Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 4 Agustus 2017
Baru-baru
ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan rutin terkait perkembangan
kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk di Indonesia. Jumlah penduduk
miskin naik dan ketimpangan pengeluaran cenderung stagnan.
Dalam
laporan tersebut, jumlah penduduk miskin naik dari 27,76 juta orang pada
September 2016 menjadi 27,77 orang pada Maret 2017, atau bertambah sebesar 6,9
ribu orang. Pada periode yang sama, perkembangan ketimpangan pengeluaran
penduduk yang diukur dengan Rasio Gini hanya turun 0,001 poin dari posisi 0,394
pada September 2016 menjadi 0,393 pada Maret 2017.
Dua
indikator di atas menunjukkan besarnya tantangan pembangunan di Indonesia. Kinerja
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan stabil dalam beberapa tahun
terakhir belum tercermin sepenuhnya pada peningkatan kesejahteraan penduduk,
terutama yang berada di bawah garis kemiskinan dan yang masih rentan miskin. Memang
jumlah penduduk miskin turun drastis dibanding tahun 1998 yang mencapai 49,5
juta orang (24,2 persen dari total penduduk). Namun sejak tahun 2013, kinerja pengentasan
kemiskinan stagnan.
Selain
belum signifikan mengentaskan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi juga belum
berkontribusi dalam mempersempit jurang kesenjangan antara kelompok kaya dengan
kelompok miskin. Bahkan muncul indikasi makin melebar karena pertumbuhan pendapatan
kelompok kaya lebih cepat dibanding kelompok miskin. Data Bank Dunia menunjukkan,
antara tahun 2003 dan 2010, konsumsi per orang untuk 10 persen penduduk terkaya
Indonesia naik lebih dari 6 persen per tahun setelah memperhitungkan inflasi,
tapi bagi 40 persen penduduk termiskin hanya naik kurang dari 2 persen per
tahun. Data Bank Dunia juga menunjukkan pada tahun 2002, 10 persen dari
penduduk terkaya mengkonsumsi sama banyaknya dengan 42 persen penduduk
termiskin, sedangkan pada tahun 2014 naik menjadi 54 penduduk termiskin.
Kinerja
pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan yang stagnan dalam beberapa
tahun terakhir menunjukkan keterkaitan yang erat antara kemiskinan dan
ketimpangan. Dengan keterbatasan sumber daya manusia dan aset yang dimiliki,
orang miskin akan kesulitan untuk memperoleh pendapatan. Sebaliknya, orang kaya
memiliki kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan sumber daya manusia dan
mengakumulasi aset, sehingga bisa dengan mudah memperoleh penghasilan yang
tinggi. Akibatnya, kesenjangan semakin melebar antara penduduk miskin dan
penduduk kaya. Kondisi ini tentu tidak boleh dibiarkan karena implikasinya bisa
melebar ke ranah kehidupan sosial, politik, dan keamanan. Bank Dunia
menyebutkan bahwa daerah-daerah dengan ketimpangan lebih tinggi dari rata-rata
nasional memiliki rasio konflik 1,6 kali lebih besar dibandingkan dengan daerah
dengan tingkat ketimpangan yang lebih rendah. Selain itu, isu ketimpangan bisa
dengan mudah dibawa ke ranah politik guna menjatuhkan pemerintahan yang sedang
berkuasa.
Solusi
Komprehensif
Meski
permasalahan kemiskinan dan ketimpangan memiliki penanganan yang sedikit berbeda,
tetapi terdapat keterkaitan erat di antara keduanya. Masalah kemiskinan dan
ketimpangan harus ditangani dengan kebijakan komprehensif. Kebijakan jangka
pendek saja belum cukup, tetapi perlu kebijakan jangka menengah dan panjang.
Dalam jangka pendek, kebijakan yang tepat melalui pemberian bantuan yang
ditujukan secara langsung kepada orang miskin. Pemerintah memang telah
melakukan langkah ini melalui berbagai program bantuan dan perlindungan sosial,
di antaranya seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar
(KIP), Kantor Indonesia Sehat (KIS), dan bantuan Beras Sejahtera (Rastra). Hal
yang masih disoroti adalah masih terjadinya penyaluran yang salah sasaran dan
keterlambatan dalam distribusi bantuan, seperti kasus distribusi beras
sejahtera pada awal tahun 2017 lalu.
Langkah lainnya adalah menjaga kestabilan harga-harga, terutama barang
kebutuhan pokok. Kenaikan harga akan menambah pengeluaran konsumsi sehingga
berpotensi membuat orang yang rentan miskin menjadi jatuh miskin.
Dalam
jangka menengah, perlu perbaikan institusi pelayanan publik sehingga menghasilkan
layanan berkualitas, terutama bagi penduduk miskin. APBN/APBD harus
dialokasikan untuk memberikan layanan yang berkualitas bagi rakyat. Korupsi
anggaran sangat buruk dampaknya bagi masyarakat karena mengurangi manfaat yang
harusnya dirasakan dari layanan publik. Dalam jangka panjang, akses pendidikan
dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi rakyat miskin sangat penting.
Orang yang jatuh miskin lebih banyak disebabkan oleh lingkungan di mana dia
lahir. Oleh karena itu, penanganan
kesehatan harus dimulai dari kandungan, karena sejak anak dalam kandungan sudah
membutuhkan nutrisi untuk perkembangan otak. Penanganan tersebut berlanjut pada
proses kelahiran, bayi, balita, hingga masuk usia sekolah. Selanjutnya,
penanganan pendidikan dilakukan dengan menyediakan akses pendidikan yang
berkualitas dan terjangkau baik dari segi lokasi maupun biaya. Penanganan kesehatan
dan pendidikan memegang peran penting dalam mengantarkan anak yang terlahir
miskin untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dengan kehidupan yang sehat
dan terdidik, mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga mampu keluar
dari kemiskinan. []