Seputar Indonesia, 4 Januari 2010
Perdagangan bebas tampaknya menjadi kebutuhan bagi negara-negara di dunia. Artinya, tiap negara berkeinginan membuka diri terhadap arus lalu lintas barang dan jasa internasional. Hanya saja, persoalan terletak pada waktu pelaksanaannya. Sebab, negara yang belum siap bersaing, pasti akan dirugikan. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi saat pemerintah Indonesia menyetujui perdagangan bebas dengan China yang dimulai pada 1 Januari 2010. Pada umumnya, kalangan pengusaha Indonesia belum siap menghadapi perdagangan bebas dengan China.
Telah umum diketahui, perdagangan bebas akan mendatangkan manfaat bagi negara yang terlibat. Secara makro, perdagangan bebas akan meningkatkan volume dan nilai perdagangan. Ini terjadi karena hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif, dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Secara teoritis, makin kecil hambatan perdagangan, makin tinggi pula lalu lintas perdagangan barang dan jasa. Ini terjadi karena harga-harga produk tersebut juga makin rendah, sehingga mendorong kenaikan permintaan konsumen dari berbagai negara.
Namun perdagangan bebas juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi negara yang terlibat. Dampak negatif ini timbul bila suatu negara memiliki daya saing yang relatif rendah. Bila daya saing rendah, negara tersebut justru akan menjadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Dengan kata lain, negara tersebut akan lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor. Akibatnya, produksi domestik akan berkurang, lalu pengangguran akan naik karena terjadi penurunan permintaan tenaga kerja. Tentu saja, setiap negara tidak ingin mendapatkan dampak negatif dari perdagangan bebas, sehingga mereka berupaya meningkatkan daya saing.
Telah umum diketahui, hampir setiap negara memiliki produk-produk yang strategis. Produk tersebut diharapkan berdaya saing tinggi, sehingga bila diperdagangkan dalam keadaan bebas hambatan, volume dan nilainya akan meningkat. Hanya saja, dalam kasus perdagangan China-Indonesia, beberapa produk seperti baja dan tekstil, merupakan produk strategis di kedua negara, sehingga akan terjadi persaingan sengit bila diadakan perdagangan bebas. Kemungkinan besar salah satu di antaranya akan kalah bersaing. Inilah yang dikhawatirkan oleh pengusaha-pengusaha di Indonesia. Karena itu, mereka meminta pemerintah untuk menunda waktu pelaksanaan perdagangan bebas ini.
Kekhawatiran pengusaha Indonesia, khususnya yang memiliki kesamaan produk dengan pengusaha China, memang dapat dimaklumi. Pasalnya, tanpa ada perdagangan bebas pun, pengusaha Indonesia sudah kesulitan menghadapi produk China. Terbukti, produk-produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Bagi konsumen di Indonesia, produk-produk China menjadi pilihan karena dianggap relatif murah, meski kualitasnya tidak lebih baik dari kualitas produk Indonesia.
Dengan adanya perdagangan bebas, tentu harga produk-produk China akan lebih murah lagi dibanding sebelumnya. Keadaan inilah yang akan dihadapi oleh pengusaha Indonesia karena kesepakatan waktu pelaksanaan perdagangan bebas sangat sulit ditunda. Karena itu, pengusaha dan pemerintah harus bahu membahu menghadapi perdagangan bebas ini. Pemerintah harus memberikan dukungan berupa regulasi yang dapat memudahkan pengusaha dalam menjalankan aktivitas bisnis, seperti regulasi ketenagakerjaan, perpajakan, dan lain-lain. Ketersediaan infrastruktur pendukung, juga sangat mendesak untuk dipenuhi, karena diperlukan untuk meningkatkan efisiensi. Sementara itu, pengusaha juga harus memikirkan cara-cara efektif untuk meningkatkan pangsa pasarnya, melalui efisiensi penggunaan input produksi dan penggunaan strategi pemasaran yang baru sehingga dapat memperoleh pelanggan-pelanggan baru baik domestik maupun internasional. []
Perdagangan bebas tampaknya menjadi kebutuhan bagi negara-negara di dunia. Artinya, tiap negara berkeinginan membuka diri terhadap arus lalu lintas barang dan jasa internasional. Hanya saja, persoalan terletak pada waktu pelaksanaannya. Sebab, negara yang belum siap bersaing, pasti akan dirugikan. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi saat pemerintah Indonesia menyetujui perdagangan bebas dengan China yang dimulai pada 1 Januari 2010. Pada umumnya, kalangan pengusaha Indonesia belum siap menghadapi perdagangan bebas dengan China.
Telah umum diketahui, perdagangan bebas akan mendatangkan manfaat bagi negara yang terlibat. Secara makro, perdagangan bebas akan meningkatkan volume dan nilai perdagangan. Ini terjadi karena hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif, dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Secara teoritis, makin kecil hambatan perdagangan, makin tinggi pula lalu lintas perdagangan barang dan jasa. Ini terjadi karena harga-harga produk tersebut juga makin rendah, sehingga mendorong kenaikan permintaan konsumen dari berbagai negara.
Namun perdagangan bebas juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi negara yang terlibat. Dampak negatif ini timbul bila suatu negara memiliki daya saing yang relatif rendah. Bila daya saing rendah, negara tersebut justru akan menjadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Dengan kata lain, negara tersebut akan lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor. Akibatnya, produksi domestik akan berkurang, lalu pengangguran akan naik karena terjadi penurunan permintaan tenaga kerja. Tentu saja, setiap negara tidak ingin mendapatkan dampak negatif dari perdagangan bebas, sehingga mereka berupaya meningkatkan daya saing.
Telah umum diketahui, hampir setiap negara memiliki produk-produk yang strategis. Produk tersebut diharapkan berdaya saing tinggi, sehingga bila diperdagangkan dalam keadaan bebas hambatan, volume dan nilainya akan meningkat. Hanya saja, dalam kasus perdagangan China-Indonesia, beberapa produk seperti baja dan tekstil, merupakan produk strategis di kedua negara, sehingga akan terjadi persaingan sengit bila diadakan perdagangan bebas. Kemungkinan besar salah satu di antaranya akan kalah bersaing. Inilah yang dikhawatirkan oleh pengusaha-pengusaha di Indonesia. Karena itu, mereka meminta pemerintah untuk menunda waktu pelaksanaan perdagangan bebas ini.
Kekhawatiran pengusaha Indonesia, khususnya yang memiliki kesamaan produk dengan pengusaha China, memang dapat dimaklumi. Pasalnya, tanpa ada perdagangan bebas pun, pengusaha Indonesia sudah kesulitan menghadapi produk China. Terbukti, produk-produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Bagi konsumen di Indonesia, produk-produk China menjadi pilihan karena dianggap relatif murah, meski kualitasnya tidak lebih baik dari kualitas produk Indonesia.
Dengan adanya perdagangan bebas, tentu harga produk-produk China akan lebih murah lagi dibanding sebelumnya. Keadaan inilah yang akan dihadapi oleh pengusaha Indonesia karena kesepakatan waktu pelaksanaan perdagangan bebas sangat sulit ditunda. Karena itu, pengusaha dan pemerintah harus bahu membahu menghadapi perdagangan bebas ini. Pemerintah harus memberikan dukungan berupa regulasi yang dapat memudahkan pengusaha dalam menjalankan aktivitas bisnis, seperti regulasi ketenagakerjaan, perpajakan, dan lain-lain. Ketersediaan infrastruktur pendukung, juga sangat mendesak untuk dipenuhi, karena diperlukan untuk meningkatkan efisiensi. Sementara itu, pengusaha juga harus memikirkan cara-cara efektif untuk meningkatkan pangsa pasarnya, melalui efisiensi penggunaan input produksi dan penggunaan strategi pemasaran yang baru sehingga dapat memperoleh pelanggan-pelanggan baru baik domestik maupun internasional. []
Biarpun ditunda seratus tahun lagi, kemungkinan besar Indonesia masih kalah saing dengan China. memang seratus tahun lagi Inbonesia bisa lebih maju, tapi bukan tidak mungkin China juga lebih maju.
BalasHapusterima kasih komentar Puji. btw, sejak awal, indonesia memang lemah dalam hal persiapan. bukankah persetujuan perdagangan bebas telah berlangsung sejak November 2004. akan tetapi, barulah kita ramai berdebat mengenai ketidaksiapan Indoensia, padahal sedari awal memang pemerintah tidak bersiap menghadapi persaingan ini. saya yakin kalau Indonesia bekerja keras, maka kita akan menuai manfaat dari kerja sama ini.
BalasHapus