Dalam
Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2016 lalu, Presiden Jokowi menyampaikan perlu
percepatan pembangunan nasional untuk memutus rantai kemiskinan, pengangguran,
serta ketimpangan dan kesenjangan sosial. Menurut Presiden, permasalahan ini
sudah ada sejak lama, tetapi belum terselesaikan hingga sekarang.
Berdasarkan
data BPS, tingkat kemiskinan pada Maret 2016 sebesar 10,86 % dengan jumlah penduduk
miskin 28,01 juta orang. Angka ini turun dibanding 10 tahun lalu, dimana
tingkat kemiskinan sebesar 17,75 % dan jumlah penduduk miskin sekitar 39,3 juta
orang pada Maret 2006. Sementara tingkat pengangguran terbuka pada Februari
2016 sebesar 5,5 % dengan jumlah penganggur sekitar 7,02 juta orang. Angka ini juga
turun dibanding 10 tahun lalu, dimana tingkat pengangguran terbuka sebesar
10,45 % dan jumlah penganggur sekitar 11,1 juta orang pada Februari 2006. Data
ini menunjukkan penurunan persentase dan jumlah penduduk miskin dan menganggur
selama kurun waktu 10 tahun, meski beberapa kalangan menilai pencapaian ini belum
memuaskan.
Yang
menarik dicermati adalah permasalahan ketimpangan pengeluaran yang diukur
dengan koefisien gini. Berdasarkan data BPS, Koefisien Gini pada September 2015
sebesar 0,40. Angka ini justru lebih tinggi dibanding beberapa tahun
sebelumnya, dimana pada tahun 2010 hanya sebesar 0,38 lalu meningkat hingga
Maret 2015 sebesar 0,41. Ini menunjukkan makin buruknya ketimpangan pengeluaran
selama periode 2010 – Maret 2015, meskipun sudah mulai membaik pada Periode
Maret 2015 hingga September 2015.
Kemajuan
perekonomian antar wilayah juga timpang. Berdasarkan data BPS, Produk Domestik
Bruto (PDB) tahun 2015 disumbangkan oleh Jawa (58,2%), Sumatera (22,2%),
Kalimantan (8,15%), Sulawesi 5,9%), dan wilayah lainnya (5,43%). Lebih dari
setengah “kue” ekonomi Indonesia dihasilkan dan dinikmati penduduk di Jawa. Upaya
pemerintah untuk memperbesar porsi luar Jawa nampaknya belum berhasil. Terbukti,
kondisi sekarang lebih buruk dibanding tahun 2007, dimana sumbangan Jawa lebih
kecil yakni 57,9%.
Berbagai
upaya dilakukan untuk mengatasi ketimpangan. Dalam Nawacita, terdapat agenda membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah – daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan. Pembangunan bukan lagi Jawa sentris, tapi Indonesia
sentris. Salah satu upaya pemerintah adalah membangun infrastruktur secara
massif di luar Jawa yang menjangkau desa-desa, daerah pinggiran, dan wilayah
perbatasan. Upaya lain yang sangat penting adalah menciptakan pusat – pusat
pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa.
KEK Sebagai Pusat Pertumbuhan
Baru di Luar Jawa
Penciptaan
pusat – pusat pertumbuhan ekonomi baru tercermin dalam Paket Kebijakan Ekonomi
Jilid VI. Kebijakan ini bertujuan untuk memacu perekonomian di wilayah
pinggiran melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Bentuk
kebijakannya adalah pemberian fasilitas dan kemudahan untuk investasi di KEK
yang diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas
dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus. Dengan fasilitas ini, KEK diharapkan
dapat menarik investasi dan menjadi penggerak ekonomi di wilayah pinggiran.
Sesuai
UU No. 39 Tahun 2009, KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah
hukum NKRI yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan
memperoleh fasilitas tertentu. KEK menjadi “khusus” karena adanya fasilitas dan
kemudahan yang komprehensif untuk investor, meliputi fasilitas fiskal (perpajakan,
kepabeanan, dan cukai) dan non-fiskal (kemudahan pertanahan, keimigrasian,
ketenagakerjaan, perizinan, dan lalu lintas barang). Selain itu, Pemerintah
memprioritaskan dukungan infrastruktur konektivitas di luar KEK, seperti
pelabuhan, jalan, rel kereta api, dan bandara, serta penyediaan energi seperti
listrik dan gas. Infrastuktur konektivitas yang memadai akan menjadikan biaya
logistik lebih murah. Adanya fasilitas dan kemudahan yang komprehensif serta
dukungan infrastruktur konektivitas tersebut akan meningkatkan daya saing
investor di KEK.
Berdasarkan
data Sekretariat Dewan Nasional KEK, saat ini telah ditetapkan 10 KEK di
Indonesia, meliputi Sei Mangkei di Sumatera Utara, Tanjung Api-Api di Sumatera
Selatan, Tanjung Kelayang di Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Maloy
Batuta Trans Kalimantan di Kalimantan Timur, Palu di Sulawesi Tengah, Bitung di
Sulawesi Utara, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Morotai di Maluku Utara, dan
Sorong di Papua Barat. Dengan persebaran 10 KEK di setiap pulau besar di
Indonesia ini, utamanya di luar Jawa, keberhasilan KEK tentu akan berdampak
langsung pada peningkatan perekonomian wilayah dan memajukan kesejahteraan
masyarakat sekitarnya. Perekonomian wilayah di luar Jawa akan tumbuh lebih
cepat serta lebih banyak penduduk yang akan menikmati “kue” ekonomi.
Namun disadari
dampak signifikan KEK belum dirasakan saat ini mengingat pengembangannya masih
relatif baru. Dari 10 KEK, hanya Sei Mangkei dan Tanjung Lesung yang sudah beroperasi
dan siap menerima investor, sedangkan 8 KEK lainnya masih dibangun. Pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan pengembang KEK masih harus bekerja keras untuk memastikan
peningkatan investasi di 2 KEK yang sudah beroperasi, serta memastikan agar 8
KEK bisa dibangun dan dioperasikan sesuai target. Untuk itu, Pemerintah
sebaiknya memfokuskan sumber daya untuk menyukseskan KEK yang sudah ada
daripada membentuk KEK baru. Alasannya sederhana, meski KEK diprioritaskan,
tetap saja anggaran Pemerintah terbatas untuk mendukung infrastruktur
konektivitas KEK. Selain itu, dikhawatirkan pemerintah tidak fokus
menyelesaikan permasalahan spesifik di setiap KEK sehingga berpotensi
menghambat kemajuan KEK.
Kita
tentu berharap dengan keberhasilan KEK ini bisa berkontribusi dalam memutus
rantai kemiskinan, pengangguran, serta ketimpangan dan kesenjangan sosial. []