Seputar Indonesia, Kamis 25 Oktober 2007
Perekonomian Indonesia sedang berada di titik rawan krisis. Kesimpulan tersebut tidaklah berlebihan melihat beratnya ancaman eksternal yang dihadapi. Belum lagi rontoknya pasar finansial AS karena kredit macet perumahan yang mempengaruhi lesunya pasar finansial Indonesia, kini ancaman tingginya harga minyak sedang menggerogoti perekonomian Indonesia.
Tingginya harga minyak mentah sebetulnya membawa keuntungan bagi Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor. Indonesia bisa mengambil keuntungan karena selisih biaya produksi yang jauh lebih kecil dibanding harga internasional yang saat ini berada di level sekitar USD 90 per barel. Namun, produksi minyak mentah di tanah air jauh dari dari harapan. Target produksi rata-rata masih di bawah 1 juta barel per hari dari target produksi 1,034 juta barel per hari. Dalam posisi demikian, Indonesia sebetulnya masih aman dari ancaman krisis ekonomi global, sebab sebagai negara pengimpor dan pengeskpor, Indonesia berada di posisi impas.
Namun, bertahan di posisi impas tentu saja sangat rawan, sebab tidak ada jaminan posisi harga tetap apalagi akan turun. Malah, kemungkinan besar harga akan terus mengalami kenaikan selama masih terjadi konflik di timur tengah, yang mengakibatkan kepanikan global karena ancaman berkurangnya suplai. Oleh karena itu, Indonesia mesti beranjak dari kelesuan produksi. Semestinya, yang terjadi adalah Indonesia memproduksi minyak jauh di atas target seperti halnya asumsi harga di APBN 2007 jauh di atas target, yakni selisih sebesar USD 30 per barel dari target USD 60 per barel.
Naiknya harga minyak mentah sangat mempengaruhi APBN. Pasalnya, di APBN terdapat alokasi dana untuk subsidi BBM dan pendapatan dari penjualan berupa ekspor. Selain itu, di APBN terdapat asumsi-asumsi berkenaan dengan harga minyak mentah global dan jumlah produksi dalam negeri. Asumsi harga akan mempengaruhi besarnya subsidi minyak. Di sisi lain, produksi erat kaitannya dengan pos penerimaan negara dari ekspor. Jika peningkatan biaya berupa subsidi lebih tinggi dibanding penerimaan dari kenaikan harga, maka APBN akan timpang. Pos subsidi akan ditingkatkan dengan mengurangi pos pengeluaran lainnya. Akibatnya, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan menjadi berkurang. Dana pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kesejahtaraan rakyat akan berkurang dan diganti dengan mensubsidi harga minyak di masyarakat.
Peningkatan produksi tidak hanya mendesak tapi juga penting untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai negara pengekspor. Peningkatan produksi dilakukan dengan memperbaiki sarana produksi berupa kelengkapan dan kelayakan penggunaan alat. Selain itu, perlu dilakukan eksplorasi secara intensif untuk menemukan sumber-sumber energi baru. Kebijakan energi, khususnya mengenai terpenuhi kebutuhan minyak di tanah air dengan harga terjangkau menjadi indikator keberhasilan pemerintah memanfaatkan potensi kekayaan alam Indonesia. Kita akui, kekayaan alam berupa minyak belum dikelola dengan baik dan mandiri. Akibatnya, kenyataan di lapangan, minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan asing tanpa memberi timbal balik keuntungan yang setimpal bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pemerintah mesti menghadapi ancaman global ini sebagai tantangan untuk membangun perekonomian bangsa yang mandiri. Kita mesti memiliki fundamental ekonomi kuat, berupa bergeraknya sektor riil yang ditandai dengan meluasnya kesempatan kerja dan berkurangnya kemiskinan. Dengan demikian, perekonomian tidak dengan mudahnya goyah meski mendapat ancaman gejolak eksternal.
04 Desember, 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar