Dimuat di Kompas Yogyakarta, Jumat, 21 Agustus 2009
Indonesia kembali terguncang dengan aksi bom bunuh diri yang diduga dilakukan oleh jaringan Noordin M Top. Uniknya, salah satu pelaku aksi teror tersebut masih berusia remaja. Kondisi ini menyiratkan, perkaderan dalam organisasi terorisme makin menunjukkan taringnya. Ini tak boleh dibiarkan sebab bila organisasi terorisme tersebut merekrut banyak kader muda, peluang munculnya aksi bom bunuh diri akan tinggi pula. Implikasinya, kita makin terancam oleh serangan teroris. Karena itu, kita harus memutus rantai perkaderan yang dibangun jaringan teroris dengan menjauhkan generasi muda dari pengaruh mereka.
Generasi muda atau remaja merupakan sasaran empuk bagi perkaderan organisasi terorisme. Wajar saja, sebab masa remaja merupakan masa di mana ide/paham baru bisa dengan mudah ditanam dalam pikiran mereka. Masa remaja juga ditandai dengan kepribadian yang masih labil. Mereka belum mempunyai prinsip diri yang cukup dan pegangan dalam membentengi diri dari ide/paham yang tidak benar. Dengan demikian, indoktrinasi berjalan sangat lancar, ditambah lagi dengan kemampuan para teroris dalam mendoktrin atau memprovokasi calon kader.
Pilihan terhadap calon kader juga tidak sembarangan. Remaja harus punya semangat tinggi dalam beragama. Indikator lain yang tidak terlalu penting tapi tetap berpengaruh adalah keadaan ekonomi remaja (keluarga). Remaja yang hidup dalam keadaan ekonomi yang layak, terlebih lagi bila sudah memiliki pekerjaan tetap, tidak rentan terhadap aktivitas-aktivitas yang cenderung tidak produktif tersebut. Sementara bagi yang hidup pas-pasan, terlebih lagi bila hidupnya tidak layak, derajat kerentanannya tinggi. Karekteristik orang yang terakhir mudah direkrut karena mereka tidak terlalu peduli dengan harta benda, serta cenderung bersikap pasrah terhadap kekuatan yang berasal dari luar.
Secara riil, keahlian merekrut remaja untuk melakukan aksi bom bunuh diri sudah terbukti. Dani Permana, remaja berusia 18 tahun, berani melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott. Ide/paham yang ditanamkan oleh para teroris ini berlandaskan pada salah satu agama, sehingga tak heran bila memunculkan semangat yang luar biasa tingginya. Hasilnya, setiap orang yang melakukan aksi bom bunuh diri beranggapan, aksi tersebut bukanlah kejahatan yang pantas memperoleh ganjaran negatif, melainkan pembelaan terhadap kebenaran yang pantas memperoleh ganjaran positif.
Dengan latar belakang demikian, jelaslah bahwa terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan mudahnya perekrutan remaja dalam kelompok teroris. Karena itu, bolehlah dikatakan bahwa mencegah keterlibatan remaja dalam aksi teror bukanlah pekerjaan yang mudah, tapi bukan pula pekerjaan yang mustahil diselesaikan. Syaratnya, segenap pihak harus menjalankan perannya masing-masing dalam menjauhkan remaja-remaja kita dari organisasi terorisme. Pemerintah, keluarga, dan lingkungan masyarakat merupakan aktor yang bisa mengambil andil dalam pencegahan ini. Masing-masing punya peran yang harus berjalan sebagaimana mestinya. Bila tidak demikian, hasilnya pun tidak akan optimal.
Keluarga (orang tua) berperan dalam memberikan pendidikan agama yang benar kepada anak-anaknya. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak-anak untuk menuntut ilmu. Selain itu, dari bayi sampai remaja, sebagian besar waktu dihabiskan di rumah, sehingga kondisi keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Karena itu, selain memberikan pendidikan agama yang benar, juga diperlukan terciptanya kondisi yang memungkinkan anak-anak memiliki kepribadian positif, seperti penuh kasih sayang, hormat pada orang lain, dan lain-lain. Kepribadian ini akan membentengi anak-anak terhadap pengaruh ide/paham yang dapat memunculkan aktivitas-aktivitas yang merugikan orang lain.
Pemerintah, selain “mengobati” aksi terorisme, juga berperan dalam mencegah terjadinya aksi teror. Bila ditilik salah satu latar belakang masalah di atas, jelaslah bahwa pemerintah berperan dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk para remaja. Aktivitas ekonomi harus ditingkatkan agar mampu menyerap tenaga kerja yang menganggur, termasuk di dalamnya adalah para remaja yang belum memiliki pekerjaan layak. Berdasarkan data dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga pada 2008, masih ada sekitar 19,5 persen dari total seluruh jumlah penduduk yang memiliki status pengangguran.
Lingkungan masyarakat juga berperan dalam mencegah terlibatnya remaja dalam aksi teror. Pengawasan keluarga terhadap anak-anaknya terbatas bila anaknya berada di luar rumah. Karena itu, dibutuhkan pengawasan dari lingkungan masyarakat terhadap perilaku remaja yang menampakkan ciri khas yang mencurigakan.
Bila ketiga aktor ini menjalankan perannya masing-masing, peluang terjeratnya remaja dalam kelompok teroris dapat diminimalisir. []
Indonesia kembali terguncang dengan aksi bom bunuh diri yang diduga dilakukan oleh jaringan Noordin M Top. Uniknya, salah satu pelaku aksi teror tersebut masih berusia remaja. Kondisi ini menyiratkan, perkaderan dalam organisasi terorisme makin menunjukkan taringnya. Ini tak boleh dibiarkan sebab bila organisasi terorisme tersebut merekrut banyak kader muda, peluang munculnya aksi bom bunuh diri akan tinggi pula. Implikasinya, kita makin terancam oleh serangan teroris. Karena itu, kita harus memutus rantai perkaderan yang dibangun jaringan teroris dengan menjauhkan generasi muda dari pengaruh mereka.
Generasi muda atau remaja merupakan sasaran empuk bagi perkaderan organisasi terorisme. Wajar saja, sebab masa remaja merupakan masa di mana ide/paham baru bisa dengan mudah ditanam dalam pikiran mereka. Masa remaja juga ditandai dengan kepribadian yang masih labil. Mereka belum mempunyai prinsip diri yang cukup dan pegangan dalam membentengi diri dari ide/paham yang tidak benar. Dengan demikian, indoktrinasi berjalan sangat lancar, ditambah lagi dengan kemampuan para teroris dalam mendoktrin atau memprovokasi calon kader.
Pilihan terhadap calon kader juga tidak sembarangan. Remaja harus punya semangat tinggi dalam beragama. Indikator lain yang tidak terlalu penting tapi tetap berpengaruh adalah keadaan ekonomi remaja (keluarga). Remaja yang hidup dalam keadaan ekonomi yang layak, terlebih lagi bila sudah memiliki pekerjaan tetap, tidak rentan terhadap aktivitas-aktivitas yang cenderung tidak produktif tersebut. Sementara bagi yang hidup pas-pasan, terlebih lagi bila hidupnya tidak layak, derajat kerentanannya tinggi. Karekteristik orang yang terakhir mudah direkrut karena mereka tidak terlalu peduli dengan harta benda, serta cenderung bersikap pasrah terhadap kekuatan yang berasal dari luar.
Secara riil, keahlian merekrut remaja untuk melakukan aksi bom bunuh diri sudah terbukti. Dani Permana, remaja berusia 18 tahun, berani melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott. Ide/paham yang ditanamkan oleh para teroris ini berlandaskan pada salah satu agama, sehingga tak heran bila memunculkan semangat yang luar biasa tingginya. Hasilnya, setiap orang yang melakukan aksi bom bunuh diri beranggapan, aksi tersebut bukanlah kejahatan yang pantas memperoleh ganjaran negatif, melainkan pembelaan terhadap kebenaran yang pantas memperoleh ganjaran positif.
Dengan latar belakang demikian, jelaslah bahwa terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan mudahnya perekrutan remaja dalam kelompok teroris. Karena itu, bolehlah dikatakan bahwa mencegah keterlibatan remaja dalam aksi teror bukanlah pekerjaan yang mudah, tapi bukan pula pekerjaan yang mustahil diselesaikan. Syaratnya, segenap pihak harus menjalankan perannya masing-masing dalam menjauhkan remaja-remaja kita dari organisasi terorisme. Pemerintah, keluarga, dan lingkungan masyarakat merupakan aktor yang bisa mengambil andil dalam pencegahan ini. Masing-masing punya peran yang harus berjalan sebagaimana mestinya. Bila tidak demikian, hasilnya pun tidak akan optimal.
Keluarga (orang tua) berperan dalam memberikan pendidikan agama yang benar kepada anak-anaknya. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak-anak untuk menuntut ilmu. Selain itu, dari bayi sampai remaja, sebagian besar waktu dihabiskan di rumah, sehingga kondisi keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Karena itu, selain memberikan pendidikan agama yang benar, juga diperlukan terciptanya kondisi yang memungkinkan anak-anak memiliki kepribadian positif, seperti penuh kasih sayang, hormat pada orang lain, dan lain-lain. Kepribadian ini akan membentengi anak-anak terhadap pengaruh ide/paham yang dapat memunculkan aktivitas-aktivitas yang merugikan orang lain.
Pemerintah, selain “mengobati” aksi terorisme, juga berperan dalam mencegah terjadinya aksi teror. Bila ditilik salah satu latar belakang masalah di atas, jelaslah bahwa pemerintah berperan dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk para remaja. Aktivitas ekonomi harus ditingkatkan agar mampu menyerap tenaga kerja yang menganggur, termasuk di dalamnya adalah para remaja yang belum memiliki pekerjaan layak. Berdasarkan data dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga pada 2008, masih ada sekitar 19,5 persen dari total seluruh jumlah penduduk yang memiliki status pengangguran.
Lingkungan masyarakat juga berperan dalam mencegah terlibatnya remaja dalam aksi teror. Pengawasan keluarga terhadap anak-anaknya terbatas bila anaknya berada di luar rumah. Karena itu, dibutuhkan pengawasan dari lingkungan masyarakat terhadap perilaku remaja yang menampakkan ciri khas yang mencurigakan.
Bila ketiga aktor ini menjalankan perannya masing-masing, peluang terjeratnya remaja dalam kelompok teroris dapat diminimalisir. []
Setuju. teman kkn q pada sewot kalau aksi teroris digagalkan polosi. aku jadi stress
BalasHapusAssalamualaikum mas Randi
BalasHapusMantap nih, udah tembus Kompas Jogja. Sebentar lagi masuk Kompas Nasional. Selamat ya.
BalasHapuswaduh gara2 mase tulisanku gak dimuat hehe salam
BalasHapus