Seputar Indonesia, 17 Desember 2007
Di dalam disiplin ilmu ekonomi dijelaskan keterkaitan hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kerusakan lingkungan. Kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi atau pendapatan masyarakat diiringi dengan meningkatnya kerusakan lingkungan hingga mencapai titik maksimum, kemudian menurun. Teori yang dikenal dengan enviromental inverted “U” ini dipopulerkan oleh ekonom Simon Kuznets. Dia menganggap bahwa terdapat pilihan antara peningkatan pendapatan dengan keselamatan lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari peran lingkungan atau alam dalam menyediakan sumber daya ekonomi yang digunakan dalam proses produksi.
Pilihan antara kemajuan ekonomi dengan keselamatan lingkungan juga digambarkan dengan sedikit dibumbui humor oleh peraih hadiah nobel perdamaian tahun 2007, Al Gore. Dalam film dokumenter berjudul An Incovenient Truth, Al Gore mengilustrasikan kemajuan ekonomi dengan batangan emas, sementara keselamatan lingkungan dengan globe (bola bumi). Tentu saja setiap orang tidak menolak bila diberikan emas, hanya saja bila disuruh memilih antara emas dengan keselamatan bumi, maka setiap orang akan berpikir dua kali untuk memilih emas. Keselamatan planet bumi tempat manusia bermukim tentu saja jauh lebih berharga dibanding kemajuan pesat ekonomi.
Namun, kemajuan pesat ekonomi saat ini telah menyinggirkan kepedulian akan dampak yang ditimbulkan. CO2 yang dihasilkan industri-industri dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi. Kemajuan ini ditandai dengan menggeliatnya industrialisasi dan konsumsi produk-produk penghasil emisi yang menyebabkan pemanasan global. Arab Saudi dan Amerika Serikat dinilai sebagai negara paling tinggi sumbangan emisi gas rumah kaca dari penelitian di 56 negara industri dan kemajuan ekonomi pesat yang menyumbang lebih dari 90 persen emisi gas karbon.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa negara-negara industri meyumbang emisi gas rumah kaca paling besar yang mengakibatkan pemanasan global. Kemajuan ekonomi ditandai peningkatan produksi, di mana proses produksi menggunakan bahan bakar fosil. Hasil pembakaran ini kemudian menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon sehingga bumi makin panas. Selain itu, eksploitasi sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai faktor produksi semakin agresif karena permintaan sektor industri berbahan baku dari alam makin tinggi. Penebangan liar hutan, pembangunan pabrik bukan pada tempatnya, dan lain-lain, yang semuanya bermotif ekonomi menimbulkan dampak buruk pada lingkungan.
Lantas, mengapa lingkungan harus dijaga? Selain didasarkan pada motif menjaga keseimbangan alam agar tidak berdampak buruk bagi manusia, tak kalah pentingnya adalah upaya membangun secara berkelanjutan. Keberlanjutan pembangunan dinilai sangat penting sebab masih ada generasi-generasi akan datang yang akan memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Bila lingkungan sudah rusak karena eksploitasi berlebihan oleh generasi saat ini, maka nasib generasi selanjutnya akan suram karena tidak didukung oleh alam. Oleh karena itu, menjaga lingkungan harusnya dijadikan tanggung jawab moral generasi saat ini kepada generasi selanjutnya.
12 Desember, 2007
04 Desember, 2007
Ironi BUMN dan Kemakmuran Rakyat
Seputar Indonesia, 21 November 2007
Belum lama ini, enam pesawat Garuda Indonesia (GI) disegel oleh pihak Bea dan Cukai di Bandara Soekarno-Hatta. Penjatuhan sanksi disebabkan oleh kelalaian manajemen GI mengurus administrasi pesawat impor tersebut. Sanksi berupa penyegelan dan denda Rp 150 juta ini, merupakan peringatan keras bagi direksi GI dan seluruh jajarannya untuk lebih disiplin dan profesional.
Tuntutan untuk senantiasa memperbaiki diri tidak hanya dalam hal jasa penerbangan tapi juga manajemen yang disiplin dan profesional merupakan kewajiban bagi GI, mengingat posisinya yang strategis dalam penerbangan tanah air. GI merupakan satu-satunya perusahaan penerbangan di tanah air berbentuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Sebagai perusahaan milik negara, merupakan kekecewaan mendalam apabila GI dan BUMN lain menampilkan kelalaian dan kinerja negatif. Pasalnya, perusahaan tersebut membawa nama dan menggunakan fasilitas negara, sehingga keberhasilan dan kegagalan berimplikasi pada negara dan rakyat Indonesia.
Tuntutan untuk memperbaiki diri merupakan keharusan bagi BUMN. Apalagi dalam kondisi semakin ketatnya persaingan usaha yang menuntut efisiensi kerja. BUMN yang menguasai usaha-usaha strategis sebagaimana diamanahkan pasal 33 UUD memiliki wewenang dan kewajiban. Kewajiban BUMN adalah mengelola usaha strategis tersebut untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Sedangkan, memonopoli usaha-usaha yang memang sepatutnya dikuasai merupakan wewenang BUMN. Sebagaimana bunyi pasal 33 ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Penjelasan mengenai hal-hal apa saja yang mesti dikuasai negara terdapat pada pasal 33 ayat 3, berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Terdapat dua poin penting pasal 33 ayat 2 dan 3 di atas, yakni penguasaan kekayaan oleh negara dan tujuan pengelolaan untuk kemakmuran rakyat. Sebagai implementasi poin pertama, negara tidak sekedar melaksanakan pengelolaan, tapi juga menguasai seluruh kekayaan tersebut dengan membentuk BUMN. Hal ini semata-mata untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan barang-barang yang menguasai hajat hidup rakyat, seperti air, listrik, dan lainnya. Sebab, jika barang tersebut tidak cukup tersedia dan harga di luar jangkauan rakyat, maka akan mengurangi kemakmuran serta mengakibatkan keresahan sosial. Di sini, peran BUMN sangat signifikan sebab tidak hanya menjamin ketersediaan dan keterjangkauan barang-barang tersebut, tapi juga dituntut untuk menghasilkan keuntungan dari sumber daya yang dikelola. Tingkat keuntungan BUMN merupakan salah satu indikator keberhasilan yang nantinya berimplikasi pada penerimaan negara. Oleh karena itu, BUMN dituntut untuk bekerja secara efisien dalam mengelola sumber daya agar labanya meningkat tanpa mengabaikan pelayanan kepada rakyat. Ironisnya, saat ini kebanyakan BUMN belum menunjukkan kinerja positif. Beberapa BUMN masih mengalami kerugian, sebut saja PT Pertamina yang selama ini masih rugi, belum lagi dengan buruknya pelayanan kepada masyarakat.
Kelalaian seperti dilakukan manajemen GI yang notabene BUMN memang seharusnya tidak terjadi lagi. Ini menjadi pelajaran bagi GI dan BUMN lain untuk memperbaiki kualitas diri termasuk meningkatkan disiplin dan keprofesionalan dalam manajemen. Selain itu, efisiensi BUMN juga mendesak dan penting, agar bisa menghasilkan keuntungan bagi negara, serta berimplikasi pada meningkatnya kualitas pelayanan serta menjadi pendorong kemakmuran rakyat.
Belum lama ini, enam pesawat Garuda Indonesia (GI) disegel oleh pihak Bea dan Cukai di Bandara Soekarno-Hatta. Penjatuhan sanksi disebabkan oleh kelalaian manajemen GI mengurus administrasi pesawat impor tersebut. Sanksi berupa penyegelan dan denda Rp 150 juta ini, merupakan peringatan keras bagi direksi GI dan seluruh jajarannya untuk lebih disiplin dan profesional.
Tuntutan untuk senantiasa memperbaiki diri tidak hanya dalam hal jasa penerbangan tapi juga manajemen yang disiplin dan profesional merupakan kewajiban bagi GI, mengingat posisinya yang strategis dalam penerbangan tanah air. GI merupakan satu-satunya perusahaan penerbangan di tanah air berbentuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Sebagai perusahaan milik negara, merupakan kekecewaan mendalam apabila GI dan BUMN lain menampilkan kelalaian dan kinerja negatif. Pasalnya, perusahaan tersebut membawa nama dan menggunakan fasilitas negara, sehingga keberhasilan dan kegagalan berimplikasi pada negara dan rakyat Indonesia.
Tuntutan untuk memperbaiki diri merupakan keharusan bagi BUMN. Apalagi dalam kondisi semakin ketatnya persaingan usaha yang menuntut efisiensi kerja. BUMN yang menguasai usaha-usaha strategis sebagaimana diamanahkan pasal 33 UUD memiliki wewenang dan kewajiban. Kewajiban BUMN adalah mengelola usaha strategis tersebut untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Sedangkan, memonopoli usaha-usaha yang memang sepatutnya dikuasai merupakan wewenang BUMN. Sebagaimana bunyi pasal 33 ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Penjelasan mengenai hal-hal apa saja yang mesti dikuasai negara terdapat pada pasal 33 ayat 3, berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Terdapat dua poin penting pasal 33 ayat 2 dan 3 di atas, yakni penguasaan kekayaan oleh negara dan tujuan pengelolaan untuk kemakmuran rakyat. Sebagai implementasi poin pertama, negara tidak sekedar melaksanakan pengelolaan, tapi juga menguasai seluruh kekayaan tersebut dengan membentuk BUMN. Hal ini semata-mata untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan barang-barang yang menguasai hajat hidup rakyat, seperti air, listrik, dan lainnya. Sebab, jika barang tersebut tidak cukup tersedia dan harga di luar jangkauan rakyat, maka akan mengurangi kemakmuran serta mengakibatkan keresahan sosial. Di sini, peran BUMN sangat signifikan sebab tidak hanya menjamin ketersediaan dan keterjangkauan barang-barang tersebut, tapi juga dituntut untuk menghasilkan keuntungan dari sumber daya yang dikelola. Tingkat keuntungan BUMN merupakan salah satu indikator keberhasilan yang nantinya berimplikasi pada penerimaan negara. Oleh karena itu, BUMN dituntut untuk bekerja secara efisien dalam mengelola sumber daya agar labanya meningkat tanpa mengabaikan pelayanan kepada rakyat. Ironisnya, saat ini kebanyakan BUMN belum menunjukkan kinerja positif. Beberapa BUMN masih mengalami kerugian, sebut saja PT Pertamina yang selama ini masih rugi, belum lagi dengan buruknya pelayanan kepada masyarakat.
Kelalaian seperti dilakukan manajemen GI yang notabene BUMN memang seharusnya tidak terjadi lagi. Ini menjadi pelajaran bagi GI dan BUMN lain untuk memperbaiki kualitas diri termasuk meningkatkan disiplin dan keprofesionalan dalam manajemen. Selain itu, efisiensi BUMN juga mendesak dan penting, agar bisa menghasilkan keuntungan bagi negara, serta berimplikasi pada meningkatnya kualitas pelayanan serta menjadi pendorong kemakmuran rakyat.
Labels:
Tulisanku di Media
Ancaman Ekonomi Global
Seputar Indonesia, Kamis 25 Oktober 2007
Perekonomian Indonesia sedang berada di titik rawan krisis. Kesimpulan tersebut tidaklah berlebihan melihat beratnya ancaman eksternal yang dihadapi. Belum lagi rontoknya pasar finansial AS karena kredit macet perumahan yang mempengaruhi lesunya pasar finansial Indonesia, kini ancaman tingginya harga minyak sedang menggerogoti perekonomian Indonesia.
Tingginya harga minyak mentah sebetulnya membawa keuntungan bagi Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor. Indonesia bisa mengambil keuntungan karena selisih biaya produksi yang jauh lebih kecil dibanding harga internasional yang saat ini berada di level sekitar USD 90 per barel. Namun, produksi minyak mentah di tanah air jauh dari dari harapan. Target produksi rata-rata masih di bawah 1 juta barel per hari dari target produksi 1,034 juta barel per hari. Dalam posisi demikian, Indonesia sebetulnya masih aman dari ancaman krisis ekonomi global, sebab sebagai negara pengimpor dan pengeskpor, Indonesia berada di posisi impas.
Namun, bertahan di posisi impas tentu saja sangat rawan, sebab tidak ada jaminan posisi harga tetap apalagi akan turun. Malah, kemungkinan besar harga akan terus mengalami kenaikan selama masih terjadi konflik di timur tengah, yang mengakibatkan kepanikan global karena ancaman berkurangnya suplai. Oleh karena itu, Indonesia mesti beranjak dari kelesuan produksi. Semestinya, yang terjadi adalah Indonesia memproduksi minyak jauh di atas target seperti halnya asumsi harga di APBN 2007 jauh di atas target, yakni selisih sebesar USD 30 per barel dari target USD 60 per barel.
Naiknya harga minyak mentah sangat mempengaruhi APBN. Pasalnya, di APBN terdapat alokasi dana untuk subsidi BBM dan pendapatan dari penjualan berupa ekspor. Selain itu, di APBN terdapat asumsi-asumsi berkenaan dengan harga minyak mentah global dan jumlah produksi dalam negeri. Asumsi harga akan mempengaruhi besarnya subsidi minyak. Di sisi lain, produksi erat kaitannya dengan pos penerimaan negara dari ekspor. Jika peningkatan biaya berupa subsidi lebih tinggi dibanding penerimaan dari kenaikan harga, maka APBN akan timpang. Pos subsidi akan ditingkatkan dengan mengurangi pos pengeluaran lainnya. Akibatnya, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan menjadi berkurang. Dana pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kesejahtaraan rakyat akan berkurang dan diganti dengan mensubsidi harga minyak di masyarakat.
Peningkatan produksi tidak hanya mendesak tapi juga penting untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai negara pengekspor. Peningkatan produksi dilakukan dengan memperbaiki sarana produksi berupa kelengkapan dan kelayakan penggunaan alat. Selain itu, perlu dilakukan eksplorasi secara intensif untuk menemukan sumber-sumber energi baru. Kebijakan energi, khususnya mengenai terpenuhi kebutuhan minyak di tanah air dengan harga terjangkau menjadi indikator keberhasilan pemerintah memanfaatkan potensi kekayaan alam Indonesia. Kita akui, kekayaan alam berupa minyak belum dikelola dengan baik dan mandiri. Akibatnya, kenyataan di lapangan, minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan asing tanpa memberi timbal balik keuntungan yang setimpal bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pemerintah mesti menghadapi ancaman global ini sebagai tantangan untuk membangun perekonomian bangsa yang mandiri. Kita mesti memiliki fundamental ekonomi kuat, berupa bergeraknya sektor riil yang ditandai dengan meluasnya kesempatan kerja dan berkurangnya kemiskinan. Dengan demikian, perekonomian tidak dengan mudahnya goyah meski mendapat ancaman gejolak eksternal.
Perekonomian Indonesia sedang berada di titik rawan krisis. Kesimpulan tersebut tidaklah berlebihan melihat beratnya ancaman eksternal yang dihadapi. Belum lagi rontoknya pasar finansial AS karena kredit macet perumahan yang mempengaruhi lesunya pasar finansial Indonesia, kini ancaman tingginya harga minyak sedang menggerogoti perekonomian Indonesia.
Tingginya harga minyak mentah sebetulnya membawa keuntungan bagi Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor. Indonesia bisa mengambil keuntungan karena selisih biaya produksi yang jauh lebih kecil dibanding harga internasional yang saat ini berada di level sekitar USD 90 per barel. Namun, produksi minyak mentah di tanah air jauh dari dari harapan. Target produksi rata-rata masih di bawah 1 juta barel per hari dari target produksi 1,034 juta barel per hari. Dalam posisi demikian, Indonesia sebetulnya masih aman dari ancaman krisis ekonomi global, sebab sebagai negara pengimpor dan pengeskpor, Indonesia berada di posisi impas.
Namun, bertahan di posisi impas tentu saja sangat rawan, sebab tidak ada jaminan posisi harga tetap apalagi akan turun. Malah, kemungkinan besar harga akan terus mengalami kenaikan selama masih terjadi konflik di timur tengah, yang mengakibatkan kepanikan global karena ancaman berkurangnya suplai. Oleh karena itu, Indonesia mesti beranjak dari kelesuan produksi. Semestinya, yang terjadi adalah Indonesia memproduksi minyak jauh di atas target seperti halnya asumsi harga di APBN 2007 jauh di atas target, yakni selisih sebesar USD 30 per barel dari target USD 60 per barel.
Naiknya harga minyak mentah sangat mempengaruhi APBN. Pasalnya, di APBN terdapat alokasi dana untuk subsidi BBM dan pendapatan dari penjualan berupa ekspor. Selain itu, di APBN terdapat asumsi-asumsi berkenaan dengan harga minyak mentah global dan jumlah produksi dalam negeri. Asumsi harga akan mempengaruhi besarnya subsidi minyak. Di sisi lain, produksi erat kaitannya dengan pos penerimaan negara dari ekspor. Jika peningkatan biaya berupa subsidi lebih tinggi dibanding penerimaan dari kenaikan harga, maka APBN akan timpang. Pos subsidi akan ditingkatkan dengan mengurangi pos pengeluaran lainnya. Akibatnya, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan menjadi berkurang. Dana pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kesejahtaraan rakyat akan berkurang dan diganti dengan mensubsidi harga minyak di masyarakat.
Peningkatan produksi tidak hanya mendesak tapi juga penting untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai negara pengekspor. Peningkatan produksi dilakukan dengan memperbaiki sarana produksi berupa kelengkapan dan kelayakan penggunaan alat. Selain itu, perlu dilakukan eksplorasi secara intensif untuk menemukan sumber-sumber energi baru. Kebijakan energi, khususnya mengenai terpenuhi kebutuhan minyak di tanah air dengan harga terjangkau menjadi indikator keberhasilan pemerintah memanfaatkan potensi kekayaan alam Indonesia. Kita akui, kekayaan alam berupa minyak belum dikelola dengan baik dan mandiri. Akibatnya, kenyataan di lapangan, minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan asing tanpa memberi timbal balik keuntungan yang setimpal bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pemerintah mesti menghadapi ancaman global ini sebagai tantangan untuk membangun perekonomian bangsa yang mandiri. Kita mesti memiliki fundamental ekonomi kuat, berupa bergeraknya sektor riil yang ditandai dengan meluasnya kesempatan kerja dan berkurangnya kemiskinan. Dengan demikian, perekonomian tidak dengan mudahnya goyah meski mendapat ancaman gejolak eksternal.
Labels:
Tulisanku di Media
Langganan:
Postingan (Atom)