bank-bank pemerintah. []
Perdagangan bebas yang diberlakukan mulai 1 Januari 2010 telah memunculkan protes dari sejumlah pihak, terutama kalangan pengusaha. Pemberlakuan perdagangan bebas dinilai akan memberatkan pengusaha domestik, sebab produk mereka belum bisa bersaing dengan produk buatan China. Dalam rangka untuk melindungi industri domestik, tentu saja pemerintah tidak boleh tinggal diam. Namun pelaku usaha juga tidak boleh menunggu perlindungan pemerintah saja, melainkan harus berupaya meningkatkan daya saing produknya.
Pada dasarnya, munculnya perdagangan bebas ditujukan untuk meningkatkan arus barang dan jasa. Secara teoritis, perdagangan bebas ditandai oleh nihilnya hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif. Namun dalam dunia praktis, yang dianggap sebagai hambatan perdagangan hanya menyangkut tarif. Oleh karena itu, perdagangan bebas dapat dimaknai sebagai penghapusan tarif impor atau bea masuk barang dan jasa. Penghapusan tarif dinilai dapat menurunkan harga jual, sehingga konsumen dapat memperoleh barang dengan harga yang relatif murah. Hal ini dapat merangsang konsumen untuk meningkatkan konsumsi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nasional bagi negara eksportir.
Meski perdagangan bebas dapat menguntungkan bagi tiap negara yang terlibat, tapi terdapat asumsi yang mesti dipenuhi sebelum tujuan ini tercapai. Asumsi tersebut adalah adanya daya saing yang mumpuni antara pihak-pihak yang berdagang. Bila salah satu pihak berdaya saing tinggi, sedangkan pihak lainnya kurang berdaya saing, maka akan terjadi ketimpangan. Peningkatan arus barang dan jasa hanya terjadi pada negara yang memiliki daya saing tinggi, sementara negara yang berdaya saing rendah, hanya menjadi konsumen atau pasar. Oleh karena itu, suatu negara yang memutuskan akan mengadakan perdagangan bebas harus terlebih dahulu memiliki daya saing yang tidak kalah dengan negara lain.
Berangkat dari konsep ini, kita dapat menganalisis persoalan yang terjadi di Indonesia pasca diberlakukannya zona perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Pada umumnya, pengusaha domestik menyadari ketidakmampuannya bersaing dengan pengusaha China. Salah satu bukti kuantitatifnya adalah defisit perdagangan Indonesia dengan China yang mencapai USD 3,61 miliar pada 2008. Oleh karena itu, dikhawatirkan industri domestik akan melemah pasca diberlakukannya perdagangan bebas, dimana pengusaha domestik tidak menjadi tuan di negeri sendiri, tapi justru menjadi penonton. Namun tampaknya pemerintah tetap menaruh perhatian dalam melindungi industri domestik yang memang belum bisa bersaing. Langkah ini dilakukan dengan diadakannya penyesuaian tarif pada produk-produk yang belum bisa bersaing, perbaikan infrastruktur, pengadaan regulasi yang mendukung aktivitas produksi, dan lain-lain.
Namun pelaku usaha, khususnya bidang UMKM, juga tidak boleh hanya berharap datangnya bantuan pemerintah. Pelaku usaha juga harus berupaya keras untuk meningkatkan daya saing. Menurut penulis, terdapat sejumlah langkah yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing. Pertama, terus menerus memacu inovasi dan kreativitas. Kekuatan dari suatu produk adalah diferensiasi, yaitu adanya keunikan yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya keunikan, maka konsumen akan tertarik untuk membelinya. Sementara itu, pesaing belum tentu mampu untuk menciptakan produk yang sejenis. Oleh karena itu, adanya inovasi dan kreativitas akan menghasilkan produk yang diminati oleh konsumen. Kedua, menguatkan permodalan. Kerap kali suatu usaha tidak mencapai skala ekonomis hanya karena alasan ketidakcukupan modal. Suatu usaha yang mencapai skala ekonomis menunjukkan kondisi dimana biaya rata-rata mencapai titik minimum. Biasanya, pelaku usaha yang memiliki modal yang kuat, dapat mencapai skala ekonomis, sehingga harga per unit barang bisa lebih murah dibanding kondisi yang tidak mencapai skala ekonomis. Para pelaku usaha yang belum mencapai skala ekonomis karena alasan modal, tentu mesti memanfaatkan berbagai fasilitas pendanaan yang saat ini sudah digalakkan oleh pemerintah melalui bank-bank pemerintah. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar